Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Wanita itu masih berdiri di depan gerbang. Dia menatap kami dengan ekspresi datar. Perlahan dan dengan hati-hati aku menghampiri wanita itu, sementara Rendi mengikutiku dari belakang.
ADVERTISEMENT
"Itu siapa?" tanya Rendi berbisik-bisik.
"Itu wanita yang pernah kulihat pas kita naik ombak banyu," jawabku pelan.
Kami semakin mendekat ke arah wanita itu. Dia tidak bergerak sama sekali. Dia masih berdiri di sana.
"Kamu siapa?" tanyaku, namun dia tetap diam.
"Mendingan kita pulang aja yuk," bujuk Rendi. Mungkin dia mulai curiga kalau yang berdiri di hadapan kami itu bukanlah manusia.
"Sepuluh tahun lalu, 20 orang mati di sini," teriak wanita itu secara tiba-tiba.
Teriakan itu sangat keras. Aku belum pernah mendengar teriakan sekencang itu, kedua telingaku sakit. Sambil terpejam, kututup telingaku dengan tangan. Aku dan Rendi meringis kesakitan. Rendi pun buru-buru menarik lenganku. Dia membawaku keluar dari kawasan wahana itu.
ADVERTISEMENT
***
Dari kejadian semalam, aku mendapat sebuah petunjuk. Lelaki misterius itu bilang kalau si Arin telah melakukan kesalahan di dalam wahana rumah hantu. Tapi apa kesalahan itu? Satu satunya orang yang bisa menjawab pertanyaan ini adalah Dion. Ya, dia yang masuk ke rumah hantu itu bersama Arin.
Aku dan Rendi pun berangkat ke rumah Dion. Saat kami temui, ternyata dia sedang tidak ada di rumah. Dari kemarin Dion memang sulit sekali dihubungi. Nomor teleponnya tidak aktif, kata orangtuanya si Dion lagi ada urusan di kampung.
"Kalau boleh kami tahu, kampungnya di mana ya, Bu?" tanyaku. Dia pun menyebutkan nama kampung itu.
"Aku tahu itu di mana," ujar Rendi.
ADVERTISEMENT
"Ya sudah kita susul aja dia," kataku.
"Memang ada urusan apa ya sama Dion? Kok kayaknya mendesak sekali," tanya ibunya Dion.
Aku dan Rendi terdiam sejenak dan salah tingkah, "Em... ada tugas kuliah yang harus kami selesaikan bersama Bu," kata Rendi berbohong.
"Oh, begitu ya sudah susul aja ke sana. Kalau udah sampai di kampungnya Dion, tanya saja di mana rumah ambu Minah. Itu rumahnya nenek Dion. Dia menginap di rumah neneknya," jelas ibunya Dion.
Perjalanan dari rumah Dion ke kampung itu memakan waktu empat jam. Aku dan Rendi naik kereta dan setibanya di stasiun, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan angkot. Sekitar jam lima sore, kami akhirnya tiba di kampung itu. Di sepanjang jalan kuperhatikan Rendi sering sekali memijat bagian lehernya sendiri.
ADVERTISEMENT
"Kamu sakit?" tanyaku.
"Nggak kok. Aku kayaknya salah posisi tidur nih. Jadinya leherku pegel banget."
"Oh, begitu. Nanti di rumah neneknya Dion aku pijitin ya," kataku.
"Thanks, Sayang," Rendi tersenyum.
Setelah kami bertanya sana-sini soal lokasi rumahnya ambu Minah, ternyata rumah nenek Dion itu terpisah dari perkampungan. Kami harus melintasi pematang sawah terlebih dahulu untuk sampai ke sana.
Seperti rumah adat Jawa pada umumnya, rumah ambu Minah dindingnya terbuat dari papan. Ada empat tiang penyangga di bagian depan. Juga ada dua buah kursi kayu dan sebuah guci air di beranda rumahnya.
"Permisi...," aku mengetuk pintu rumah itu.
Perlahan pintu pun terbuka. Seorang nenek muncul dari dalam rumah. Rambutnya sudah penuh uban, semuanya putih. Dia mengenakan kaus partai dan celana hitam.
ADVERTISEMENT
"Cari siapa ya?" tanya nenek itu. Suaranya lemah dan agak serak.
"Kami temannya Dion, Nek. Dionnya ada?" tanyaku.
"Oalah, ayo masuk. Dion lagi tidur di kamar. Dari semalam dia sakit."
"Sakit apa, Nek?" tanya Rendi.
"Badanya bentol-bentol," kata ambu Minah.
Saat kutengok Dion di kamarnya, dia sedang tidur pulas. Wajahnya bengkak, tubuhnya penuh bentol. Aku semakin curiga kalau Dion juga melakukan kesalahan di rumah hantu itu. Penyakitnya aneh sekali dan tidak wajar.
***
Nantikan cerita horor Wahana Maut selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini: