Konten dari Pengguna

Cisadane, Sungai yang Menuntut Perhatian!

Laurensius Matthew Pramudya Agung
Hello! My name is Laurensius Matthew Pramudya Agung, and I am a student at Multimedia Nusantara University, majoring in Digital Journalism.
20 April 2025 13:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Laurensius Matthew Pramudya Agung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah hujan yang turun dengan gemuruh, Sungai Cisadane, yang dulu begitu tenang mengalir, kini berubah menjadi sang raja amuk. Aku berdiri di tepi jalan yang hampir seluruhnya terendam, memandang air yang terus meluap, mencekam, menggerus segala yang ada di jalannya. Begitu rupa sungai itu, yang terlahir dari alam dan kemudian menjadi saksi bisu peradaban, kini berubah menjadi pembawa bencana yang menelan tanah, harta, dan kehidupan.
Foto oleh Laurensius Matthew Pramudya Agung.
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Laurensius Matthew Pramudya Agung.
Hari itu, 3 Maret 2025, langit di atas Bogor, hulu dari sungai ini, menangis tak berhenti. Hujan deras yang mengguyur sepanjang malam mengisi tiap celah tanah, mengisi setiap pori-pori bumi dengan air, hingga akhirnya alam tidak mampu lagi menahan beban. Dan, seperti air yang tak bisa dibendung, Sungai Cisadane meluap, menari-nari liar dengan arus yang memporak-porandakan jalanan, rumah-rumah, dan jiwa-jiwa yang terlupakan. Banjir itu datang tanpa ampun, membawa serta ingatan akan kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan terhadap alam.
ADVERTISEMENT
Aku melangkah perlahan di antara genangan air yang terus naik, menggenangi jalan-jalan, merendam rumah-rumah, dan menghapus jejak kehidupan yang seharusnya tumbuh dengan tenang. Di sepanjang jalanan Panunggangan Barat dan Panunggangan Utara, aku melihat rumah-rumah yang dulu berdiri kokoh, kini terendam hampir setengahnya. Ketinggian air yang mencapai 70 cm seolah tak memberi ampun pada mereka yang terjebak di dalamnya. Di sana, di tengah ributnya air, aku mendengar teriakan anak-anak yang terperangkap dalam pelukan ibu-ibu mereka, mencari tempat aman di balik pintu-pintu yang teredam. Semua itu terlihat seperti gambaran kesedihan yang tak terucapkan.

Banjir Ini, Bukan Hanya Air yang Menggenang

Foto oleh Laurensius Matthew Pramudya Agung.
Menurut data dari tangerangkota.go.id, sekitar 128 keluarga menjadi korban langsung dari bencana ini. Air yang meluap, yang dulu hanya sekadar aliran tenang, kini berubah menjadi pembantai ketenangan hidup. Sementara itu, di Februari 2024, banjir yang serupa merendam 733 rumah di Desa Tanjung Burung. Arus air yang datang begitu cepat, seolah tak memberikan kesempatan bagi siapa pun untuk berlari menyelamatkan diri. Rumah-rumah yang dulu menjadi saksi canda tawa kini terendam, ditinggalkan dalam diam, dibungkus lumpur dan kerusakan. Setiap langkahku terasa lebih berat dari biasanya, bukan hanya karena air yang terus meningkat, tetapi juga karena kesedihan yang terasa begitu nyata, menggantung di setiap sudut jalan yang terendam.
ADVERTISEMENT

