Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Toxic Positivity, Doa, dan Beramal:Tulisan untuk Para Guru Pencari Kerja
10 April 2022 13:30 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Meicky Shoreamanis Panggabean tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jumlah guru yang sedang mencari kerja tahun ini sepertinya bertambah. CV pelamar bertebaran, kita bisa lihat dengan mudah di Linkedin. Dalam kolom komentar, banyak kita temukan kalimat-kalimat seperti,“Semangat, ya!” atau ”Perbanyak doa dan amal, Bu, Pak.” Ada juga yang berkomentar, “Ditolak wajar, everything happen for a reason, coba lagi ya.”
ADVERTISEMENT
Patut disyukuri dan diberi ucapan terima kasih bahwa mereka bersedia mampir dan kasih penyemangat. Rata-rata tidak mengenal kita secara pribadi, bukan? Tapi, setelah menerima kalimat penyemangat itu dengan senang hati, kita sebaiknya berbuat apa ke diri sendiri? Mari kita lihat dulu kondisi umum yang sedang terjadi.
Pandemi membuat pemilik sekolah kelabakan. Banyak anak yang dipindahkan orang tua mereka ke sekolah dengan biaya yang lebih terjangkau. Sekolah memperketat pengeluaran. Guru yang masih ada lalu banyak yang melakukan tugas beberapa guru sekaligus.
Guru dari rumpun ilmu yang sama biasanya dianggap punya ketrampilan serupa. Lulusan Fisika terpaksa mengajar Kimia. Guru Sejarah mengajar Sosiologi. Olahraga bisa diajar oleh guru apapun asalkan ia sehat dan berbadan tegap. Bahasa tertentu seperti Mandarin atau Sunda diajar oleh guru apapun yang cukup fasih menggunakan bahasa tersebut dalam percakapan dasar sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Adapun guru-guru yang di-PHK membuat CV, mengirimkannya, lalu menantikan hasil sambil berpikir positif. Tentu saja berpikir positif adalah hal baik. Bagaimanapun, pikiran positif hanya bisa lahir jika jika kita memiliki support system yang bagus dan self efficacy.
Niu (2010) mengatakan bahwa self efficacy adalah hasil interaksi antara lingkungan eksternal, mekanisme penyesuaian diri serta kemampuan personal, pengalaman dan pendidikan. Jadi, silahkan berpikir positif bahwa kita akan dapat kerja jika kita memang memiliki support system, pengalaman, pendidikan, kepribadian yang matang atau memadai.
Pemikiran positif yang lahir tanpa adanya kesadaran mengenai betapa beratnya realita yang sedang dihadapi bisa dikategorikan sebagai toxic positivity. Hal ini, yaitu toxic positivity, menuntut kita untuk menghindari pemikiran negatif (“Stay positive, ya!”). Toxic positivity menyingkirkan emosi kita yang sesungguhnya dan membuat kita merasa bersalah atas perasaan kita sendiri (“Bersyukur aja ya belum diterima, jangan stress, ‘kan kamu jadi punya waktu untuk urus Ibumu”).
ADVERTISEMENT
Padahal, tidak salah jika kita merasa putus asa setelah mengirim lamaran ke 5 atau 10 sekolah namun belum juga dipanggil. Itu wajar asalkan putus asa tersebut tidak berlarut-larut.
Toxic positivity menuntun kita untuk bersikap positif secara membabi buta. Ia mengaburkan pandangan kita tentang apa kelemahan kita dan membuat kita menjadi pemalas yang tak terpikir untuk intropeksi diri.
Lalu, wajarkah jika yang kita lakukan sesudah gagal berkali-kali adalah berpikir positif, kian sering berdoa, dan memperbanyak amal? Tiga kegiatan ini adalah saran yang hampir selalu ditulis para komentator di kolom komentar pencari kerja.
Sekedar catatan singkat sebelum jawaban disodorkan, tulisan ini dibuat dengan asumsi bahwa pembaca adalah seorang theist atau sosok yang percaya bahwa Tuhan ada.
