Konten dari Pengguna

Debat Jemblung 2: Jika NZT dari Limitless benar ada, apakah akan kamu telan?

Mely Santoso
Savvy science reader.
12 Mei 2020 5:08 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mely Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi NZT dari theclearpill.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi NZT dari theclearpill.com
Sering kali di dalam hidup, kita dihadapkan pada apakah harus mengambil suatu keputusan yang berat atau tidak. Tak jarang keputusan yang kita buat membawa ke sesuatu yang lebih baik. Namun, keputusan yang kita ambil juga terkadang menyesatkan dan kita berharap tak mengambilnya sama sekali. Pengambilan keputusan (decision making) itu sendiri telah menjadi topik yang menarik dikaji oleh berbagai ilmuan baik dari psikologi ataupun ekonomi.
ADVERTISEMENT
Tahukah kenapa keputusan yang berat itu membuat kita pusing? Karena tentu saja pengambilan suatu keputusan akan berpengaruh pada bagaimana masa depan nantinya. Selain itu, resiko yang selalu menyertai sebuah keputusan juga menjadi bahan penting untuk dipertimbangkan. Keputusan bisa diambil atau tidak, terkadang dipengaruhi seberapa besar resiko yang akan dihadapi.
Jika Anda punya kesempatan yang sama seperti Bradley Cooper untuk menelan pil NZT-48 (tenang saja ini tidak ada hubungannya dengan JKT atau AKB 48), pill yang membuat seseorang bisa menjadi sangat sangat keren, di film Limitless (2011) apakah akan Anda ambil?
Limitlless adalah salah satu film yang saya tonton ketika masih kuliah dulu. Diperankan oleh Bradley Cooper, film ini berhasil menarik pertahatian saya dan beberapa teman untuk berfantasi bagaimana jika pil NZT-48 ini memang benar ada. Tentunya akan sangat bermanfaat sekali, atau tidak. Dengan menelan beberapa butir, performa tubuh kita menjadi sangat bagus. Kita (hampir) bisa melakukan apapun setelah menelan pil ini.
ADVERTISEMENT
Tidak seperti tulisan saya yang biasanya membahas milenial, fans sepak bola, atau COVID-19, tulisan ini berisi perdebatan saya dengan Yahya Zulhilmi. Untuk yang tidak tahu siapa dia, ia adalah mantan Presiden FoSSEI (Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam) periode 2016. Ia juga yang merokemendasikan film Limitless pada saya. Dulu, ketika hari-hari biasa, kami sering ngopi di Jemblung 2 (Dau, Malang) dan membahas berbagai hal; mulai dari konspirasi, fenomena pemuda hijrah, sejarah kebudayaan Islam, data, sampai selera musik. Namun, ketika pandemi ini menyebar semakin parah, perdebatan kami harus terhalang jarak. Temui mas Yahya di Twitter atau Instagram pribadinya.
Selain mas Yahya, masih banyak lagi teman-teman yang bisanya menghabiskan waktu sampai pagi untuk sekedar membahas hal bodoh. Tak jarang, orang-orang itu sebenarnya juga orang-orang besar seperti mas Yahya. Orang-orang besar itu biasanya suntuk dengan obrolan profesi mereka yang serius, sumpek dengan pekerjaan, atau malas mengerjakan tugas dan butuh obrolan dengan topik sampingan (walau tak jarang topik obrolan itu bukanlah hal ringan). Semoga ada kesempatan untuk berdebat dengan mereka dan menuliskannya lagi di sini.
ADVERTISEMENT
Berlatar belakang nama warkop Jemblung 2 tersebut (bagian ini cerita, bukan promosi), maka segmen ini saya beri nama Debat Warkop Jemblung 2. Kami biasanya (selalu bahkan) berangkat ke Jemblung 2 selepas Isya (biasanya molor 2 sampai 3 jam juga, sih) dan menempati gazebo di parkiran belakang. Kalau-kalau Anda juga pengunjung Jemblung 2, setelah pandemi ini selsai dan kegiatan ngopi kita lancar lagi, sempatkanlah menyapa kami untuk silaturahim. Kami biasanya memesan kopi tulup, kopi gresik susu, atau kopi ijo susu (ini paling mantap). Walaupun lidah kami sebenarnya tidak anti-anti banget dengan kopi fresh, tapi kami lebih menyukai kopi udekan (diaduk) atau deplokan (ditumbuk) yang disangrai dan diseduh tanpa memperhatikan suhu, pada celsius berapa air dituang, penggunaan air apa yang cocok dan aturan rumit lain untuk sekedar ngopi.
