Konten dari Pengguna

Menggagas Pendidikan Agama Islam Berwawasan Pluralisme

Mizanul Akrom
Mahasiswa Pascasarjana di UNU Surakarta jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). Tokoh favorit sekaligus panutanya adalah Gus Dur.
14 Maret 2024 23:26 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mizanul Akrom tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Format Ilutrasi. Foto: jijomathaidesigners/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Format Ilutrasi. Foto: jijomathaidesigners/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Sejak beberapa dekade terakhir, diskursus pluralisme cukup memeriahkan rimba intelektual tanah air, seiring kegairahannya mempelajari tema-tema sejenis seperti multikulturalisme, inklusifisme, teologi kerukunan, dan tema-tema perdamaian lainnya.
ADVERTISEMENT
Kekayaan ruang lingkup bahasan perihal terminologi pluralisme ini telah berpengaruh masif terhadap varian analisis atau pergulatan ide gagasan di banyak kalangan, baik yang tersaji dalam bentuk tulisan, artikel, buku, maupun dalam mimbar diskusi akademik-ilmiah.
Hal tersebut sangat wajar, sebab ciri menonjol dan indah bangsa Indonesia adalah sebagai sebuah bangsa yang pluralitas masyarakatnya terdiri dari banyak aspek mulai dari suku, adat, bahasa, budaya, dan agama. Dari aspek agama saja bangsa ini memiliki enam agama yang sah sebagai bentuk keimanan beragama di masyarakat.
Meski demikian, kemajemukan agama-agama ternyata sering kali memunculkan tragedi kemanusiaan yang berujung konflik berbaju agama. Kondisi inilah yang menuntut kita agar selalu membangun kesadaran tentang pentingnya nilai pluralisme dalam kehidupan.
ADVERTISEMENT

Wacana Pluralisme dan Permasalahan Konflik Berbaju Agama

Tema seputar pluralisme memang bukan barang baru dalam masyarakat bangsa kita. Karena dalam bingkai keindonesiaan, jauh sebelum negara ini dibentuk, pluralisme telah tumbuh dan berkembang sebagai buah dari masyarakat yang beragam. Realitas inilah yang kemudian membuat wacana pluralisme menjadi kekuatan menyihir ketika situasi atau kondisi bangsa yang pluralistik ini terusik dan muncul beragam kekerasan yang berujung konflik berbaju agama.
Itu semua cukup dimengerti, sebab paham pluralisme memang memaklumkan sekaligus menebarkan pluralitas atau kemajemukan agama-agama yang terasa tanpa batas. Hal ini tentu menghembuskan angin segar di tengah-tengah mainstream pemahaman atau ajaran agama yang pasif, tekstualis dan eksklusif.
Sebagai gerakan pemikiran, pluralisme telah berhasil menawarkan opini tentang kemajemukan agama, melontarkan apresiasi perdamaian serta menikam segala bentuk cara pandang beragama yang rigid, tekstualis dan eksklusif. Tentunya, paham pluralisme ini dapat dijadikan vaksin ampuh untuk menangkal virus-virus eksklusifisme, truth claim dan salvation claim atas agamanya.
ADVERTISEMENT
Dengan jelajah yang demikian signifikan tersebut, pluralisme sejatinya telah menawarkan diri sebagai paham yang estetis jika melihat konteks bangsa Indonesia sebagai masyarakat bangsa yang multiagama yang terdeteksi dari masing-masing agama ini mengajarkan keyakinan agamanya sebagai keyakinan yang paling benar, sementara keyakinan agama lain salah dan terancam hak hidupnya.
Pemahaman tersebut terkadang disalahartikan hingga menimbulkan perang klaim kebenaran (truth claim) dan klaim penyelamatan (salvation claim) atas agamanya, yang jika diteruskan akan berkembang menjadi konflik berkepanjangan dalam hubungan antara umat beragama.
Permasalahan tersebut menjadi permasalahan yang serba mungkin dan tergolong menjadi permasalahan serius jika tidak diantisipasi dengan kesadaran tentang pentingnya pluralisme atau sikap toleransi dalam kehidupan beragama.

