Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Hasrat yang dijebak zaman
Kita belanja terus sampai mati
Awal dari sebuah kepuasan
Kadang menghadirkan kebanggaan
Raih keangkuhan
- Efek Rumah Kaca-
ADVERTISEMENT
….
Mengantre berjam-jam, menabung bertahun-tahun, mencari penghasilan tambahan sebagai sopir ojek online, terbang ke Amerika Serikat, Hong Kong, atau negara lain, lalu menghabiskan uang hingga puluhan dan ratusan juta rupiah. Semua itu tak mengapa demi sepasang sepatu Air Jordan, Yeezy, atau lainnya.
Berbagai alasan begitu banyak disampaikan, serupa tapi tak sama. Harta dan waktu dikorbankan untuk barang mahal yang identik dengan gaya hypebeast.
Misalnya saja, bagi Vellen Roeslan, menggunakan barang-barang bermerek memberinya kebanggaan tersendiri.
"Everytime lu jalan tuh, (ada yang bilang) 'Sepatu lu keren ya'. Itu pasti ada kepuasan tersendiri. Bullshit manusia nggak suka dipuji," ujar pemuda 28 tahun itu ketika berbincang dengan kumparan di rumahnya di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, Kamis (15/11).
Lagi pula, Vellen merasa mampu mengeluarkan jutaan rupiah demi membeli sepatu atau pakaian yang ia inginkan.
ADVERTISEMENT
"Gue pakai barang mahal, karena gue mampu. Bukan harus. That's the difference. Jadi kalau orang tanya, 'Kenapa mesti beli brand-brand seperti itu?' Karena gue mampu, Bos. Dan gue suka," katanya.
Jadi, buat Vellen, apa salahnya membeli dua-tiga sneakers tiap bulan, toh uangnya ada.
Belum lagi rasa bangga yang menyelimuti karena bisa menggunakan barang-barang yang tidak dimiliki oleh semua orang.
Di kemudian hari, ketika menemukan orang lain menggunakan pakaian dengan merek dan seri yang sama seperti yang ia miliki, Vellen memilih untuk menjual barang tersebut.
"Gue pernah pakai BAPE. Gue lagi nongkrong di PIK saat itu. Semua anak muda pake itu. Terus gue pake kayak merasa, 'Udah nggak ada keren-kerennya lagi,'" ujar Vellen.
Vellen ialah salah satu pionir penebar candu hypebeast di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Rekan Vellen, Jeffry Jouw alias Je Jouw yang membangun komunitas Urban Sneaker Society, menilai kultur fesyen jalanan (streetwear) yang lalu menjadi barang mewah ini dibawa oleh arus industri musik hip hop dan media sosial, terutama Instagram.
"Padahal streetwear itu asal mulanya tuh murah loh, malah baju jalanan kan istilahnya. Cuma gara-gara social media ini, there's bad things and good things. The bad things-nya apapun yang hype, harga langsung naik," tuturnya menanggapi fenomena hypebeast yang mengglobal.
Terlebih, merek-merek yang identik dengan hypebeast memanfaatkan strategi marketing yang membuat pakaian, sepatu, dan produk-produk mereka seolah istimewa.
Barang-barang yang diluncurkan terbatas (limited edition), musiman (seasonal), atau hasil kolaborasi para desainer hypebeast yang lantas menjadikannya bernilai lebih tinggi dibanding produk-produk reguler pada merek tersebut.
"Orang itu punya mentalitas di mana 'Gue nggak mau sama (kayak orang lain),'" ujar Je Jouw.
ADVERTISEMENT
Maka bagi mereka yang tergila-gila pada produk tertentu (holy grail), wajar jika harga sepasang sepatu Jordan 1 Retro High Off-White Chicago dibeli hingga Rp 40 juta.
Je Jouw yang bapak satu anak itu kini lebih mementingkan kenyamanan dibanding merek. Baginya, untuk tampil keren dan berbeda, tidak harus menggunakan barang-barang dari merek mewah tertentu.
"Menurut gue, sometimes lebih baik lu pake baju yang bikin lu kelihatan keren, dibanding lu mau kelihatan kaya," ucapnya.
Tren busana di era media sosial kini memang seolah menentukan kelas sosial seseorang dalam kehidupan.
Pertanyaannya kemudian: apakah itu penting buat hidupmu?
Your life, your choice.
------------------------
Simak selengkapnya di Liputan Khusus kumparan, Hypebeast: Gaya Mahal Remaja Kota .
ADVERTISEMENT