Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Enggak Perlu Sinis, Kita Semua Mungkin Pernah Jadi Poser
8 Mei 2018 20:31 WIB
Diperbarui 21 Januari 2021 11:26 WIB
ADVERTISEMENT
Memakai merchandise atau kaus band secara sengaja atau tidak, memang bisa menunjukkan sebuah identitas yang ingin ditonjolkan oleh penggunanya. Apalagi jika si pengguna adalah orang yang benar-benar menggemari band tersebut. Mereka bisa memaknai kaus tersebut lebih dalam dari sekadar ‘fashion item’ semata.
ADVERTISEMENT
Membeli dan menggunakan kaus tersebut tidak hanya menguntungkan secara materi bagi sebuah band , namun juga sebagai dukungan morel.
Lantas apa jadinya jika seseorang tidak tahu menahu sedikit pun soal band atau musisi yang dia pakai kausnya? Apakah dia bisa kita sebut sebagai poser ? Eits, tunggu dulu. Bisa jadi mas atau mbaknya memang enggak peduli soal itu. Lagian poser itu apaan, sih? Toh itu cuma kaus saja, kan?
Jadi begini, tanpa bermaksud pretensius, kumparan (kumparan.com ) akan bahas sedikit mengenai poser. Pada dasarnya, poser dapat ditemukan di berbagai kalangan. Di skena musik, film, sepak bola, anak skate, dan masih banyak komunitas pecinta ‘apa lah’ lainnya.
Umumnya, poser menunjukkan ketertarikan mereka untuk mendapat perhatian bahkan demi diterima di sebuah pergaulan tertentu. Sederhananya, poser adalah orang yang ikut-ikutan, berpura-pura menyukai sesuatu tanpa memahami betul apa yang dia lakukan atau atribut yang dia kenakan.
ADVERTISEMENT
Sammy, bassist dari Seringai ikut angkat suara soal poser yang memakai kaus bandnya.
“Idealnya memang si pemakai tahu (bandnya). Tapi buat gue sih enggak masalah. Free advertising," ujarnya.
Mengenakan kaus band tanpa tahu siapa personelnya, albumnya, lagu-lagunya, mungkin bukan jadi soal bagi sebagian orang (toh, itu cuma kaus?). Tapi, jangan sampai kejadian memalukan terjadi pada kamu. Nih, kumparan kasih contoh.
Beberapa waktu silam, Yadi, berniat untuk menonton sebuah gigs yang menampilkan band-band metal di kawasan Tangerang. Salah satu penampil utamanya adalah BESIDE, yang berasal dari Bandung. Kemudian, dia melihat segerombolan anak yang mungkin masih duduk di bangku SMA memakai kaus BESIDE.
Tibalah saatnya BESIDE tampil. Anak-anak SMA ini hanya diam di pojokan. Yadi kemudian menghampiri salah satunya.
ADVERTISEMENT
”Lo tahu enggak itu yang lagi manggung siapa?” tanya Yadi.
“Enggak tahu, Bang" ujar salah satu anak SMA itu polos.
“Itu yang kaosnya lagi lo pakai, b*go!" seloroh Yadi sambil berlalu begitu saja.
Tidak hanya dalam skena musik, fenomena poser ini juga terdapat di kalangan pecinta film. kumparan berhasil mengorek kisah Jani (bukan nama sebenarnya), seorang pecinta film yang naksir dengan salah satu cowok dari komunitas pecinta film di Jakarta. Mereka berkenalan di sebuah acara screening film.
Cowok ini adalah pengagum karya film dari Wes Anderson dan Jim Jarmusch. Maka, demi mendapat topik obrolan, Jani berusaha untuk menonton film-film dari kedua sutradara tersebut.
Padahal, sebelum mengenal cowok itu, Jani mengaku baru sedikit menonton film Wes Anderson dan bahkan belum ada satu pun film dari Jim Jarmusch yang dia tonton.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, di pertemuan berikutnya, Jani dan si cowok tersebut banyak bicara soal film Wes Anderson dan Jim Jarmusch. Ambisi Jani untuk terlihat ‘wah’ ternyata disadari juga oleh dirinya.
“Aku jatuhnya pretensius banget sih saat itu, karena sebenarnya aku enggak menikmati sepenuhnya film mereka (Wes dan Jim) cuma biar ada bahan obrolan aja, karena niatnya kan buat attract dia aja,” tuturnya.
Perilaku poser ini, nyatanya masih dianggap wajar terutama untuk kalangan remaja. Menurut Vera Itabiliana Hadiwidjojo, seorang psikolog anak dan remaja, penerimaan suatu kelompok menjadi penting bagi diri remaja karena itu menjadi salah satu elemen dari jati dirinya.
ADVERTISEMENT
“Dalam rangka agar diterima (dalam suatu kelompok) itulah remaja sering berusaha mengikuti norma-norma yang ada di dalam kelompoknya agar tetap merasa "one of them" dan tidak dianggap aneh sehingga kemudian dikucilkan dari kelompok,” jelas Vera.
Entah apa yang salah dari seorang poser. Bagi kawanan groupies atau fans garis keras, menjadi poser mungkin memalukan. Poser bahkan seringkali diperlakukan sinis. Toh, menjadi poser mungkin merupakan fase menuju pendewasaan.
Enggak usah menyangkal, hal ini lazim kok. Namun, kadar atau intensitasnya tergantung dari self esteem individu itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Vera.
“Jika self esteem-nya baik, maka individu tersebut akan lebih "kebal" dengan pengaruh kelompok yang ia rasa tidak sesuai dengan dirinya. Dia akan lebih berani untuk ekspresikan diri dan tidak masalah jika harus keluar dari kelompok. Sebaliknya, yang self esteem-nya rendah akan cenderung lebih butuh penerimaan kelompok karena merasa dirinya tidak ada artinya tanpa kelompok tersebut,” papar Vera.
ADVERTISEMENT
Sekarang, coba ingat-ingat sebelum menghujat. Barangkali kamu dulu juga pernah jadi poser?