ADVERTISEMENT
Jawaban untuk pertanyaan di atas: Wajar tapi kurang pas untuk dijadikan kebiasaan. Berdoa seharusnya dilakukan agar hubungan kita makin erat dengan si Pemberi berkat, bukan agar kita kian dekat dengan berkat-berkat-Nya. Kurang etis jika kita mendekati teman hanya ketika kita sedang ada maunya, bukan? Lagipula jika kita mencintai seseorang, mustahil kita menghubunginya hanya jika ada perlu.
Sedangkan mengenai amal, meningkatkan frekuensi bersedekah idealnya dilakukan karena rasa kemanusiaan kita makin terusik saat melihat sesama sedang susah, bukan karena ingin Tuhan melihat perbuatan baik kita lalu memberi kita pekerjaan.
Namun, tetaplah berdoa dan beramal. Rasa lapar saudara kita tetap akan hilang jika kita berikan lauk-pauk dengan hati tak tulus. Sedangkan menunda memberi hingga hati kita bersih akan membuat kondisi mereka makin buruk.
ADVERTISEMENT
***
Saat kita sudah berusaha sungguh-sungguh untuk cari kerja namun belum kunjung dapat, apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bagi sebagian kaum theists, berdoa bukanlah kewajiban melainkan kebutuhan. Namun, ingatlah, kita belum dapat kerja sangat mungkin bukan karena kurang doa atau amal. Banyak kaum atheists dan agnostic yang tidak berstatus pengangguran.
Sebaiknya, lihat kembali lamaran yang kita sudah kirim. Apakah kita ingin mengisi posisi guru kesenian tapi mengirimkan CV dengan format ATS tanpa melengkapinya dengan portfolio? Bukankah kans kita dihubungi lebih besar jika kita menggunakan creative CV ?
Apakah kita terlalu selektif? Menolak mengajar Matematika karena kita lulusan Fisika? Hal ini sangat bagus namun ada pelamar-pelamar yang mau beradaptasi. Sekolah pasti memilih mereka.
ADVERTISEMENT
Apakah kita bisa berbahasa Inggris dan memahami edutech? Sekolah swasta ternama biasanya hanya menerima guru yang menguasai keduanya.
Ada banyak websites dan video Youtube yang bisa membantu kita menyusun CV dan menghadapi wawancara. Hal lain, tingkatkan kualitas diri. Banyak webinar yang bisa kita hadiri secara gratis. Pastikan kita bukanlah pengumpul sertifikat. Memajang sertifikat sebaiknya disertai dengan kisah di balik layar atau ringkasan materi yang dipelajari sebagai caption. Ikuti kursus online dari Coursera, misalnya. Jika tak mampu secara finansial, bisa ajukan bea siswa.
Lalu, bagaimana dengan sosial media kita? Apakah sarat dengan politik atau SARA? Setahu penulis, cukup banyak HRD sekolah enggan menerima guru yang kerap terlibat politik praktis walau dengan cara yang pasif misalnya hanya sekedar mem-posting tulisan.
ADVERTISEMENT
Bisa jadi, lowongan kerja untuk guru lebih banyak daripada jumlah guru pencari kerja. Jika kita sudah mengerjakan semua bagian kita sebagai pencari kerja dengan taktis dan dengan pengetahuan yang memadai lalu tak kunjung dapat kerja, mungkin sudah saatnya kita berpikir matang-matang tentang alternatif pekerjaan.
Bisa saja kita tetap mengajar tapi bukan di sekolah. Mungkin melamar ke start up pendidikan atau mencoba bidang lain ?
Apapun yang kita lakukan, mengingat efek pandemi belum pulih, bijaklah dalam mengambil keputusan. Jika kita tidak di-PHK namun ingin segera keluar, silahkan mengundurkan diri. Tapi, pastikan kita punya cukup uang untuk 6-12 bulan menyambung hidup tanpa ada gaji dari sekolah.