Konten dari Pengguna

Mengulik Faedah Berpuasa dari Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer

Mizanul Akrom
Mahasiswa Pascasarjana di UNU Surakarta jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). Tokoh favorit sekaligus panutanya adalah Gus Dur.
13 Maret 2024 17:17 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mizanul Akrom tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi puasa Ramadhan. Foto: Oleksandra Naumenko/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi puasa Ramadhan. Foto: Oleksandra Naumenko/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pada minggu (10/03/2024) Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Agama memutuskan puasa Ramadan 1445 Hijriah jatuh pada selasa (12/03/2024). Meskipun berbeda dengan organisasi Muhammadiyah yang awal puasanya jatuh pada senin (11/03/2024), namun tidak mengurangi niat dan antusiasme masyarakat muslim Indonesia dalam menyambut bulan yang suci ini dengan penuh kebahagiaan dan kebersamaan.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya kemudian, apakah puasa Ramadan kita kali ini benar-benar sebagai ritual ibadah yang dapat memberikan dampak sosial bagi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara? Ataukah hanya sebatas ibadah tahunan yang bersifat ritualitas-rutinitas belaka?
Dalam praktik keberagamaan sehari-hari kita, terapi ortodoksi dan ortopraksis seringkali tampak tidak balance, yang berarti penghayatan atas nilai-nilai keimanan seringkali lepas dari peran-peran sosial. Sebab, rumusan makna keimanan dalam agama yang kita yakini seolah tidak ada sangkut pautnya dengan realitas empiris, selain terlalu banyak kontradiksi dan kesenjangan dalam agama antara nilai keimanan (ortodoksi) dan nilai amal (ortopraksis).
Oleh karenanya, eksistensi agama terkesan sudah tidak mampu lagi memainkan peran religiusitasnya di ruang-ruang publik. Meskipun bagi penganutnya, agama ini dipandang sebagai motivasi dan pembawa rahmat bagi seluruh alam, yang secara normatif-teologis agama diyakini juga sebagai pembimbing sekaligus pedoman manusia untuk melakukan kontrol sosial, pemersatu umat dan bangsa.
ADVERTISEMENT
Tidak bisa dinafikan bahwa Asghar Ali Engineer dengan pandangan agamanya, terkhusus gagasan teologi pembebasannya yang kritis-progresif, mampu mengguncang dunia pemikiran Islam, bahkan menjadi salah satu sumbangsih besar bagi gerakan Islam progresif.
Sebagai cendekiawan muslim dari India, Asghar Ali memiliki pandangan bahwa ajaran Islam di dalamnya sarat akan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan. Oleh karena itu, sebagai seorang muslim kita harus bisa menunjukkan bentuk keimanan kita pada Allah dengan membawa perubahan baik yang nyata atau memberi dampak bagi sekitar.
Puasa adalah salah satu ritual ibadah yang mengajarkan kepada segenap umat muslim agar ikut merasakan penderitaan orang miskin yang memang tidak seberuntung mereka yang serba berkecukupan. Kemampuan ini dalam psikologi disebut dengan empati kepada orang lain, orang miskin. Empati ini tentu tidak hanya didasarkan pada pikiran an sich, tetapi juga harus dipraksiskan dalam kehidupan.
ADVERTISEMENT
Puasa sebagai salah satu ibadah yang sesungguhnya akan mempertajam pikiran dan hati kita terhadap penderitaan orang lain, dan Ramadan sebagai bulan suci umat Islam untuk meningkatkan empati kemanusiaan yang telah dirusak oleh pandangan dunia yang individualisme, materialisme, dan hedonisme.

