Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Peradilan Sosial Internet
11 Agustus 2020 14:08 WIB
Tulisan dari Michael Wibowo Joestiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“ A Bunch of entitled internet dope who yell “cancelled” to anyone who doesn’t agree with them. This group of people usually doesn’t have any actual logic or reasons the just use emoji or some words doesn’t have any legal argument and think they won the argument. These people have no lives and are seen attacking influencer/celebrities for something they did or said YEARS ago and hold them accountable or demand apology. These people are controlling and very judgemental They don’t realize that people CHANGE and grow.” – Guitarheropapi (Urband Dictionary)
ADVERTISEMENT
Welcome! This is cancel culture!
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut Sistem Demokrasi. Dimana kebebasan berekspresi dan berbicara di era Demokrasi saat ini dijamin baik oleh instrument hukum nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”, karena dianggap sebagai hak yang penting dalam kehidupan berbangsa dan bermayarakat. Dikarenakan adanya kebebasan dan tidak ada pengawasan sehingga terjadi permasalahan yang awalnya bukan merupakan suatu masalah. Salah satunya pemboikotan kolektif yang dilakukan oleh masyarakat terhadap seseorang atau kita sebutlah supaya memudahkan penyebutan yaitu tokoh publik yang dirasa melanggar norma sosial baik dalam perkataan atau perbuatannya. Hal tersebut disebut Cancel Culture. Masih asing bukan? Yup. Padahal hal tersebut sudah terjadi dari sejak lama, namun banyak orang tidak menyadarinya. Disini masyarakat menjadi “hakim” menghakimi secara sepihak kepada kesalahan seseorang tanpa mengetahui kebenarannya terlebih dahulu. Widih di Peradilan Umum aja harus ada Sidang Pembuktian untuk menemukan kebeneran materiil dengan didukung Alat Bukti sesuai 184 KUHAP sebagai contoh dalam Sidang Pidana. Umumnya, seorang kena cancel karena perbuatan atau perkataan yang berkaitan dengan seksual dan SARA (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan), lalu juga bisa akibat perseteruan antara public figure yang melibatkan penggemar mereka.
ADVERTISEMENT
Main hakim sendiri, penulis tulis sesuai judul Peradilan Sosial Internet. Apakah Cancel Culture sudah terlalu jauh? Rasanya pertanyaan tersebut mustahil untuk kita abaikan. Dalam Media Sosial bahkan laman Google anda akan familiar dengan halaman statement dan halaman opini yang menyimpulkan. Kemudian massa Internet tidak terkendali. Masih ingat kasus Audrey? Dengan tagar #SaveAudrey oleh Influencer dan khayalan orang. Ups ternyata dia Playing Victim, saat Polisi melakukan diskresinya mengumumkan Visum Et Repertum Audrey tidak ada kekerasan sama sekali hehehe. Kena deh! Satu Indonesia kena prank. Eh cuman udah keduluan menyimpulkan sendiri. Sebelum anda mempercayai para penyangkal, anda orang asing dan tidak tahu tentang masalahnya, izinkan saya untuk menjelaskan bahwa dalam masalah terbagi dua faksi yang bertikai. Yang pertama ingin memberikan lebih banyak otoritas kepada orang-orang yang secara historis telah terputus dari penerbitan, pembuatan kebijakan dan kepimpinan kelembagaan. Kelompok lain berpendapat bahwa dirinya kaum liberal tanpa melihat intisari yang bertanggung jawab dalam kebebasan berbicara dan berekspresi. Fenomena budaya tersebut menimbulkan makna dan maksud yang ditafsirkan secara beragam. Permasalahan tersebut seperti efek bola salju yang makin lama makin membesar sampai akhirnya ada menyerukan untuk “di-cancel”
ADVERTISEMENT
Sebenarnya cancel culture secara positif bisa disebut sebagai bentuk demokrasi di media sosial dimana bisa menyuarakan hak dan suara yang berdasarkan fakta-fakta dan sudah diklarifikasi seperti korban merasa malu jika melaporkan ke keluarga atau pihak berwajib dan akhirnya memilih bercerita ke media sosial melalui akunnya atau akun anonym seperti kasus ammy korban pemerkosaan di Tangerang. Kembali lagi sulit untuk menentukan takaran sehingga menjadi pedang bermata dua. Hal ini penting dibicarakan, karena konsekuensi dari cancel culture yaitu online bullying yang berdampak pada mental health victim dalam sehari-harinya hingga terburuk bunuh diri. Pertanggungjawaban dari pelaku hanya tinggal posting permintaan maaf, menghapus konten yang bermasalah, absen sejenak dari Media Sosial untuk sementara waktu, lalu kembali seolah tak ada masalah apa-apa lalu kembali seolah tak ada masalah apa-apa.
ADVERTISEMENT
Dalam cancel culture yang sering menjurus main hakim sendiri bisa ditindak secara hukum bagi pelaku. Jika korban merasa adanya intimidasi dan merasa adanya penghinaan termasuk dalam Delik Aduan. Tindakan penghinaan terhadap orang orang lain tercermin dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang pada intinya setiap orang dilarang dengan sengaja mendistribusikan informasi/dokumen elektronik yang memiliki muatan pencemaran nama baik, dengan ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. Jika dilakukan lebih dari 1 (satu) orang akan dikenakan Pasal 55 KUHP penyertaan. Disini korban merasa terhina merupakan penilaian subyektif tentang kontennya atau ujarannya.
Kesimpulannya, cancel culture tidak terpisahkan dari berkehidupan media soial dan sampai penulis menulis belum akan menghilang. Cancel culture adalah hal yang positif atau negative tidak bisa disamaratakan dan kembali kepada kita dalam penggunaan Media Sosial. Kunci utamanya edukasi, tegur, dan ingatkan sebelum menyuarakan cancel ke seseorang.Lalu adanya Peradilan Sosial Internet yang positif dan dimana pelaku atau massa bisa menjadi Hakim yang bijaksana dengan memenuhi dari tujuan hukum sendiri yaitu Kepastian Hukum, Keadilan Hukum dan Kemanfaatan.
ADVERTISEMENT