Kritik Atas Pendidikan Agama

Pendidikan agama harus dimunculkan dengan wajah yang penekanannya lebih kepada dimensi etis-religius dengan cara pandang beragama yang inklusif dan pluralis. Sebab, ditempatkannya pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional adalah sebagai basis penanaman nilai-nilai luhur guna membentuk pribadi yang utama.
ADVERTISEMENT
Umumnya, pendidikan agama di sekolah terdeteksi masih terpusat pada hal-hal yang bersifat simbolik-ritualistik dan terfokus pada ranah kognitif. Ukuran keberhasilan pendidikan agama masih dinilai dari sisi kemampuan menghafal dan penguasaan materi agama (kognitif), bukan bagaimana nilai-nilai agama seperti keadilan, menghormati, tasamuh, dan silaturahmi dihayati (afektif) kemudian diamalkan (psikomotorik).
Jika pendidikan agama penekanannya masih mengutamakan aspek kognitif dengan mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik, jangan berharap pendidikan agama kita akan mampu menghasilkan peserta didik yang shaleh individual maupun shaleh sosial. Inilah pangkal dari sikap ketidakpedulian peserta didik terhadap kehidupan sosial-beragama di masyarakat kita, sementara ujungnya adalah banyaknya cara pandang beragama di masyarakat yang parsial, eksklusif, tidak ada dialog, saling menyalahkan dan bahkan mengafirkan.
ADVERTISEMENT

Gagasan Pendidikan Agama Islam Berwawasan Pluralisme

Dengan melihat capaian pendidikan agama yang nihil akan nilai-nilai toleransi kemudian ditambah beragam masalah tindak kekerasan yang berujung konflik berbaju agama, seharusnya yang menjadi tujuan refleksi pendidikan agama kita adalah bagaimana menanamkan cara pandang beragama dengan melihat sisi Ilahi dan sosial-budayanya.
Intinya, pendidikan agama Islam harus mampu menanamkan cara hidup yang santun bagi peserta didik, sehingga sikap-sikap seperti saling menghormati, tulus dan toleransi antara umat beragama dapat tercapai.
Dari sinilah letak signifikansi pendidikan agama Islam berwawasan pluralisme. Sebagai pendidikan agama dengan karakteristik pendidikan yang tidak hanya mengajarkan peserta didik agar hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence), melainkan juga pentingnya sikap pluralisme, saling kenal-mengenal dan menghendaki adanya dialog secara fair, sehingga peserta didik walaupun berbeda agama atau keyakinan mereka saling memberi dan menerima dengan lapang dada.
ADVERTISEMENT
Pendidikan agama Islam berwawasan pluralisme berusaha menunjukkan pendidikan agama dengan wajah pluralis, inklusif, dan demokratis, serta sebagai pendidikan agama yang menjunjung tinggi pluralisme agama-agama, dengan mempertimbangkan tiga karakter utama di dalamnya.
Pertama, karakter PAI yang mensyaratkan adanya nilai pluralisme. Pluralisme tidak semata-mata hanya mengarahkan diri pada realitas kemajemukan, tetapi juga sangat penting agar melakukan peran aktif menata kemajemukan.
Dalam konteks PAI, nilai pluralisme ini ditanamkan agar cara pandang beragama peserta didik itu lebih plural, bukan cara pandang beragama yang tunggal tentang realitas keberagamaan. Sebab, kesadaran pluralisme merupakan keniscayaan yang harus disadari bagi diri masing-masing peserta didik.
Kedua, karakter PAI yang mensyaratkan adanya inklusifisme pendidikan. Inklusifisme adalah sebuah sikap yang menyatakan diri bahwa kebenaran yang dimiliki suatu agama boleh jadi kebenaran itu ada pada agama lain.
ADVERTISEMENT
Adapun inti inklusifisme bagi PAI, berkeinginan agar masing-masing peserta didik meskipun berbeda agama, mereka saling menghormati, saling memberi dan menerima dengan sikap lapang dada.
Ketiga, karakter PAI yang menghendaki pembelajaran pendidikan dengan sistem demokrasi. Praktik pembelajaran dalam sistem demokrasi adalah berusaha memberikan keleluasan bagi peserta didik untuk mengungkapkan pendapatnya secara bertanggung jawab.
Dalam pembelajaran PAI, sistem demokrasi ini dipraktikkan dengan cara memberikan peluang dan kesempatan yang sama bagi masing-masing peserta didik untuk berbicara atau berpendapat, bahkan mengkritik tentang apa saja asalkan pendapat itu bisa dipertanggungjawabkan.
Akhir kata, pendidikan agama Islam berwawasan pluralisme ini sebagai inisiasi yang lahir berawal dari sebuah kritik atas pendidikan agama yang dirasa hanya menghasilkan orang-orang ahli agama, namun cara pandang beragamanya sempit, parsial, dan eksklusif. Itu semua bisa dilihat dari semakin banyaknya orang pintar dan ahli agama, walakin semakin kuat pertentangan atau bahkan konflik berbaju agama.
ADVERTISEMENT
Itu semua menjadi satu bukti bahwa sistem pendidikan agama yang berjalan selama ini belum berhasil memainkan peran edukatifnya sebagai problem solver bagi tragedi kemanusiaan yang berujung konflik dalam kehidupan sosial beragama masyarakat bangsa kita yang multi-agama atau keyakinan.