Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Siapa Bilang Meme Buang-buang Waktu dan Nggak Ada Gunanya?
31 Mei 2020 15:26 WIB
Diperbarui 21 Januari 2021 11:07 WIB
Di era digital seperti sekarang, media sosial menjadi tempat efektif dalam menyampaikan pesan. Bentuknya tertuang dalam berbagai konten: mulai dari blog, video, atau internet meme. Profesor Komunikasi dan Jurnalistik dari Hebrew University of Jerusalem, Limor Shifman, mengungkapkan bahwa meme kini menjadi bagian yang sangat penting dari cara manusia berkomunikasi.
Meme merupakan gambar atau foto yang diberi teks sehingga menghasilkan suatu makna. Dalam penelitian berjudul Fenomena Meme di Media Sosial: Studi Etnografi Virtual Posting Meme pada Pengguna Media Sosial Instagram yang dilakukan mahasiswa Universitas Telkom, terdapat lima motif seseorang mengunggah meme. Motif tersebut yaitu motif ingin tahu, motif menghibur, motif cinta, motif ekspresi, dan motif harga diri. Kelimanya melahirkan suatu tujuan saat mengunggah meme, seperti merasa diperhatikan, memberikan informasi, dan mendapatkan pengalaman baru.
Dilansir jurnal berjudul Wacana Humor dalam Meme di Media Online sebagai Potret Kehidupan Sebagian Masyarakat Indonesia yang diterbitkan Universitas Negeri Yogyakarta, profesor University of Bonn, Jerman, Christian Bauckhage, menyatakan bahwa meme biasanya berkembang melalui komentar, imitasi, parodi, atau bahkan melalui berita di media lain.
Dalam Google Trends Graphs, meme memperlihatkan tren peningkatan yang luar biasa pada 2012. Dilansir Thrillist, salah satu meme yang paling populer adalah "All Your Base Are Belong to Us". Meme ini mengolok-olok terjemahan bahasa Inggris yang buruk dari permainan Zero Wing. Dengan tampilan teks berwarna putih pada gambar, meme "All Your Base Are Belong to Us" menjadi pendahulu dari beragam meme yang ada saat ini.
Tapi kamu tahu nggak, ternyata asal mula meme bukan berasal dari internet, lho! Bahkan meme berkaitan erat dengan sains. Wah, kok bisa?
Sejarah meme dan ilmu tentang meme
Sekarang kita cenderung menerima meme sebagai gambar lucu di internet; pada awal kemunculannya, arti meme bukan itu. Penulis Inggris, Richard Dawkins, menciptakan istilah tersebut pada 1976. Dalam bukunya, The Selfish Gene, Dawkins menganggap meme setara dengan budaya yang ditularkan dari generasi ke generasi. Menurut Dawkins, meme dapat bereplikasi dengan sendirinya (dalam bentuk peniruan) dan membentuk suatu budaya. Cara seperti ini dikatakan mirip dengan penyebaran virus, tetapi dalam hal ini terjadi di ranah budaya.
Kamu mungkin bertanya-tanya, ada nggak ya ilmu yang mempelajari tentang meme? Ternyata, ada! Namanya Memetika (Memetics). Memetics tidak mempelajari topik sembarangan, lho. Disiplin ilmu ini berkaitan dengan evolusi budaya yang diuraikan bahkan sampai pada pendekatan matematis.
Meme sebagai ekspresi politik
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan MIT Technology Review, meme tidak hanya digunakan untuk hiburan, tetapi media politik pemerintah beberapa negara. Pada 2016 misalnya, Rusia menggunakan meme untuk memengaruhi pemilihan presiden Amerika Serikat. Mereka menggunakan Internet Research Agency untuk menebar konten pro dan kontra salah satu presiden di berbagai platform online.
Keberhasilan meme juga mendorong kampanye militer untuk melaksanakan suatu propaganda. Misalnya kampanye Angkatan Darat Inggris yang meminjam bahasa visual poster berusia lampau untuk mengolok-olok stereotip milenial.
Ketika menyadari kekuatan meme yang dihasilkan oleh masyarakat dapat melayani narasi propaganda negara, mayor Korps Marinir, Michael Prosser, menulis tesis magister berjudul Memetics—A Growth Industry in US Military Operations. Dalam tesisnya, Prosser menyerukan pembentukan pusat perang meme yang akan mendaftarkan orang untuk memproduksi dan berbagi meme sebagai cara untuk mempengaruhi opini publik.
Meski gagasannya tidak membuahkan hasil, pada 2011 pemerintah Amerika Serikat menawarkan USD 42 juta untuk penelitian mengenai meme yang dapat mendeteksi suatu pesan yang disengaja dan menipu.
Meme sebagai bentuk penyampaian cerita dan pendapat generasi muda
Menurut Limor Shifman dalam bukunya Memes in Digital Culture, meme menjadi contoh bentuk intertekstualitas yang menunjukkan bahwa arena baru ini dapat memadukan budaya pop, politik, dan partisipasi dengan cara yang tak terduga. Melalui meme, informasi tidak lagi dimaknai sebagai sesuatu yang eksklusif. Ia menjelma menjadi sebuah unit ide yang dituangkan dalam bentuk media dan melibatkan warganet. Hal tersebut mendorong keterlibatan pengguna internet untuk berpartisipasi dalam kebebasan ruang. Warganet kini memiliki kesempatan untuk menyuarakan idealismenya, menyampaikan kritik, dan menyuarakan keresahan sosial melalui instrumen baru tersebut.
Dalam jurnal Wacana Humor dalam Meme di Media Online sebagai Potret Kehidupan Sebagian Masyarakat Indonesia yang diterbitkan Universitas Negeri Yogyakarta, meme menjadi cerminan kehidupan sebagian masyarakat Indonesia. Misalnya dalam meme yang berisi wacana “Impian Anak Indonesia: Uang Saku Bertambah”. Lewat meme ini, pembuat meme merasa bahwa uang saku yang diberikan orang tuanya kurang dan berharap agar ditambah. Untuk menunjukkan bahwa keinginan itu bukan keinginan pribadi, pembuat meme menambahkan “Impian Anak Indonesia” agar menunjukkan keterlibatan yang lebih banyak.
Saat banyak warganet yang merasakan hal serupa, meme tersebut kemudian tersebar luas dengan sendirinya dan melahirkan fenomena intertekstualitas yang disebutkan Shifman.
Nah sekarang, kamu tahu kan kalau meme ternyata bukan sekadar guyonan belaka?
Artikel ini merupakan bentuk kerja sama dengan by.U