Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Kiai Muntaqo beserta para santrinya berhamburan ke belakang asrama. Semua orang yang ada di sana panik melihat Ririn menggantung di dahan pohon mahoni. Kiai Muntaqo membaca kalimat-kalimat ruqiah sambil mengacungkan telunjuknya ke arah Nurul. Saat itu juga Nurul mulai terlihat kesakitan. Lima orang santri muncul dengan menggotong sebuah spring bed besar untuk menahan tubuh Ririn.
ADVERTISEMENT
Nurul menjatuhkan Ririn dan untung saja wanita itu jatuh tepat di atas spring bed, sementara Nurul masih bertengger di atas dahan pohon mahoni. Kalimat-kalimat ruqiah terus dilantunkan oleh Kiai Muntaqo, Nurul pun terjungkal ke belakang. Dia juga jatuh tepat di atas spring bed sehingga tidak ada luka sedikit pun. Faisal memeriksa keadaan adiknya itu, dia menangis karena tak tega melihat adiknya yang sering sekali kesurupan.
***
Satu Minggu Kemudian.
Sudah lima kali Faisal bermimpi tentang sumur tujuh yang ada di puncak gunung Karang. Dalam mimpinya itu, Faisal didatangi kakeknya sendiri. Kakenya Faisal memberitahu kalau yang nempel di dalam tubuh Nurul itu adalah lelembut gunung Karang. Satu-satunya cara agar Nurul bisa sembuh adalah mandi di sumur tujuh. Semur itu terletak di puncak gunung karang, Faisal dan Nurul harus mendaki gunung itu.
ADVERTISEMENT
Faisal yakin mimpi itu merupakan sebuah petunjuk. Dia harus membawa adiknya ke sumur tujuh, itu bukan hal yang sulit. Lagi pula, lokasi gunung Karang dekat dengan pondok pesantrennya. Faisal bahkan bisa melihat gunung itu dari balik jendela asramanya.
Yang membuat Faisal bingung adalah soal perizinan. Kiai Muntaqo pasti tidak akan mengizinkan Faisal mendaki gunung itu, apalagi dengan membawa Nurul. Jadi tidak ada pilihan lain, dia harus membawa adiknya kabur dari pondok.
Faisal memang belum pernah mendaki gunung Karang, tapi dia pernah baca di internet kalau medan pendakian di sana tidak terlalu ekstrim. Faisal yakin bisa membawa adiknya dengan selamat.
Faisal sudah merencanakan dengan matang skema kabur dari pondok. Saat para santri sedang berjamaah Magrib, Faisal mengendap-endap ke asrama adiknya. Kemarin Faisal sudah memberi tahu Nurul agar tidak ikut jamaah Magrib. Nurul keluar dari kamarnya melalui jendela, dia membawa tas gendong warna hitam, begitupun Faisal dia juga membawa tas yang di dalamnya berisi pakaian dan bebrapa bungkus mie instan. Mereka tidak bawa tenda karena tidak punya. Faisal hanya berharap di tengah pendakiannya nanti dia bisa menemukan saung untuk berteduh.
ADVERTISEMENT
Mereka berdua berhasil kabur dari pesantren. Sebenarnya Faisal tidak tahu jalur pendakian gunung Karang, dia cuma modal nekat. Di pertigaan, Faisal memberhentikan dua pengendara motor yang sedang melintas. Ia minta diantarkan ke kaki gunung Karang.
“Mau masuk jalur mana? Kaduengang?” tanya lelaki gendut yang mengendarai motor bebek.
“Iya jalur mana saja yang penting bisa sampai ke puncak,” jawab Faisal, nada bicaranya terburu-buru. Sesekali dia menoleh ke belakang untuk memastikan kalau tidak ada santri yang mengikutinya.
“Ya sudah kita antar ke Kaduengang saja,” kata lelaki yang satu lagi, dia berbadan kurus.
“Bayarannya berapa dulu?” tanya lelaki berbadan gendut.
“Seratus ribu cukup?” tanya Faisal.
“Ya sudah ambil saja,” lelaki berbadan kurus menyetujuinya.
ADVERTISEMENT
Mereka pun berangkat ke kampung Kaduengang. Kaduengang ini memang menjadi jalur favorit bagi para pendaki gunung Karang. Tak sampai tiga puluh menit, mereka akhirnya tiba di kampung Kaduengang, hari sudah gelap, Faisal dan Nurul berdiri di pinggir jalan.
“Kita sebenarnya mau ke mana, Bang?” tanya Nurul.
“Abang mau ngobatin kamu ke puncak gunung Karang, De. Nanti Adek mandi di sumur tujuh biar lelembut di tubuh adek hilang,” jawab Faisal.
“Abang tahu jalan ke puncak?” tanya Nurul lagi.
“Kita tanya-tanya saja ke orang kampung sini De, ayo,” Faisal menuntun lengan adiknya.
Sebelum mereka masuk ke perkampungan, dari semak-semak muncullah seorang anak lelaki yang umurnya kisaran lima belas tahun. Dia menuntun seekor kambing, anak laki-laki itu tersenyum saat melihat Faisal dan Nurul.
ADVERTISEMENT
“Kalian dari mana?” tanya anak itu.
“Dari pesantren, kami mau mendaki gunung Karang,” jawab Faisal.
“Malam-malam begini?” tanya anak itu.
“Iya. Kamu tahu jalur pendakian di sebelah mana?” Faisal kembali bertanya.
Anak itu menunjuk ke arah Barat.
“Di sana…, untuk sampai ke puncak, kalian harus melewati tiga pos.”
Faisal menelan ludahnya sendiri, dia sadar mendaki tanpa pemandu pasti nyasar.
“Begini…, aku punya uang tiga ratus ribu. Kalau kamu mau nganterin kami ke puncak, kami akan kasih kamu upah tiga ratus ribu. Bagaimana?” tawar Faisal.
“Wah serius?” anak itu malah senang.
Faisal mengeluarkan uangnya, “Ini kau pegang uangnya.”
Dia menyerahkan uang itu.
ADVERTISEMENT
“Okay, aku mau. Kenalkan dulu aku Acong. Aku asli orang sini."
"Aku Faisal dan ini adikku Nurul," ucap Faisal tanpa tersenyum.
"Kalian bawa tenda?" tanya Acong.
Faisal dan Nurul menggelengkan kepala.
“Nggak apa-apa, ayo ikut aku. Kita ambil tenda dulu di rumah,” ujar Acong.
Acong ini memang sering mengantarkan para pendaki ke puncak. Saking seringnya dia bahkan pernah dikasih tenda bekas oleh salah seorang pendaki dari Jakarta. Memang tenda itu sudah jelek, tapi masih layak pakai.
Nantikan kelanjutan cerita Teror Lelembut Gunung Karang selanjutnya.
Kamu suka mengikuti beragam cerita dan kegiatan bertemakan horror? Ikuti surveynya dan tunggu kejutan program bertemakan horror dengan cara mengisi form survey berikut ini.
ADVERTISEMENT