Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Tahun ini bukanlah tahun pertama bagi Nour Muhammad Adriani untuk menjalankan ibadah puasa di Canberra, Australia. Nour, yang kini tengah mengenyam pendidikan master di Australian National University (ANU) menempuh waktu puasa yang relatif lebih pendek dibanding dengan Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Puasa di sini sekitar 10,5-11 jam. Subuh pukul 05.30 am dan magrib jam 05.00 pm,” ujarnya.
Secara umum, tidak ada yang berubah dari kegiatan Nour saat Ramadhan dan hari-hari sebelumnya. Dia tetap berkuliah dan sibuk mengerjakan tugas. Terlebih, pekan ini Nour sedang menghadapi ujian dan laporan tugas akhir.
Ramadhan kali ini juga bertepatan dengan pergantian musim, dari musim gugur ke musim dingin. Sehingga, waktu siang jadi lebih pendek. Angin Canberra yang dingin membuatnya agak malas untuk berkegiatan di luar ruangan.
Berbeda dengan Nour, Arnaldi Nasrum, mahasiswa dari Groningen University, Belanda ini justru sedang menghadapi musim panas saat berpuasa. Meskipun suhu di sana hanya mencapai 25 derajat celcius --yang notabene-nya tidak sepanas Jakarta, tantangan dalam bentuk lain kerap ditemui cowok yang akrab disapa Arnald ini.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Arnald yang harus berpuasa selama 18 jam di sana, juga memiliki kesulitan soal mengatur waktu sekaligus aktivitas saat berpuasa. Di Belanda, waktu berbuka biasanya sekitar pukul 10 malam. Hal ini membuat Arnald terjaga hingga menunggu waktu sahur, sekitar jam 3 dini hari.
Kesulitan yang sama juga dialami Nour. Dirinya harus menyesuaikan jadwal berkegiatan ketika puasa, karena jadwal kuliah terkadang baru selesai pukul 8 malam.
Namun, di balik kesulitan pasti akan selalu ada kemudahan. Begitu pula yang dirasakan Nour di bulan penuh berkah ini. Dia justru merasa bulan Ramadhan menjadi ajang silaturahmi bagi sesama muslim dan warga Indonesia di Canberra.
ADVERTISEMENT
Terdapat organisasi bernama AIMF-ACT (Association of Indonesian Muslim Foundation – Australian Capital Territory) yang mengoordinasi kegiatan-kegiatan keagamaan di Canberra, termasuk untuk memeriahkan Ramadhan. Banyak anggota terdiri dari mahasiswa hingga pegawai kantoran. Kegiatan rutin yang dilaksanakan di antaranya seperti tausyiah dan tarawih di KBRI setiap hari Sabtu.
Selain itu, sejak tahun lalu AIMF-ACT juga menginisiasi tarawih bersama di musala kampus ANU, ditambah dengan dengan buka bersama pada tahun ini.
Tidak hanya kemudahan dalam terbentuknya relasi, lebih dari itu, Nour juga merasa Canberra termasuk dalam kota yang sangat ‘muslim-friendly’. Makanan halal seperti daging-dagingan mentah maupun olahan impor cukup mudah ditemui.
ADVERTISEMENT
Dia menambahkan, musala di kampusnya pun sering menyajikan menu masakan rumahan seperti soto, ayam balado, ayam penyet, siomay Bandung, yang dimasak oleh ibu-ibu Indonesia di Canberra.
Setali tiga uang dengan Nour, Arnald juga tidak merasa ada kesulitan dalam mencari makanan untuk santap sahur dan berbuka puasa. Arnald mengaku lebih sering untuk memasak bersama teman-temannya untuk lauk berbuka dan sahur.
“Enggak susah kok buat nemuin bumbu (instan) khas Indonesia di Belanda. Jadi masaknya pun enggak ribet,” ucapnya.
Namun, semudah apapun hidup di negeri orang, rasa rindu terhadap tanah air kerap kali dirasakan oleh Arnald dan Nour. Mereka yang sama-sama tidak bisa pulang ke Indonesia saat lebaran ini mencurahkan kenangan manis mereka saat Ramadhan di kampung halamannya pada kumparan.
ADVERTISEMENT
Kemeriahan menyambut Ramadhan memang begitu terasa di berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari ornamen-ornamen Ramadhan, asyiknya berburu takjil, hingga marbot masjid yang membangunkan warga untuk sahur menggunakan speaker.
Hal-hal seperti itulah yang ternyata paling dirindukan oleh Nour.
“Suasana tentunya, sama yang paling penting kehilangan sahur dan buka sama keluarga dan sahabat-kerabat dekat,” Nour memaparkan.
Selain melewati Ramadhan beserta keluarga, kerinduan terhadap salah satu minuman khas dari Indonesia juga merupakan hal yang tak luput dari kenangan Arnald.
“Kangen minum cendol sama tarawihan bareng keluarga,” tuturnya.
Merindukan kebersamaan dengan keluarga rasanya memang lumrah dirasakan para pejuang rantau. Karena keluarga adalah sebaik-baiknya alasan untuk pulang.
Nah, kalau teman-teman, adakah yang pernah mengalami nasib sama dengan mereka?
ADVERTISEMENT