Konten dari Pengguna

Masjid Jamik Bengkulu: Karya Arsitektur Bung Karno di Bumi Rafflesia

M Daffa Apriza
Penulis lepas di bidang sosial-humaniora. Berusaha mengenal dan memahami Indonesia melalui budayanya.
26 Juni 2024 6:49 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Daffa Apriza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rumah Bung Karno di Bengkulu hanya berjarak sekitar satu setengah kilometer dari Masjid Jamik. Sumber: Unsplash/Mhd vvn
zoom-in-whitePerbesar
Rumah Bung Karno di Bengkulu hanya berjarak sekitar satu setengah kilometer dari Masjid Jamik. Sumber: Unsplash/Mhd vvn
ADVERTISEMENT
Saat pertama kali berada di Bengkulu, Bung Karno kurang diterima oleh masyarakat Bengkulu. Berbagai pemikiran pembaharuan yang dibawa oleh beliau kurang diterima—bahkan ditolak—oleh warga setempat. Namun, inisiatif Bung Karno untuk memugar Masjid Jamik Bengkulu berhasil meluluhkan hati warga Bumi Rafflesia.
ADVERTISEMENT
Saat awal berdiri, Masjid Jamik Bengkulu masih bernama Surau Lamo—bahasa Bengkulu dari Surau Tua. Surau ini dibangun oleh Daeng Makulle—seorang saudagar keturunan Bugis—pada awal abad ke-18. Awalnya, Surau Lamo berada tidak jauh dari makam Sentot Ali Basyah di Kelurahan Bajak.
Pada abad ke-19, Surau Lamo dipindahkan ke lokasi yang sama dengan saat ini—Kelurahan Pengantungan, Kecamatan Gading Cempaka, Kota Bengkulu. Lokasi baru Surau Lamo yang berada di pusat perdagangan mempertemukan berbagai kalangan saat salat lima waktu.
Surau Lamo menyatukan para kaum tuo—sebutan untuk golongan cerdik pandai dan ulama di tanah Sumatra—dengan masyarakat biasa selama kurang lebih satu abad. Pada awal abad ke-20, para kaum tuo dan masyarakat setempat menyadari bahwa kondisi Surau Lamo membutuhkan perbaikan.
ADVERTISEMENT

Peran Bung Karno dalam Memugar Surau Lamo

Pada saat bersamaan, Bung Karno diasingkan oleh kolonial Belanda ke Bengkulu pada 14 Februari 1938. Kebetulan, rumah beliau selama masa pengasingan di Bengkulu hanya berjarak sekitar satu setengah kilometer dari Surau Lamo. Bung Karno yang rutin salat di Surau Lamo menyadari kondisi surau yang memerlukan perbaikan.
Saat rembuk dengan kaum tuo dan masyarakat setempat, beliau menyampaikan bahwa struktur Surau Lamo harus dipugar agar tidak membahayakan jemaat yang sedang salat. Musyawarah akhirnya mencapai mufakat dan beliau dipercaya untuk mendesain ulang Surau Lamo.
Tidak hanya merenovasi Surau Lamo, Bung Karno juga aktif ikut penggalangan dana untuk proses renovasi. Mengutip dari video YouTube milik kanal Tribun Jateng, Bung Karno membentuk sebuah sanggar budaya untuk menggalang dana ke daerah-daerah.
ADVERTISEMENT
“Oleh karena itu, pada waktu itu, Bung Karno membentuk suatu sanggar—cagar budaya—kalo nggak salah namanya itu Monte Carlo,” papar Lailatul Qodri, Ketua BKM Masjid Jamik Bengkulu. Monte Carlo awalnya adalah klub musik lokal yang kemudian dikelola Bung Karno menjadi sandiwara musik.

Sentuhan Arsitektur Khas Bung Karno

Empat tahun pemugaran Surau Lamo—dari tahun 1938-1942—akhirnya selesai. Surau Lamo akhirnya berganti nama menjadi Masjid Jamik Bengkulu. Namun, bangunan lama Surau Lamo ternyata tetap dipertahankan dan dikembalikan ke tempat asalnya—Kelurahan Bajak, Kota Bengkulu.
Secara arsitektur, masjid ini memiliki perpaduan antara corak Jawa dan Sumatra. Perpaduan ini terlihat pada pilar-pilar, ukiran ayat-ayat suci Al-Qur’an, berbagai pahatan yang berbentuk sulur-sulur—yang bagian atasnya dicat kuning mas gading—dan ornamen kayu di bagian kepala pilar-pilar masjid.
ADVERTISEMENT
Pasca renovasi, tidak banyak struktur masjid yang berubah. Terdapat tiga bangunan inti yang saling menyatu di Masjid Jamik—inti, serambi, dan tempat wudu. Bagian yang diubah hanya atap, tiang masjid, lantai—yang ditinggikan hingga 30 sentimeter—dan dinding yang tingginya naik 2 meter.
Bentuk atap masjid yang bertumpuk dan bertingkat tiga melambangkan iman, Islam, dan ihsan. Desain atap dan plafon yang dibuat terlihat mencakar langit melambangkan ketaatan kepada Tuhan. Selain itu, ornamen tambahan berupa kemuncak pada puncak atap konon terinspirasi dari senjata gada tokoh pewayangan favorit Bung Karno—Bima.
Terkait penempatan tiang-tiang penopang, letaknya Bung Karno atur agar berada di setiap sisi bangunan masjid. Hasilnya adalah bagian tengah masjid yang kesannya lebih lapang dan lega. Pasca dipugar oleh Bung Karno, Masjid Jamik—hingga saat ini—dikenal dengan julukan Masjid Bung Karno.
ADVERTISEMENT
Karena statusnya sebagai bangunan bersejarah, masjid dengan luas 1.860 m2 ini ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI pada tahun 2004.