ADVERTISEMENT
Karena ini perdebatan di tempat ngopi, bagi sebagian orang, tulisan ini mungkin akan jauh dari penggunaan argumen yang benar atau lepas dari kesalahan berpikir. Kritisi saja jika Anda punya waktu untuk itu. Lebih lanjut, perdebatan ini penuh dengan imajinasi, kata jika, dan what if.
Tanpa perlu basa-basi lagi, inilah isi perdebatan kami, dengan transkrip yang telah saya sunting, tentang apakah lebih baik mengambil pil NZT atau tidak.

Ambil VS Tidak

Yahya Zulhilmi : Aku, kalau harus jujur, sepertinya tidak akan mengambil pil itu. Karena posisiku sekarang sudah tahu resiko yang dibawa oleh obat itu. Candunya itu loh yang bikin masalah.
Mely Santoso : Tapi, jika kita bisa mengendalikan konsumsi pil itu dan punya kontrol penuh atas dosisnya, barangkali kita tidak akan terkena candu. Dampaknya pun akan sangat bagus sekali. Lalu, jika seumpama kita hanya bisa memaksimalkan kemampuan tubuh (yang mana di dalam film tersebut adalah meningkatkan gairah, ambisi, motivasi dan fokus) dengan meminum obat itu, kenapa tidak? Dengan obat itu, kita bisa melakukan apa yang tidak bisa kita lakukan, loh.
ADVERTISEMENT
Yahya : Jika-nya itu loh, Mel. Ada kata jika di argumenmu. Efek candunya itu sangat mematikan. Bukan efek candu dari keinginan konsumsi, tapi efek candu itu ada di badan kita. Saat Bradley Cooper itu tidak mengonsumsi obat, dia itu seperti orang linglung. Tersesat di mana-mana, tiba-tiba ada di mana, tidak tahu arah tujuannya ke mana. Memang obrolan kita ini “what if”, sih. Cuma, dibandingkan dengan pengembangan kemampuan dengan NZT, lebih banyak kerugian yang bakal kita dapatkan. It’s t00 risk, brother. It’s too expensive.
Kecuali memang sudah ada penawarnya. Tapi mungkin bakal tidak ada, semuanya punya resiko.
Mely : Itu juga yang aku maksud. Saat kita berani mendapatkan yang lebih, berarti harus siap membayar lebih. Sesuatu pasti ada harganya. Dengan harga (resiko) NZT yang sedemikian, tapi kita bisa mendapatkan kemampuan yang orang lain tidak miliki, sepertinya itu akan lebih berguna. Daripada selama hidup kita tidak bisa melakukan apa yang kita inginkan, mending kita ambil NZT.
ADVERTISEMENT
Coba kita bawa lebih jauh. Bayangkan; saat kamu dihadapkan dengan kesempatan dalam hidup yang kemungkinan tidak kamu dapatkan lagi di masa depan, apakah akan kamu ambil? Apakah kamu tidak mau mengorbankan apa yang kamu punya untuk kesempatan sekali seumur hidup itu? Kamu juga tahu resikonya. Apakah tetap tidak mau ambil NZT?
Yahya : For me, it’s not worth. Karena begini, Mel. Ada banyak kesempatan yang memang harganya hampir sama dengan jika kita tidak mengambil kesempatan itu. Ngerti nggak? Ada sesuatu yang besar, yang sangat inginkan, dan kita punya kesempatan untuk masuk, merasakan, dan mengecap itu. Tapi, kalau kita tidak mengambil kesempatan itu, bisa jadi harganya sama. Bisa jadi mengambil dan tidak mengambil kesempatan itu seimbang.
ADVERTISEMENT
Karena gini. Akan sangat amazing saat kita bisa melakukan sesuatu yang menurut kita “Wah”, bahkan saat kita tahu kalau resiko itu besar. Tapi, ada satu hal yang sangat susah. Bayangkan kesempatan itu di depan mata, ada satu hal yang sangat, sangat, sangat susah dan itu harganya hampir sama dengan kesempatan itu sendiri. Dan kamu tahu apa itu? Menahan.
Jadi, kalau aku resapi selama ini, menahan diri untuk tidak mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, di akhir, mungkin harganya sama dengan mendapatkan apa yang kita inginkan.
Ingat dulu kita pernah bahas filosofinya Tom Sam Chong yang bunyinya kira-kira seperti ini, “Cinta itu adalah awal penderitaan”? Jika mencintai sesuatu itu adalah awal penderitaan maka, derita di awal (kita menderita untuk menahan sesuatu dari mendapatkannya), kita menahan untuk mendapatkan sesuatu yang kita cintai, bisa jadi adalah sebuah kecintaan baru kita. Jadi kalau cinta membawa penderitaan maka sama dengan, sama dengan kecintaan kita untuk menahan kecintaan tersebut. Jadi sama-sama menderita.
