Konten dari Pengguna

Bukan Sekadar Simbol, Islam Bersifat Multidimensi

Mizanul Akrom
Mahasiswa Pascasarjana di UNU Surakarta jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). Tokoh favorit sekaligus panutanya adalah Gus Dur.
17 Maret 2024 9:06 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mizanul Akrom tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Kumparan. Sumber: https://kumparan.com/berita-hari-ini/doa-memperoleh-rahmat-dalam-alquran-dan-contoh-akhlak-yang-disukai-allah-swt-1wsWKyxF3ra/full.
zoom-in-whitePerbesar
Foto Kumparan. Sumber: https://kumparan.com/berita-hari-ini/doa-memperoleh-rahmat-dalam-alquran-dan-contoh-akhlak-yang-disukai-allah-swt-1wsWKyxF3ra/full.
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini, Islam simbol terus didengungkan oleh sebagian kalangan umat muslim serta dijadikan trend identitas yang seolah menggambarkan dirinya sebagai muslim sejati, hijrah dan menuju Islam yang kaffah. Cirinya, mereka melabeli segala sesuatu dengan simbolisasi, jika tidak islami maka harus diislamkan.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya: apakah berislam itu hanya diperlihatkan pada hal-hal yang bersifat simboliknya saja? Pertanyaan ringkas ini nyatanya membutuhkan jawaban yang tepat dan jelas. Tujuannya agar pemahaman masyarakat terhadap Islam mampu mengantarkannya pada perwujudan pengabdian sosial serta pengabdiannya atas Wujud Yang Esa, yaitu Tuhan.
Secara etimologis, Islam berasal dari kata salima yang berarti selamat, sentosa, damai, tunduk, dan berserah. Kemudian, kata itu berubah menjadi aslama yang berarti kepatuhan, ketundukan, dan berserah. Jadi, seorang muslim hendaknya tunduk dan patuh, sekaligus berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Islam berarti juga selamat dan menyelamatkan, atau damai dan mendamaikan. Sementara secara terminologis, Islam merupakan agama yang ajarannya diwahyukan Allah Swt. kepada manusia melalui Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Islam diyakini pemeluknya mengandung banyak petunjuk ideal bagi kesejahteraan hidup manusia, syarat ajaran moral, menekankan monoteisme, dan kesejahteraan sosial. Selama hidup, manusia harus bisa mengindentifikasi kedudukan Islam dalam dirinya: apakah hanya mengakui Islam dengan lisan (disebut Islam di bawah iman), atau juga diamalkan serta diaplikasikan dalam perbuatan sehari-hari dengan penyerahan diri secara total terhadap Allah Swt. (disebut Islam di atas iman).
Tentu dalam konteks pembahasan ini, Islam dimaksud adalah Islam di atas iman. Sebab Islam memiliki titik tekan pada aspek kepasrahan atau penyerahan diri secara total kepada Allah Swt., bukan sekadar institusi agama yang memiliki nama “Islam”.
Memaknai Islam tidak cukup hanya dengan simbol yang nampak seperti berbaju gamis, bercelana cingkrang, berjenggot atau simbol-simbol lain seperti dituliskan di KTP yang melekat pada diri seseorang. Akan tetapi Islam berbicara kepasrahan atau ketundukan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
ADVERTISEMENT
Islam bukan sebatas doktrin agama yang berisi ritual, melainkan mencakup berbagai bidang seperti ibadah, akidah, kebudayaan, pendidikan, sosial, ekonomi, kesehatan, serta bidang-bidang lainnya seperti disiplin ilmu, ilmu pengetahuan, dan seterusnya.
Dengan demikian, Islam sebenarnya mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Dari cakupan ini, menunjukkan betapa luasnya wilayah kajian dalam Islam. Semestinya, Islam tidak saja dipahami sebagai sebuah agama, melainkan juga peradaban.
Islam sebagai ajaran bagi kehidupan manusia merupakan suatu pandangan yang tidak diperdebatkan lagi di kalangan muslim. Akan tetapi, diktum tentang bagaimana agar Islam dapat dipahami dan diterapkan pemeluknya dalam keseharian menimbulkan berbagai macam persoalan.
Hal tersebut tidak lain di latari oleh interpretasi yang muncul sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, mulai dari situasi sosiologis, kultural hingga faktor intelektual umat, sehingga itu semua akan berpengaruh dalam menentukan bentuk atau isi pemahaman.
ADVERTISEMENT
Watak multi-interpretatif itu telah berperan sebagai dasar dari kelenturan Islam dalam sejarah. Hal ini mengisyaratkan kepada kita mengenai keharusan pluralitas pemikiran dalam tradisi Islam, sebagaimana telah dikatakan banyak pihak bahwa Islam tidak bisa dan tidak seharusnya dilihat secara monolitis. Ini artinya, Islam harus dipandang secara empiris-aktual karena berbagai perbedaan dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik.
Sebagai agama yang hidup di tengah-tengah umat, wawasan pemikiran keislaman dan keagamaan umat muslim kemudian mengalami perubahan karena peluang, tantangan, dan hambatan yang dihadapi pun telah berubah. Kita lihat realitas pemikiran umat Islam Indonesia yang telah menunjukkan fenomena kemajemukan, baik dalam paham keagamaan maupun sosial keagamaan.
Kemajemukan itu sejalan dengan kemajemukan masyarakat Indonesia atas dasar perbedaan suku bangsa, bahasa, dan agama, selain segmentasi umat Islam Indonesia dengan dimensi yang bersifat kultural. Ini berarti, keragaman umat Islam mempunyai latar budaya keagamaan (religio-kultural) yang relatif berbeda dan sejalan dengan perbedaan latar budaya kemasyarakatan (sosio-kultural).
ADVERTISEMENT
Pengaruh latar tersebut bisa diamati pada kecenderungan tiap-tiap pendiri Nahdalatul Ulama dan Muhammadiyah. KH. Hasyim Asy’ari sebagai pendiri NU yang hidup di lingkungan budaya santri di Jombang, menawarkan model pendekatan terhadap islamisasi yang disebut "santrinisasi santri". Sementara KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah yang hidup di lingkungan budaya priyayi di Kauman Yogyakarta, menawarkan model pendekatan yang dapat disebut "priyayisasi santri".
Kedua pendekatan tersebut (santrinisasi santri dan priyayisasi santri), tentunya memiliki watak atau logika tersendiri, tetapi keduanya telah mampu memberikan kontribusi besar bagi perkembangan keislaman di Indonesia, dan merupakan dua sayap penting bagi perkembangan maupun paham keislaman di Indonesia selanjutnya.
Dari sini sangat jelas betapa corak pemikiran atau intelektualitas Is-lam Indonesia mencerminkan hasil hubungan dialektis dengan berbagai lokalitas dan persoalan zaman. Dalam konteks zaman saja, Islam ditengarai dari perjumpaannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, informasi dan digitalisasi yang semakin canggih, kemudian perjumpaan Islam dengan kebangsaan dan kekuatan negara, atau perjumpaan Islam dengan kekuatan budaya lokal.
ADVERTISEMENT
Intinya, pentingnya bagi umat Islam Indonesia agar melihat doktrin Islam jangan hanya dari sisi simboliknya saja, lebih penting lagi agar melihat doktrin Islam ini secara multidimensi, yakni dari sisi keragaman dan kebebasan artikulasi beragama, sehingga Islam benar-benar sebagai peradaban serta pemberi rahmat bagi seluruh alam, rahmatan lil ‘alamin.