Konten dari Pengguna

Gelanggang Demokrasi Pasca Penghapusan Presidential Threshold

Miftahul Arifin
Koordinator Nasional Kawal Pemilu dan Demokrasi (KPD)
9 Januari 2025 13:38 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Miftahul Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh : Miftahul Arifin
Koordinator Nasional Kawal Pemilu dan Demokrasi (KPD)
Miftahul Arifin
zoom-in-whitePerbesar
Miftahul Arifin
Penghapusan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden atau Presidential Threshold menjadi babak baru dalam gelanggang demokrasi Indonesia. Penghapusan ini adalah angin segar untuk tumbuh kembangnya demokrasi lebih baik dan subtantif. Penghapusan ini telah membuka kran percaturan kontestan lebih dinamis keluar dari kungkungan ruang sempit permainan elit dan oligarki politik.
ADVERTISEMENT
Penerapan presidential threshold 20 persen selama ini memicu ongkos politik yang begitu mahal sehingga mendorong oligarki politik masuk mensponsori calon tertentu. Dan disini kepentingan para oligarki harus diakomodir jika sudah terpilih. Hal ini juga yang menyebabkan terjadinya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Putusan MK nomor 62/PUU-XXII/2024, yang menghapus pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) sudah sangat tepat dan benar. Karena menghidupkan kembali harapa-harapan rakyat tentang demokrasi yang sesungguhnya dan dicita-citakan bersama, yakni “Kedaulatan Rakyat”. Rakyat lebih diberikan berbagai macam alternatif pilihan dalam menentukan pemimpinnya kedepan dalam hal ini Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam putusan tersebut MK menilai, Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan intolerable secara nyata. Secara nyata tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia 1945.
ADVERTISEMENT
Kedaulatan rakyat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) mempunyai maksud, yaitu menempatkan rakyat yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan.
Gebrakan ini telah membuka gelanggang demokrasi pada sebuah pertarungan “Bebas” Dimana partai politik tanpa harus terkendala batasan persentase perolehan kursi di parlemen sudah bisa mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden sendiri. Tentu, ini juga diharapkan dapat memperluas partisipasi politik membawa perubahan signifikan dalam proses demokrasi.
Pengajar hukum pemilu Universitas Indonesia yang juga pegiat pemilu. Titi Anggraini, menyebutnya putusan ini merupakan kemenangan bagi rakyat Indonesia. Ini adalah jawaban atas 36 gugatan yang dilayangkan ke MK terkait presidential threshold.
"Ini kemenangan rakyat Indonesia, putusan yang ditunggu-tunggu para pegiat pemilu ini muncul setelah 36 gugatan dilayangkan ke MK. 36 permohonan menandakan bahwa ambang batas pencalonan presiden memang bermasalah, bertentangan dengan moralitas politik kita," ungkap Titi.
ADVERTISEMENT
Penghapusan Presidential Threshold sejatinya adalah mengembalikan kedaulatan rakyat. Karena memberikan sistem yang lebih terbuka dan luas kepada rakyak. Ketika sistem itu memberikan ruang lebih luas maka mendekati hakekat kedaulatan rakyat. Begitupun sebaliknya, semakin sistem mempersempit ruang bagi rakyat menentukan pilihannya, maka sistem tersebut akan semakin menjauh dari hakekat kedaulatan.
Bung Hatta mengatakan kedaulatan rakyat berarti pemerintahan rakyat. Pemerintahan yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin yang dipercayai oleh rakyat. Gagasan besar tentang kedaulatan rakyat sebenarnya cukup sederhana, yakni rakyatlah yang harus menjadi sumber kekuasaan tertinggi dalam suatu negara, rakyat berkuasa independen atas dirinya sendiri.
Menata Ulang Sistem Pemilu
Sebelumnya MK menghapus parliamentary threshold (ambang batas parlemen) 4 persen suara sah nasional yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu melalui putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023. Karena dianggap tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin konstitusi.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, MK meminta pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR untuk mengubah ambang batas parlemen pada Pemilu 2029 dan pemilu-pemilu yang akan datang. Dengan mengatur ulang besaran angka dan persentase ambang batas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu agar lebih rasional.