ADVERTISEMENT
Cuma dipilih lagi, mana yang membuat kita lebih tenang. Karena ada orang-orang yang, mereka sebenarnya bisa hidup lebih, tapi karena menahan itu, mereka jadi bisa menikmati kehhidupan itu sendiri. Menjalani hidupnya lebih nyaman. Orang-orang itu seperti saya, yang dulu apa-apa harus dituruti. Itu yang membuat berpikir dua, enam, sepuluh, atau dua belas kali untuk menelan NZT.
Level Up: Ambil VS Tidak
Mely : Tapi misalkan. Coba bayangkan pengambilan NZT ini seperti keputusan Tony Stark untuk membuat Iron Suit di awal. Jika dia tidak membuatnya, dapat dipastikan tidak akan terlahir Iron Man. Saat kita mengambil (memutuskan) sesuatu, maka terwujudlah sesuatu itu. Gitu, loh.
Kita memilih dengan pilihan itu, maka sesuatu terwujud. Toh, apa serunya hanya menahan? Kalau misal dengan resiko mati cepat, namun kita bisa melakukan hal lebih dengan ambil resiko itu, setidaknya kita bisa menjadi lebih “Wow”. Dalam artian kita bisa menjadi lebih bermanfaat walaupun resikonya mati cepat. Ambil NZT itu, kawan.
ADVERTISEMENT
Pertimbangan lain, selama kita hidup belum tentu mendapatkan kesempatan itu untuk kedua kalinya. Jadi mengapa tidak diambil? Dengan kita mengambil, kita juga bisa jadi mendapatkan kepuasan yang lebih dibandingkan kita tidak mengambilnya.
Toh juga, masak hidup sekali tidak bisa mewujudkan apa yang kita inginkan?
Yahya : Jadi, kalau bicara resikonya berarti kan depends on, kan? Kalau kasusnya Iron Man, ada orang-orang yang diselamatkan. Mungkin saat itu Tony Stark berpikir ‘Ini kemaslahatan umat’, jadi sah buat Iron Suit. Dengan demikian kita juga bisa bilang NZT dapat digunakan untuk kemaslahatan umat – kemaslahatan umat manusia. Cuma, ketika menelan NZT ini dan bisa memanfaatkan potensi tubuh 100 persen misalnya, tokoh Bradley Cooper itu seharusnya juga bisa tahu dong potensinya. Pengambilan keputusan kita itu ditentukan oleh ke arah mana atau condong ke mana kita memanfaatkan potensi itu, kan?
ADVERTISEMENT
Bagaimana kalau kasusnya bukan NZT tapi film Lucy yang diperankan Scarlet Johanson, di mana dia bisa memanfaatkan kemampuan otaknya sampai 100 persen. Dan, di film itu akhirnya ya nothing happen, tidak terjadi apa-apa kalaupun Lucy bisa memanfaatkan otaknya 100 persen. Itu kalau bicara resikonya yang masih what if. Cuma kalau kita ngomong masalah kesempatan, kita mengambil sesuatu atau tidaknya itu ditentukan oleh seberapa besarnya resiko yang ada dan seberapa manfaatnya. Dan itu akhirnya menjadi relatif, Mel. Tapi kalau kasusnya adalah NZT, memangnya iya setelah kita memakan NZT kita akan memanfaatkannya untuk sesuatu yang lebih “Wow”?. Bagaimana kalau kejadiannya malah seperti tokoh antagonis di film itu sendiri? yang otaknya hanya uang dan uang.
ADVERTISEMENT
Memang akhirnya menjadi 50 persen – 50 persen. Seperti video judi yang pernah kamu share itu. Mengambil kesempatan 50 persen, tidak mengambil juga dapat 50 persen. Berarti kan peluang kita masih sama. Gagal dan berhasilnya masih sama. Tapi kalau kita tahu ukuran diri kita, maka jadinya kan relatif. Kita mau ambil (asal tahu ukuran diri) tergantung kita, tidak mengambil juga tergantung kita. Tapi kalau aku tetap. Aku tidak akan mengambil NZT, melihat seberapa besar resiko yang ada.
Melihat kasus malam ini, kayaknya NZT itu mungkin bisa seberguna Iron Suit atau Adamantium, atau bisa jadi juga tidak. Kembali ke bagaimana pengambilnya, pemikiran sang pengambilnya. Who’s take the challenge.

