Konten dari Pengguna

Pakis Sarang Burung di Wikasatrian: Keajaiban Tanaman dengan Segudang Manfaat

Muhamad Muhaimin
Peneliti di Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi - BRIN
7 Desember 2024 15:59 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Muhaimin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar 1. Penampakan Asplenium nidus yang tumbuh di dalam kawasan hutan Wikasatrian. Sumber Foto: Dokumentasi Arief Hidayat (2023)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar 1. Penampakan Asplenium nidus yang tumbuh di dalam kawasan hutan Wikasatrian. Sumber Foto: Dokumentasi Arief Hidayat (2023)
ADVERTISEMENT
Kawasan Pusat Kepemimpinan Wikasatrian, yang dikelola oleh PT Wijaya Karya, adalah bagian dari lereng Gunung Geulis yang masih menyimpan potensi harta karun yang tak ternilai. Harta tersebut berbentuk hamparan hutan yang lebat nan indah dengan aneka biota yang berlimpah. Sejak tahun 2023, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional telah berupaya mengungkap keragaman jenis flora dan fauna beserta aneka manfaat yang berada di dalamnya. Di antara flora yang memiliki potensi manfaat yang tinggi adalah tanaman pakis sarang burung atau dikenal dengan nama ilmiah Asplenium nidus. Pakis tersebut dapat kita jumpai dengan cukup umum di kawasan Wikasatrian, namun sayangnya potensinya masih belum termanfaatkan dengan baik hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Asplenium nidus (A. nidus) adalah tanaman pakis yang termasuk ke dalam keluarga Aspleniaceae. Nama "Asplenium" berasal dari bahasa Yunani yang berarti "tanpa limpa" karena tanaman ini diyakini dapat menyembuhkan penyakit limpa. Sementara itu, "nidus" berarti "sarang", merujuk pada bentuk daunnya yang menyerupai sarang burung.
Tanaman A. nidus memiliki kekayaan dalam penyebutannya secara lokal mengingat area persebarannya yang sangat luas. Secara umum di Indonesia tanaman ini disebut pakis sarang burung. Di Sumatera, tanaman ini dikenal dengan berbagai sebutan seperti sakai rambat lemon di Jambi, sake bagi suku Sakai, sikarambat atau simbar tukup. Di Jawa Barat, masyarakat Sunda mengenalinya sebagai kadaka. Sementara itu, berbagai suku Dayak di Kalimantan memberikan kita sederet nama yang unik, mulai dari akayar, ransak balun dan lokot, Di Sulawesi sering disebut dengan daun duduk atau daun berdoa karena posisi daunnya seperti tangan yang menengadah. Di Nusa Tenggara Timur, khususnya di Manggarai, tanaman ini disebut tikel, di Halmahera Utara disebut totu pupu sedangkan di Ternate disebut kusu ma jungutu.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, A. Nidus di Malaysia disebut dengan daun semun, paku langsuyar dan paku pandan. Di Filipina, dalam bahasa Tagalog sering disebut dengan pugad-lauin atau pakpak-lauin. Di Thailand, disebut dengan kaprok hang sing, kaprok hua long, atau katae tai hin, sedangkan di Vietnam disebut dengan rang be atau t[oor] chim.
Gambar 2. Susunan Sori dari Asplenium nidus. Sumber Foto: Dokumentasi Arief Hidayat (2023)
Asplenium nidus memiliki sejumlah ciri-ciri (Gambar 1 & 2), yaitu tumbuh menempel pada tanaman lain atau epifit; rimpang pendek, kuat, tegak atau menjulang, membawa roset daun di puncaknya menyerupai sarang, dengan massa akar besar di bawah daun yang memiliki rambut akar coklat yang melimpah dan tahan lama; puncak rimpang ditutupi dengan sisik tipis berwarna hitam hingga coklat keunguan. Daun sederhana dan keras; tangkai daun hingga 5 cm, kuning pucat hingga hitam; lamina berbentuk elips, 1-1.5 m x 6-30 cm, meruncing di kedua ujung, tepi utuh, warna hijau rumput; tulang daun tengah sangat menonjol di atas, datar di bawah, coklat tua pada daun tua, urat daun mencolok dan rapat, sekali (kadang dua kali) bercabang di dekat tulang daun tengah dan kemudian berjalan paralel menyatu lagi di dekat tepi. Kumpulan spora memanjang di sepanjang urat daun bagian bawah, membentuk garis paralel coklat dari dekat tulang tengah hingga menuju ke tepi; kotak spora kecil dan bertangkai. Spora dengan sayap tidak teratur dan tebal, transparan coklat muda saat segar.
ADVERTISEMENT
Pakis sarang burung tersebar di seluruh daerah tropis Dunia Lama, dari Afrika Timur melalui India, Sri Lanka, seluruh Asia Tenggara hingga Taiwan, Australia, Tahiti, dan Hawaii. Di Malesia, A. nidus adalah yang paling umum dan satu-satunya Asplenium epifit yang tumbuh di habitat terbuka dataran rendah. Meskipun A. nidus tumbuh alami sebagai epifit, ia juga dapat tumbuh baik secara terestrial.

Manfaat Tradisional

Masyarakat di berbagai daerah telah memanfaatkan pakis sarang burung sebagai obat tradisional sejak lama. Beberapa manfaatnya antara lain:
ADVERTISEMENT

Kandungan Kimia dan Aktivitas Biologis

Pakis sarang burung mengandung berbagai senyawa kimia yang berkhasiat. Beberapa di antaranya adalah asam amino homoserine, flavonoid seperti kaempferol dan quercetin, serta alkaloid, tannin, dan asam oksalat. Selain itu, tanaman ini juga mengandung terpenoid dan antrakuinon. Senyawa-senyawa ini memberikan berbagai aktivitas biologis, termasuk sifat antibakteri, antivirus, antijamur, antikanker, antioksidan, dan antikonvulsi.

Pemanfaatan Lain

Selain sebagai tanaman obat, pakis sarang burung juga memiliki nilai ekonomis sebagai tanaman hias. Keindahan bentuk dan warna daunnya membuatnya populer sebagai tanaman hias baik di dalam maupun di luar ruangan (Gambar 3). Selain itu, di beberapa daerah, tunas muda pakis sarang burung juga dikonsumsi sebagai sayuran.
Gambar 3. Asplenium nidus sebagai tanaman hias. Sumber Foto: Dokumentasi Arief Hidayat (2010)

Konservasi

Meskipun pakis sarang burung memiliki potensi besar sebagai tanaman obat dan hias, perlu diingat bahwa pemanfaatannya harus dilakukan secara berkelanjutan. Pemanenan yang berlebihan dapat mengancam keberadaan tanaman ini di alam liar. Oleh karena itu, upaya konservasi dan budidaya pakis sarang burung perlu dilakukan untuk memastikan kelestariannya.
ADVERTISEMENT
Pakis sarang burung merupakan salah satu kekayaan alam di kawasan Wikasatrian yang memiliki potensi besar. Dengan memahami manfaat dan keunikannya, kita dapat menghargai, melestarikan, dan memanfaatkan tanaman ini dengan baik untuk generasi mendatang.
Penulis: Muhamad Muhaimin, Arief Hidayat, Wita Wardani
Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi – BRIN
Note: Semua Foto sudah mendapatkan izin dari Arief Hidayat untuk dipublikasi di Kumparan