Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ramadan dan Problematika Perantau
5 April 2024 18:22 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Minhajuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ramadan baru berjalan seminggu, salah seorang rekan sudah galau memikirkan penukaran uang pecahan 20 ribu dan 10 ribu. Maklum, tahun ini dia akan mudik ke kampung. Dia butuh beberapa lembar uang pecahan dua puluh ribu dan sepuluh ribu untuk dibagikan ke ponakan-ponakannya.
ADVERTISEMENT
Saya tahu persis berapa pemasukannya dan rentang pengeluarannya tiap bulan. Dia sama sekali tidak berlebih bahkan sangat pas-pasan. Setiap hari, makan siang dengan lauk yang minimalis demi bisa melanjutkan hidup di perantauan.
Namun demikian, tidak berarti bahwa ketika pulang kampung, dia tidak membawa sangu bagi keluarganya. Dia terlalu malu untuk tidak membagi-bagikan angpao kepada keluarganya ketika mudik, meskipun dia sendiri sadar bahwa setelah itu, harus banting tulang untuk kembali hidup normal di perantauan.
Dia tidak sendirian. Saya yakin bahwa mayoritas dari para perantau mengalami nasib yang sama. Stigma orang-orang di kampung bahwa ketika merantau sudah pasti menjadi kaya. Stigma ini yang memberatkan sebagian perantau untuk mudik setiap lebaran meskipun harus memendam rindu terhadap kenangan masa kecil.
ADVERTISEMENT
Mereka yang memang sama sekali sedang paceklik, memilih untuk tidak mudik daripada harus puasa daud di tanah rantau. Saya sangat sering mendengar keluhan dari teman-teman kantor bahwa ketika mudik, harus mempersiapkan modal yang besar di luar biaya tiket mudik dan kebutuhan pribadi.
Ada banyak keluarga yang menunggu amplop meskipun tidak mengutarakan secara langsung, tetapi bisik-bisik di belakang yang seringkali mengganggu para perantau.
Dan berbagai ocehan yang kedengarannya fiksi tetapi benar adanya.
Orang-orang di kampung tidak pernah mau tahu bagaimana perantau struggling di tanah rantau dengan gaji yang hanya bisa membiayai kehidupan sebulan. Bahkan harus berpikir biaya cadangan seperti biaya ketika sakit, sewa kos, dan biaya tak terduga lainnya.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, seseorang merantau dengan tujuan untuk memperbaiki taraf hidup bukan untuk menjadi kaya raya. Jika pada kenyataannya ada yang memang kaya setelah merantau, tetapi harus disadari bahwa masih banyak perantau yang tidak menemui celah menjadi kaya.
Syukur-syukur masih bisa bekerja, banyak perantau yang rela bersabar berbulan-bulan di tanah rantau karena malu pulang kampung dengan tangan hampa. Rela makan roti pagi hari, makan siang lauk ikan pindang, dan makan malam dengan nasi kucing.
Konsep Merantau
Secara teoritis, merantau memiliki beberapa tujuan yang berbeda-beda, antara lain; mencari ilmu. Entah itu sekolah, kuliah atau berguru secara informal dengan seseorang. Kedua, mencari harta dengan cara berdagang, menjadi karyawan, dan mekanisme lain dalam mencari harta. Ketiga, menjadi pejabat.
ADVERTISEMENT
Di luar tujuan di atas, ada juga sebagian kecil perantau dengan tujuan syiar agama. Ini dilakukan oleh sebagian kelompok perantau yang pada awalnya masuk di Indonesia menyebarkan agama Abrahamic meskipun juga berprofesi sebagai pedagang. Sebagian lagi menetap di tanah rantau karena menikah dengan orang asli di tanah rantau.
Merantau bisa diasosiasikan dengan konsep hijrah seperti yang dilakukan oleh nabi Muhammad Saw pada saat memutuskan untuk pindah dari Mekkah ke Madinah. Hijrah yang dilakukan oleh nabi Muhammad Saw tentu dalam rangka syiar agama.
