Najwa Shihab soal Pilpres: Enggak Boleh Baper dan Terprovokasi Hoaks

20 Januari 2019 12:56 WIB
clock
Diperbarui 21 Januari 2021 11:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Najwa Shihab di Indonesia Millennial Summit 2019 (Foto: Agaton Kenshanahan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Najwa Shihab di Indonesia Millennial Summit 2019 (Foto: Agaton Kenshanahan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Keterlibatan generasi milenial dalam politik di Indonesia enggak bisa dihindarkan lagi. Menurut Alvara Research Center, pada pemilihan presiden (pilpres) 2019 mendatang, 40-45 persen pemilih datang dari generasi milenial (21-35 tahun).
ADVERTISEMENT
Salah satu yang menjadi permasalahan dalam pemilihan presiden di era teknologi dan informasi sekarang ini ialah maraknya hoaks. Permasalahan ini pun menjadi sorotan dalam Indonesia Millennial Summit 2019 yang digelar kemarin (19/1) di Kempinski Grand Ballroom, Jakarta.
"Kalau menurut saya generasi Z dan Milenial itu jauh lebih tahan banting terhadap hoaks dibandingkan dengan generasi ibu-ibu atau tante-tante kita. Saya ngaku, tante, mamah, umi (saya) terkadang juga ngirimin hoaks. 'Masa mamahnya Najwa Shihab ngiriminnya hoaks kayak begini?'," tutur Najwa Shihab, jurnalis yang menjadi salah satu panelis diskusi bertajuk From Critical Commentaries to Concrete Solutions.
Menurut jurnalis yang akrab disapa Nana itu, generasi muda lebih terbiasa dengan kecepatan informasi. Hal itulah yang jadi alasan mengapa generasi muda lebih tahan banting terhadap hoaks.
ADVERTISEMENT
"Karena bagi generasi yang lebih tua, kecepatan itu kemewahan. Mereka terbiasa saling kirim kabar lewat fax, lewat telepon. Kalau buat kita (generasi muda), kecepatan itu normalitas, bukan lagi sesuatu yang luar biasa," ujar Nana.
Namun, meskipun generasi milenial cukup tahan banting terhadap hoaks, Nana mengingatkan mereka agar tetap melatih memilah informasi. Dia menekankan pentingnya berpikir kritis supaya kamu enggak percaya sembarang informasi yang didapat.
"Anak mudanya yang harus kritis memilah mana yang penting, mana yang janji, mana yang bukti, mana yang retorika, mana yang pinya rekam jejak untuk bisa melaksanakan janjinya, itu adalah satu contoh," terang Nana.
Host 'Mata Najwa' ini menambahkan, "Bagaimana caranya kita tahu, cara paling gampang yaitu dengan iqra. Membaca. Membaca apa saja. Membaca akan membuat kita punya kedalaman imajinasi keluasan hati, tidak mudah diprovokasi, dan akan punya pengetahuan terhadap khazanah sejarah."
ADVERTISEMENT
Nana pun mengkritik perwakilan pemerintah, Moeldoko, selaku Kepala Staf Kepresidenan yang hadir menjadi panelis juga. Menurutnya, agar remaja mau membaca, enggak perlu ada razia buku-buku "Kiri" seperti yang terjadi belakangan ini.
"Suatu kemubaziran sempurna dan pembodohan luar biasa ketika razia buku-buku sejarah. Karena kuncinya menurut saya di membaca, jadi cari tahu banyak hal, perbanyak rujukan, kenali banyak orang, dan jangan baperan," terang Najwa diiringi tepuk tangan peserta milenial yang hadir.
Enggak baper dalam politik ini penting karena menurut Najwa semua orang juga punya perasaan. Dia juga berpesan agar kamu enggak mudah terprovokasi.
"Kita yang alot alotan, elitenya gampang kok pindah kanan dan kiri. Kita yang saling maki, elitenya lobi-lobi untuk posisi. Jadi kalau selalu bawa perasaan, politik itu jadi sesuatu yang biasa, 17 April mau pilih nomor 01 atau 02, terserah, hidup bukan cuma menang kalah. Tetapi tetap harus memilih dan menentukan keberpihakan, menentukan sikap melalui pertimbangan dan proses rasionalisasi yang matang," ujar Nana.
ADVERTISEMENT
Selain Nana, Menteri ESDM, Igansius Jonan juga hadir dalam diskusi panel ini. Dia mengaku santai dalam menanggapi hoaks yang bertebaran di media sosial.
"Setiap orang punya pandangan sendiri, ya enggak papa. Kalau ada hoaks ya jangan baper, kalau ada hoaks enggak usah dibaca. Kalau semua dibaca ya saya enggak kerja kerja," jawabnya.
Menurut Jonan, harus bisa dibedakan antara apa yang voice (pendapat) dan noise (gangguan, berisik). Sehingga ketika memantau medsos harus dipilah-pilah, mana saja kritik dan mana saja yang celaan.
"Selama kritik konstruktif, ya itu dipertimbangkan untuk dipakai, tapi kalau kritiknya cuma mencela semata, ya ini berarti (hasil) kerjaan orang nganggur," pungkas Jonan.
Penulis: Agaton Kenshanahan