Kisah Alam yang Terlupakan

Foto oleh Laurensius Matthew Pramudya Agung.
Tetapi, lebih dari itu, banjir yang terjadi di Cisadane bukan hanya sekadar fenomena alam. Ada kisah yang lebih besar yang tersimpan di baliknya. Seiring dengan pesatnya urbanisasi yang terjadi di Tangerang, alam seperti dilupakan. Beton dan aspal menggantikan ruang terbuka hijau yang dulu menjadi penyangga alam. Aku membayangkan, betapa seharusnya tanah ini menyerap air, bukannya memantulkannya kembali ke sungai yang kini sudah tak mampu lagi menampungnya. Setiap tetes air yang datang, seolah memperlihatkan ketidakseimbangan yang telah terjadi. Hutan-hutan yang dulu tumbuh rimbun di hulu sungai, kini hanya tinggal kenangan. Deforestasi yang tak terkendali memperburuk bencana ini. Tanah yang seharusnya menyimpan air, kini berubah menjadi ruang kosong yang mempercepat aliran air menuju hilir, menuju Tangerang, menuju rumah-rumah yang terendam.
ADVERTISEMENT
Dalam sekejap, arus sungai yang tenang berubah menjadi sungai yang ganas. Aliran air yang datang begitu cepat, membawa serta segala yang ada di depannya, tanpa pandang bulu. Warga yang terdampak berlarian, menembus derasnya hujan, berusaha menyelamatkan harta benda mereka yang nyaris hilang ditelan banjir. Setiap langkah mereka seperti berjuang melawan kekuatan alam yang tak terkontrol. Begitu dalam rasa kehilangan yang mereka alami.

Kerusakan yang Tak Terbendung

Foto oleh Laurensius Matthew Pramudya Agung.
Penyebab dari segala bencana ini bukan hanya datang dari langit, tetapi juga dari tangan manusia. Sampah yang menggunung di sepanjang tepi sungai, yang dibuang begitu saja, memperburuk keadaan. Setiap botol plastik, setiap sampah rumah tangga, setiap limbah industri, yang tercampur dengan air, membuat aliran sungai semakin sempit dan terhalang. Sebuah artikel yang diterbitkan oleh researchgate.net menunjukkan bahwa pencemaran oleh sampah ini mengurangi kapasitas sungai untuk menampung air, memperburuk risiko banjir. Setiap sampah yang dibuang ke sungai adalah sebentuk pengkhianatan terhadap alam yang telah memberi kita banyak hal. Dan ketika sungai itu akhirnya murka, kita yang harus menanggung akibatnya.
ADVERTISEMENT

Wajah Keadaan

Foto oleh Laurensius Matthew Pramudya Agung.
Aku terus berjalan di antara rumah-rumah yang tenggelam, melihat wajah-wajah yang lelah dan kebingungan. Mata-mata yang penuh pertanyaan, yang tampaknya ingin tahu, "Mengapa ini terjadi pada kami?" Di balik wajah-wajah itu, ada kekuatan untuk bertahan, ada harapan untuk sembuh. Tapi aku tahu, harapan itu hanya akan bisa hidup jika kita mulai bertindak sekarang. Tidak hanya untuk mereka yang telah terendam, tetapi untuk kita semua yang bernafas di tanah yang sama ini. Pemerintah harus segera mengadopsi kebijakan yang lebih tegas untuk mengatasi kerusakan alam ini. Pembangunan yang tidak memperhatikan keberlanjutan harus dihentikan. Deforestasi harus dihentikan. Pengelolaan sampah harus diperbaiki. Infrastruktur pengendalian banjir harus ditingkatkan dengan serius. Dan yang lebih penting lagi, kesadaran masyarakat harus dibangun untuk menghargai alam, agar kita tidak terus-menerus merusaknya.
ADVERTISEMENT

Harapan di Tengah Air yang Menggenang

Foto oleh Laurensius Matthew Pramudya Agung.
Ketika air akhirnya mulai surut, yang tersisa bukan hanya lumpur dan kerusakan. Di balik bencana ini, ada peluang untuk perubahan. Aku berdiri di tepi sungai yang mulai kembali tenang, melihat tanah yang basah, melihat rumah-rumah yang perlahan dipulihkan, dan aku merasakan harapan. Harapan bahwa kita bisa belajar dari kesalahan ini. Bahwa kita bisa menjadi lebih bijaksana dalam mengelola alam ini. Bahwa kita bisa memperbaiki hubungan kita dengan sungai yang telah lama menahan beban kita.
Sungai Cisadane telah menangis, membawa serta air mata dari tanah yang lelah. Kini, saatnya bagi kita untuk mendengarkan tangisannya, untuk memperbaiki apa yang telah rusak, dan untuk melangkah maju dengan kesadaran baru. Sebab, hanya dengan begitu, kita bisa mencegah sungai ini untuk menangis lagi di masa depan.
ADVERTISEMENT