Ambil VS Tidak, Subjektivitas

Mely : Aku tetap. Dengan mempertimbangakan beberapa resiko, aku akan tetap mengambil. Dari beberapa pengalaman, ketika kita dihadapkan kepada suatu kesempatan yang belum tentu kita dapatkan lagi di masa depan sedang kita tidak mengambilnya, penyesalannya akan semakin dalam.
ADVERTISEMENT
Jika aku tidak salah memahami, prospek teori menjelaskan ini. Mudahnya, teori itu bilang, apa yang hilang dari kita itu rasa sakitnya lebih besar daripada kebahagiaan saat kita mendapatkannya. Makanya penyesalan itu menghantui kita, ‘Kenapa dulu tidak aku ambil?’. Dan seperti itu terus. Aku menghindari sebuah penyesalan yang malah akhirnya menjadi trauma. Seperti pengalamanku, aku sampai sekarang masih sering bergumam, “andaikan aku ambil itu dulu”. Dan itu membuatku serba menyalahkan keadaan. Jika ada sebuah keadaan yang tidak aku inginkan, aku cenderung mengingat hal itu dan menyalahkan diri sendiri dengan “kenapa tidak ku ambil kesempatan itu”. Aku tipikal orang yang susah berdamai dengan diri sendiri. Dalam artian, jika aku melakukan sesuatu yang di masa depan tampak salah, aku susah memaafkan diri sendiri. Bagiku itu baik selama itu memacuku untuk mencari yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Jika memang resikonya lebih besar, kita harus siap. Sama seperti, “Cinta adalah awal penderitaan tadi”, sekali kita mengambil cinta, kita juga menggenggam penderitaan. Saat kita tidak berani mengambil penderitaan cinta, kita tidak mendapatkan cinta juga.
Jadi kalau misal kita dihadapkan suatu keputusan yang kemungkinan di masa depan tidak lagi kita dapatkan, mending aku ambil. Masalah lain seperti tentang apakah nanti kita menggunakan untuk kebaikan atau tidak, tergantung bagaimana kita dan lingkungan yang kita pilih.
Yahya : Masalahnya “What if” di situ penuh dengan ambiguitas yang tinggi, Mel. Kalau “What if” nya itu sesuatu yang nyata, aku rasa it’s worth to take. But come on, it’s NZT, bro. I don’t say it impossible, but cerita NZT ini terlalu hayal. Ini jalan pintas yang kalau dicontohkan ke dalam dunia ini (realita sekarang), bukan cara yang pantas. Bukan jalannya seperti itu. Mencapai cita-cita harusnya bukan dengan cara NZT. After effect-nya NZT itu di luar apa yang kita pikirkan.
ADVERTISEMENT
Kalau misal NZT itu menjadi sebuah kesempatan dan NZT cuma cerita pengantar, ini jadi hal tergantung. Seorang pejudi bisa tahu mana yang layak diambil atau tidak sebernarnya tergantung dari pengetahuan pejudi itu sendiri. Pun itu sama dengan kita saat akan mengambil sebuah kesempatan. Ini masih terlalu rancu dan abu-abu. Karena ini kembali pada relativitas. Baik buruknya sebuah chance, tergantung persepektif orangnya atau kembali pada pengetahuan orangnya. Bisa jadi apa yang menurut seseorang baik, dengan kadar pengetahuan resiko keuntungan dan kerugian yang sama, mengambil atau menahan untuk mengambil berpotensi jadi hal baik. Sama keduanya punya kesempatan.
Jadi apa yang kita bicarakan dari tadi, kalau dari segi psikologis aku tidak tahu, cuma pengambilan keputusan sekali seumur hidup, lagi-lagi itu kembali ke hal relatif. Karena membaca hati orang lain itu sulit dan rumit. Mengambil keputusan bisa jadi baik, tidak mengambil keputusan itu baik.
ADVERTISEMENT
Aku cenderung sebagai seseorang yang pernah mempertaruhkan sesuatu yang besar, untuk sesuatu yang lebih besar lagi. Aku pernah mempertaruhkan sesuatu – yang sampai sekarang mempertaruhkan itu adalah kegoblokan, tapi apa yang aku dapatkan dari pertaruhan itu lebih besar dibandingkan what I left.
Arbi: Kalian ngomongin apa sih?
Mely: Besok sahur di mana?
Arbi: Biasa, warung Dermo
Mely: Tapi jangan misah misuh lagi, nanti diceramahin sampai subuh sama ibunya.
Yahya: Yuk. Sekarang aja sahurnya.