Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Praktik Ugal-ugalan dalam Berpancasila
16 Juli 2023 18:40 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Muhammad Fhandra Hardiyon tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Apabila bangsa Indonesia ini melupakan Pancasila, tidak melangsungkan dan bahkan mengamalkan maka bangsa ini akan hancur berkeping-keping. Oleh karena itu manusia Indonesia harus mengimplementasikan seluruh nilai-nilai Pancasila tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara” (Bung Karno)
ADVERTISEMENT
Petikan Bung Karno tersebut yang harusnya menjadi refleksi manusia Indonesia dalam menjunjung nilai Pancasila, bukan menjustifikasi Pancasila ke arah yang menyimpang.
Pancasila, menjadi ideologi negara Indonesia, tetapi pada kenyataannya Pancasila seakan mengendap sebagai simbol dan belum mampu dimaknai hingga memberikan kesatuan dan persatuan bagi bangsa.
Pemaknaan Pancasila selama berdekade cenderung bersifat top-down dari negara ke rakyat dan makna pancasila makin tereduksi sedemikian rupa, karena Pancasila kerap dijadikan alat stabilisasi dan pelanggaran kekuasaan oleh orang yang memiliki kekuasaan.
Nilai dalam Pancasila
Ada tiga nilai dalam Pancasila yang menjadi tumpuan manusia Indonesia. Pertama adalah nilai fundamental, nilai instrumental, dan nilai praktikal.
Nilai fundamental dikenal sebagai nilai dasar Pancasila yang tertuang dalam sila pertama, Ketuhanan yang maha esa. Nilai instrumental dapat dikatakan masih dapat berubah-ubah sebab manusia Indonesia hidup di zaman yang berbeda-beda, nilai instrumental dapat berubah seiring dengan perubahan ruang dan waktu.
ADVERTISEMENT
Kini, yang menjadi permasalahan bangsa ini dalam mengamalkan Pancasila adalah pada nilai praktikal. Implementasi Pancasila kerap menjadi senjata bagi oknum masyarakat, tokoh masyarakat, pendakwah, bahkan pejabat.
Nilai-nilai praktikal Pancasila didapati mulai luntur dalam diri manusia Indonesia seiring berjalannya waktu. Padahal, secara tak langsung Pancasila telah dikenali pada masa kerajaan seantero Nusantara di mana nilai-nilai dari Pancasila sudah diaktualisasikan baik itu di masyarakat atau di kerajaan, meski belum dibentuk secara nyata.
Pancasila Sebagai Resultante
Manusia Indonesia harus menyadari, ideologi Pancasila itu sebenarnya adalah resultante dalam prismatika, kesepakatan dari berbagai aliran pendapat pada masa pembentukannya.
Jika diibaratkan, Pancasila itu titik temu di antara ide-ide dan masukan, liberalisme masuk, pikiran lokal masuk, komunisme masuk, ketemu di tengah jadilah Pancasila.
ADVERTISEMENT
Pancasila juga memiliki kedudukan sebagai pemersatu dalam pluralitas yang masif. Bukan hanya sekadar konsep ekonomi, tapi kristalisasi budaya bangsa.
Praktik Pancasila yang Serampangan
Indonesia dikatakan bukan negara agama, karena semua agama di Indonesia mendapat perlindungan yang sama, Indonesia tak memberlakukan hukum agama, tapi melindungi pemeluk-pemeluk agama yang ingin melaksanakan hukum-hukumnya di dalam peribadatan.
Namun, negara tak akan membiarkan jika dalam penerapan di lapangannya tak sesuai dengan kaidah sila pertama Pancasila. Penyimpangan pada sila pertama seperti gerakan radikal kelompok tertentu yang mengatasnamakan agama, tidak ada sikap toleransi pada sesama, fanatisme yang bersifat anarki, pembunuhan dan lain lain.
Menjelang tahun politik 2024, di sinilah praktik serampangan dalam berpancasila mulai muncul di permukaan. Sebut saja, praktik politik kotor seperti politik uang. Menghalalkan segala cara demi dapat ‘bangku’ istimewa. Hal ini tentu mereduksi nilai-nilai Pancasila, membenturkan sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima.
ADVERTISEMENT
Dapat disaksikan ketika momen pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 2019 menjadi ajang pembuktian bangsa Indonesia apakah sudah terbebas dari penyakit kanker kronis politik uang.
Ayalnya, kearifan-kearifan lokal yang berasal dari budaya luhur manusia Indonesia, sebagian berpedoman pada ajaran agama-agama Samawi, dapat menjadi benteng pertahanan yang kokoh dibalik gempuran praktik politik uang yang kian marak menghantui nilai kepancasilaan.