Masyarakat Indonesia sendiri sudah mengenal konsep merantau sejak dulu. Namun demikian, ada beberapa suku yang distigmatisasi sebagai masyarakat yang gemar merantau. Beberapa diantaranya yaitu orang Minangkabau, Bugis Makassar, Batak, Madura serta beberapa suku yang sangat mudah ditemukan di tanah rantau.
ADVERTISEMENT
Sementara suku yang dianggap tidak terlalu familiar dengan kebiasaan merantau adalah masyarakat Sunda. Ada anggapan dari orang Sunda bahwa buat apa kita merantau sementara kita dilahirkan di tanah para Dewa. Orang luar saja berlomba-lomba datang ke daerah kita, kenapa kita harus keluar.
Itulah kenapa kita menyaksikan masyarakat Sunda dengan berbagai kreativitasnya karena mereka memilih untuk melakukan hal tersebut daripada harus merantau. Mulai dari kreativitas di bidang kuliner, pakaian, termasuk juga dalam bidang pariwisata.
Tidak ada benar salah dalam kebiasaan merantau karena setiap orang punya preferensi masing-masing apakah memilih merantau atau tidak.
Ramadan dan Momen Mudik
Sebagai seorang yang sudah merantau sejak 18 tahun lamanya, saya sangat memahami euforia mudik menjelang lebaran. Ada rasa haru yang muncul ketika menyadari bahwa sebentar lagi kembali ke pangkuan ibu dan mengenang masa kecil.
ADVERTISEMENT
6 tahun awal, mungkin tidak terlalu sentimental karena saya merantau di pulau yang sama dengan kampung saya dan status saya masih mahasiswa, sehingga mudik masih tidak terbebani dengan banyak hal. Jika sudah punya uang untuk membeli tiket travel maka masalah sudah selesai.
Namun tidak seperti 12 tahun terakhir. Saya merantau menyeberang pulau dan status saya di perantauan sebagai pekerja. Artinya saya punya beban moral layaknya perantau pada umumnya yang dianggap punya banyak uang.
Saya kemudian harus berpikir puluhan kali lebih keras dibandingkan ketika masih mahasiswa. Ada harapan-harapan yang harus dipenuhi meski saya menyadari kondisi saya tidak terlalu berlebihan di tanah rantau.
Seingat saya, sekali waktu saya tidak mudik pada momen lebaran idul fitri karena benar-benar tidak memegang uang, 2014 kalau tidak salah ingat. Selebihnya, ada dua atau tiga momen idul fitri yang saya lewatkan di kampung karena alasan lain seperti pada saat pandemi Covid-19 dan saat harus mudik ke kampung istri.
ADVERTISEMENT
Setelah sekian lama melewati momen mudik, saya mulai memaknai mudik tidak lebih sebagai momen untuk pulang memeluk ibu. Sekadar tidur di pangkuannya dan memandang kerut di sebagian wajahnya.
Setelah itu, kembali ke tanah rantau dengan kondisi psikis yang kembali pulih. Menghadapi kehidupan di tanah rantau yang bak mengarungi samudera luas.
Selebihnya, jika ada rezeki maka saya akan memberikan ke ponakan tanpa memaksakan diri untuk terlihat sebagai perantau yang sukses. Saya memilih untuk menyeimbangkan kehidupan saya dibandingkan harus memenuhi ekspektasi sosial yang tidak akan ada habisnya.
Pada akhirnya jika ada cerita miring, maka biarlah menjadi angin lalu sambil terus hidup dalam realitas yang sesungguhnya.
Para perantau juga tidak seharusnya berlagak lebih kaya dari masyarakat yang tidak merantau dengan memakai berbagai pakaian yang bermerek. Setiap keluar rumah dengan baju necis dan stelan ala orang kota, padahal kita semua paham bahwa mereka berasal dari kampung yang dulunya mungkin berangkat dari bawah.
ADVERTISEMENT
Renungan Ramadan #21