Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bahaya Labeling, Ternyata Bisa Picu Polarisasi
13 Juli 2023 18:12 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Fhandra Hardiyon tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Labeling, satu kata yang kiranya kurang familiar di telinga masyarakat, namun praktiknya sangat sering terjadi.
ADVERTISEMENT
Terlebih di zaman digitalisasi 4.0, labeling kerap muncul bak sistem yang sengaja diciptakan, mengarahkan opini masyarakat dan membelahnya jadi kelompok-kelompok tertentu.
Apa Itu Labeling?
Umumnya, labeling adalah teori yang muncul akibat reaksi masyarakat terhadap perilaku seseorang yang dianggap menyimpang.
Seseorang yang dianggap menyimpang kemudian di cap atau diberi label oleh lingkungan sosialnya. Teori labeling menjelaskan penyimpangan, terutama ketika perilaku itu sudah sampai pada tahap penyimpangan sekunder (second deviance).
Secara istilah, perilaku-perilaku yang menyebut seseorang dengan sebutan “kamu nakal”, “dasar jorok”, “dasar gendur”, “malas”, “bodoh”, termasuk ke dalam personal labeling. Permasalahannya adalah pemberian label pada seseorang, kita cenderung melihat label sebagai gambaran keseluruhan orang tersebut, bukan gambaran perilakunya satu persatu.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data yang dipaparkan oleh We Are Social pada bulan Januari 2023, pengguna media sosial di Indonesia mencapai 167 juta pengguna aktif, atau meningkat lebih dari 30 persen secara signifikan.
Kini, masyarakat Indonesia memiliki akses yang sama dalam memeroleh informasi. Disisi lain, masyarakat Indonesia juga memiliki akses sama untuk berkomentar dan menggiring suatu topik yang mengarah ke bentuk tindakan labeling.
Media Sosial Itu Penuh Algoritma
Transformasi digital yang meluas ke seluruh dunia dengan cepat kerap menimbulkan disrupsi. Indonesia sebagai negara berkembang memang cukup kewalahan dalam mengelola arus digital yang ‘dipaksa’ masuk ke tanah air.
Pada media sosial persoalan fakta, fiksi, kebenaran dan kepalsuan tertutup oleh euforia kebebasan berpendapat, warganet berlomba mengunggah pendapatnya tanpa melalui proses literasi.
ADVERTISEMENT
Pada media sosial batas ruang publik dan ruang privat semakin samar, banyak warganet yang membagi ruang privatnya ke media sosial. Isu privat didigitalisasi layaknya agama, ras, bahkan seks demi kepentingan tertentu sehingga berubah menjadi sentimen publik.
Setiap warganet bisa berprofesi apapun, termasuk jadi hakim yang memvonis warganet lainnya, bahkan ada yang seolah menjadi tuhan.
Dalam media sosial prestasi dicari dengan sensasi, bahkan alih-alih kreativitas namun kenyataannya sekadar banalitas yang berpotensi menimbulkan kegaduhan sebab mengkotak-kotakkan persepsi seseorang dan itu yang diproses algoritma.
Kenapa Bisa Picu Polarisasi?
Ibaratnya peribahasa Karena Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga. Hal ini menjelaskan secara gamblang bahwa labeling yang terjadi di media sosial bisa memicu pertengkaran, kedengkian, bahkan mempertaruhkan persatuan di atas kepentingan kelompok.
ADVERTISEMENT
Masyarakat perlu belajar bahwasanya saat kontestasi politik berlangsung ada hal yang perlu diperhatikan. Labeling menyusupi opini masyarakat secara tersirat, banyak yang tak sadar akan hal itu.
Labeling kerap dipertontonkan melalui propaganda-propaganda tertentu. Mereka bak sistem yang siap memasuki ruang bawah sadar seseorang, dan berusaha mempengaruhinya.
Konteks labeling dalam kehidupan politik berbicara tentang penggunaan penjulukan yang bermotif dan bertujuan politik.
Politik sebagai arena persaingan pengaruh dan perebutan kekuasaan akan dikelola melalui strategi justifikasi perilaku menyimpang atau negatif terhadap pihak kompetitor.
Politik elektoral di negara demokrasi menjadikan citra publik adalah yang utama. Meskipun kekuasaan adalah tujuan akhirnya, namun lagi dan lagi citra baik adalah modal wajibnya.
Dulunya ‘Kampret’ Sekarang ‘Kadrun’
Bentuk labeling yang paling populer di masa Pilpres 2019 adalah cebong versus kampret. Cebong adalah julukan untuk pendukung Jokowi-Amin, sedangkan kampret adalah julukan untuk pendukung Prabowo-Sandi.
ADVERTISEMENT
Julukan ini dimaksudkan untuk merendahkan masing-masing pendukung dengan berbagai persepsi negatif yang disebarkan dari makna julukannya.
Pada akhirnya Prabowo Subianto bergabung dalam kabinet Indonesia Maju Joko Widodo, begitupun dengan Sandiaga.
Tak sampai disitu saja, pasca pemilihan gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017, situasi polarisasi politik menggunakan identitas agama semakin meningkat. Situasi ini terus berlanjut jelang Pilpres 2019.
Perang simbol agama terus dipertontonkan oleh elit negara. Pada tanggal 27 Juli 2018, sejumlah ulama Alumni 212 dan politikus melakukan ijtimak ulama untuk mendukung pasangan Prabowo Sandi.
Hal ini kemudian direspon oleh pengusung Joko Widodo dengan menjadikan mantan ketua Majelis Ulama Indonesia, K.H. Ma’ruf Amin sebagai calon Wakil Presiden. Alhasil keterbelahan dukungan politik di kalangan umat Islam semakin terpolarisasi.
ADVERTISEMENT
Apa Kabar 2024?
Dengan bentuk polarisasi yang terjadi di tahun-tahun politik tersebut, apakah mungkin tahun politik 2024 tak akan terjadi polarisasi seperti kontes-kontes sebelumnya? Pada tanggal 27/6/2023 ada gambar yang tengah viral sebab menunjukkan capres yang diusung PDI-P, Ganjar Pranowo dan capres yang diusung oleh Koalisi Perubahan, Anies Baswedan sedang berfoto ria memperlihatkan kedekatannya saat ibadah haji bersama. Apakah ini tanda angin segar perubahan para capres janji tak membawa awan-awan labeling mengarah polarisasi?
Pada akhirnya, kekuatan ada pada segenap masyarakat Indonesia. Masyarakat secara kolektif dan bersama-sama sewajarnya meliterasi diri dengan pengetahuan, dan jangan mudah terbawa rayuan-rayuan dadakan para elit terlebih menjelekkan kelompok yang tak berdasar.