Konten dari Pengguna

Mengeja Waktu

Minhajuddin
Akademisi Unisa Bandung - Peneliti pada Kajian Strategis Hubungan Internasional (KSHI).
29 Juli 2024 9:06 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Minhajuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kematian selalu menyisakan pilu. Photo: unsplash.com/Sandy Millar
zoom-in-whitePerbesar
Kematian selalu menyisakan pilu. Photo: unsplash.com/Sandy Millar
ADVERTISEMENT
Beberapa hari yang lalu, saya mendapat kabar salah seorang kawan SMA meninggal dunia secara tiba-tiba. Kabar tersebut saya jumpai pada whatsapp story yang diupdate oleh kawan yang lain.
ADVERTISEMENT
Saya kemudian menghubungi beberapa kawan yang masih bermukim di kampung sekadar untuk memastikan kebenaran berita duka yang saya dengar. Ada dua kawan yang saya kirimi pesan WA karena keduanya cukup dekat dengan almarhum.
Hampir seharian saya menunggu balasan sebelum keduanya membalas pesanku. Salah satu dari mereka mengirimi saya pesan bahwa dia sedang berada di rumah duka dan hendak ikut shalat jenazah.
Sementara kawan yang lain mengabari penyebab kematian almarhum. "Hipertensi," katanya singkat.
Setelah memastikan bahwa benar kawan saya sudah berpulang, memori saya terlempar jauh ke masa lampau. Sekira 20 tahun yang lalu ketika kami sedang duduk di bangku SMA, suatu waktu saya dan almarhum pernah nekad mendaki gunung berdua. Ya, benar-benar berdua dengan ransum ala kadarnya.
ADVERTISEMENT
Saya masih ingat dengan jelas ketika kami jalan kaki sekian puluh kilometer. Kami tiba di kaki gunung menjelang maghrib kemudian mulai naik ke puncak. Kami menikmati malam berdua di puncak gunung.
Waktu menyapu cerita terlalu cepat. Saya sangat jarang bertemu dengannya ketika kuliah karena kampus kami berbeda dan kami sudah asik dengan dunia masing-masing. Hanya sesekali saling mengunjungi ketika di kampung.
Sebelum kepergiannya, saya bahkan lupa kapan terakhir kali saya berjumpa dengannya. Tentu karena jarak yang terlalu jauh karena dia menetap di kampung istrinya dengan dua orang anaknya.
Demikianlah kematian
Seberapa sering kita menyapa diri untuk menanyakan arah yang akan dituju, ataukah hidup ini membuat diri kita tidak mampu lagu berhenti sejenak dan berkata, setelah ini saya hendak kemana.
ADVERTISEMENT
Kematian, titik dari kehidupan dunia yang mungkin bagi sebagian manusia yang berada dalam keadaan sehat, tidak pernah was-was atas kata itu. Ketika manusia sehat, kematian serasa begitu sangat jauh padahal kita tidak pernah menduga kapan dia tepat di depan kita lalu memaksa kita berangkat.
Kematian bisa saja dipandang dari berbagai perspektif yang berbeda tergantung preferensi masing-masing pribadi. Ada yang kemudian melihat kematian sebagai hal yang lumrah dan proses alamiah, ada juga yang menganggap kematian sebagai sesuatu yang harus direnungi, sebagian menganggap kematian merupakan jembatan ke alam lain dan berbagai perspektif yang lain.
Terkadang kita merasa bahwa menjadi bagian dari makhluk hidup merupakan penderitaan karena kita tidak tahu tiba-tiba saja ada di sini dan pun kita diberitahu setelah ini mau kemana, selain tentu dari kabar dari ayat suci.
ADVERTISEMENT
Saya pernah berpikir bahwa ketika saya sudah menikah dan punya anak, pertanyaan-pertanyaan eksistensial dengan sendirinya akan musnah dari kepala, tetapi ternyata saya salah besar. Sampai detik ini, pertanyaan eksistensial semakin menjamur dengan berbagai variannya tanpa bisa saya cegah pertumbuhannya.
Manusia ditakdirkan menjadi binatang pemikir sehingga semua harus dipikirkan termasuk hidup ini. Orang yang menganggap ini ini sederhana sebenarnya hanya berusaha untuk berdamai dengan ketidakmampuannya untuk memecahkan teka-teki kehidupan. Hidup ini sama sekali tidak sederhana dengan berbagai kerumitan di kepala, termasuk tentang setelah hidup kita akan ke mana.
Menyoal Agama
Agama kemudian menjadi salah satu instrumen paling fungsional bagi manusia untuk sekadar meringankan kepalanya dari berbagai pikiran yang tak berujung.
Agama memberikan suluh bagi mereka yang percaya untuk tidak terlalu galau dengan kehidupan ini karena suatu saat nanti, mereka akan menjumpai nirwana dan abadi dalam kebahagiaan.
ADVERTISEMENT
Tetapi tidak bagi sebagian orang yang kemudian tidak mampu membendung rasa penasarannya. Mereka menuduh agama sebagai biang kekalahan manusia menaklukkan misteri kehidupan. Bagi mereka, masih banyak keajaiban yang harus dieksplorasi dalam hidup ini tanpa terhalang oleh sekat apapun termasuk agama.
Pada akhirnya, yang dibutuhkan adalah harmoni, apapun pilihan-pilihan yang diambil selama tidak merusak makhluk lain. Setelah itu, mati terkapar.
Demikianlah tentang berita seorang kawan yang pamit duluan.