Jika dilihat kembali, sistem pemilu di Indonesia pasca reformasi selalu berubah dan sistem pun juga berubah. Berbagai macam persoalan dan inkonsistens pemaknaan kedaulatan rakyat dalam penentuan sistem pemilu pada peraturan perundang-undangan. Sebab itu kedepan harus ada perbaikan yang signifiken terhadap sistem pemilu, misalnya menata kembali sistem pemilu khususnya pemilu legislatif dan pemilu presiden yang selama ini telah digunakan.
Dalam perspektif pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat, penataan sistem pemilu mesti diarahkan pada penerapan prinsip esensial dan prosedural. Ini dimaksudkan agar lebih dekat dan memberikan manfaat lebih untuk masyarakat. Maka secara teknis pelaksanaan, sistem pemilu mesti dibenahi dan diarahkan menjadi sistem pemilu yang sederhana, simpel secara administratif dan pembiayayannya murah.
ADVERTISEMENT
Rakyat menginginkan pemilu yang berkualitas, jujur, adil dan transparan untuk masa depan demokrasi Indonesia lebih baik. Untuk itu perbaikan regulasi tidak boleh tidak mesti dilakukan sesegera mungkin. Pemilu mendatang harus dipilih sistem pemilu yang sesuai dengan prinsip kenegaraan Indonesia serta kedaulatan rakyat yang dianut Undang-Undang Dasar 1945.
Pertaruhan Parpol
Kran telah dibuka, Presidential threshold 20 persen telah dihapus. Meminjam Istilah Hendri Satrio (Hensa) partai politik yang layak dipertahankan adalah mereka yang berani mengajukan kader untuk Pilpres 2029.
Menurutnya dengan keputusan MK nol persen untuk pencalonan presiden, maka partai-partai politik yang layak dipertahankan oleh masyarakat adalah memang partai politik yang berani mengajukan kadernya di Pilpres 2029.
Pertanyaanya adalah, berani tidak Partai Politik (Parpol) memajukan kadernya jadi calon presiden atau wakil presiden sendiri di pemilu mendatang?. Biasanya dengan berbagai faktor dan cuaca politik yang tak menentu tidak semua pimpinan parpol berani mengajukan kadernya ikut maju jadi calon presiden dan wakil presiden.
ADVERTISEMENT
Ini bukan tanpa alasan, pertimbangan elektabilitas dan popularitas menjadi alasan yang banyak diungkap ke publik, mengapa parpol lebih memilih bergabung atau berkoalisi?. Banyak parpol yang memenuhi syarat untuk mencalonkan kadernya dalam pemilu namun kadang tidak punya cukup keberanian melakukan itu. Ini bisa dilihat di pemilihan yang sudah-sudah, baik itu di Pilkada maupun di Pilpres.
Sejarah mencatat, pemilu di Indonesia banyak diwarnai dengan makelar politik dan perjudian oleh para pemain politik. Para pimpinan parpol dipaksa masuk dalam arena pertaruhan dan perjudian. Kalau sudah demikian partai politik menjadi tidak berarti, parpol hanya menjadi simbol belaka.
Disini pimpinan parpol sudah tidak memiliki kuasa atas partainya karena perannya sudah diambil oleh kartel dan pejudi politik, hegemonik partai politik berpindah ketangan para pejudi. Ini menandakan bahwa perjudian tidak mempunyai ideologi, ia hanya mengikuti perkembangan perpolitikan yang ada
ADVERTISEMENT
Kendati demikian terlepas dari itu semua, dengan dihapusnya Presidential threshold 20 persen menjadi penanda ruang demokrasi lebih terbuka luas. Sebab itu pemilu 2029 mendatang kita dorong parpol untuk berani mencalonkan kadernya sendiri masuk dalam galanggang arena pertarungan pilpres. Karena ini momentum bagi parpol untuk mempersembahkan dimulainya era baru dalam menatap masa depan demokrasi lebih baik.