Asghar Ali Engineer dan Teologi Pembebasan

Saya bukan pembaca yang tekun dan konsisten terhadap pemikiran Asghar Ali Engineer, bahkan fragmen pemikiran teologi pembebasannya saja saya baca dari buku terjemahan atau dari tafsiran orang lain, termasuk juga dari ruang-ruang diskusi di beberapa kesempatan saat menyampaikan materi pelatihan di PMII yang hingga saat ini masih konsisten mengulas pemikiran teologi pembebasan Asghar Ali dan beberapa pemikir Islam progresif lainnya.
Satu hal tentang teologi pembebasan, ternyata masih disalahartikan banyak kalangan sebagai teologi Islam yang dianggap subversif, mengusung kebebasan, dan di cap teologi kiri karena mengaitkan Islam dengan Marxisme. Padahal, teologi pembebasan menurut Asghar Ali adalah sebuah teologi yang merefleksikan pada kondisi sosial yang ada, dengan demikian maka harus dikonstruksi secara sosial.
ADVERTISEMENT
Teologi pembebasan merupakan konsep teologi yang menerima tauhid tidak sekadar pernyataan tentang keesaan Tuhan, namun sekaligus juga kesatuan manusia dalam semua hal. Dalam konteks Islam, teologi pembebasan ini tidak hanya mengakui satu konsep tentang takdir Tuhan atas manusia dalam rentang sejarah Islam, tetapi juga mengakui konsep bahwa manusia itu bebas menentukan nasibnya sendiri. Karena itu, teologi ini mendorong pengembangan praksis Islam sebagai wujud antara kebebasan manusia dan takdir Tuhan.
Teologi pembebasan ini dilatari oleh banyaknya fenomena yang berkembang di masyarakat, mulai dari masalah kemiskinan, ketidakadilan, penindasan terhadap kaum lemah, arogansi kekuasaan, dan pengekangan terhadap aspirasi masyarakat. Teologi pembebasan Asghar Ali ini adalah usulan kreatif, karena berupaya mengaitkan antara pentingnya paradigma baru bagi teologi Islam dan perannya memerangi penindasan dalam struktur sosio-ekonomi.
ADVERTISEMENT
Teologi pembebasan Asghar Ali selalu diturunkan dari hukum Islam. Atas dasar itu, maka Islam harus ditampilkan sebagai agama yang mementingkan keadilan dalam segala aspek kehidupan. Keadilan ini tentu tidak akan terwujud apabila tidak ditopang oleh upaya membebaskan golongan masyarakat lemah, dan memberi kesempatan kepada mereka untuk menjadi pemimpin.
Pada akhirnya, Asghar Ali dipandang sebagai cendekiawan muslim sekaligus pemikir Islam progresif yang sangat terkenal dalam dunia pemikiran Islam, dan merupakan seorang aktivis sosial di India yang mempunyai perhatian besar terhadap problem-problem sosial, dan berusaha mengatasi problem sosial ini dari kaca mata agama dengan cara menjadikan agama sebagai motivasi bagi transformasi sosial.

Faedah Berpuasa Perspektif Teologi Pembebasan

Tanpa bermaksud mengglorifikasi teologi pembebasan untuk menggali lebih dalam tentang substansi makna puasa, namun lebih kepada bagaimana mengadaptasi pemikiran teologi pembebasan ini sebagai motivasi agar ritual ibadah puasa lebih bermakna dan memiliki relevansi bagi transformasi sosial.
ADVERTISEMENT
Secara fungsional kehadiran agama dapat menjadi perekat sosial, meningkatkan solidaritas sosial, menciptakan perdamaian, membimbing masyarakat menuju keamanan, dan mengubah kehidupan seseorang menjadi lebih baik, serta memotivasi kerja dan berbagai peran sosial lainnya, yang ke,semuanya itu berkaitan dengan dan untuk menjaga stabilitas sosial.
Hubungan erat antara agama dan masyarakat ini berimplikasi pada penggunaan fungsi kolektif agama untuk memobilisasi masyarakat demi perubahan sosial. Sementara itu, ajaran agama sebagai alat ampuh untuk mendorong perubahan sosial. Jika dorongan keagamaan masih mendasari seluruh aktivitas seseorang, maka ritual agama dengan mudah menjadi mesin perubahan.
Salah satu ritual ibadah wajib bagi umat Islam adalah puasa Ramadan. Walaupun sebenarnya, ritual puasa ini tidak hanya dijalankan oleh agama Islam saja, namun juga pada agama lain yang ketentuannya berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Secara harfiah, puasa diartikan dengan “menahan” (as-shiyam). Sementara secara terminologis, puasa dipahami sebagai ibadah yang pantang melakukan hal-hal tertentu yang dapat membatalkan puasanya secara sengaja dan pada waktu yang telah ditentukan.
Adapun, salah satu nilai tambah yang dapat diperoleh dari ibadah puasa ini adalah terwujudnya kehidupan sosial masyarakat dan bernegara yang damai serta bersih dari korupsi. Inilah tujuan yang seharusnya diagitasikan oleh mereka yang memegang mimbar Ramadan atau semua orang yang terlibat di dalamnya.
Sebab, sering kali muncul pertanyaan, mengapa masjid di bulan Ramadan yang setiap tahun ramai dikunjungi jama’ah dan semaraknya agenda kegiatan di dalamnya, namun korupsi dan tindakan penyimpangan sosial lainnya juga tidak kalah semarak? Apakah puasa puasa Ramadan ini hanyalah sebuah festivalisasi belaka?
ADVERTISEMENT
Inilah mengapa teologi pembebasan sangat penting untuk dimanifestasikan dalam konteks ritual ibadah puasa ini. Karena teologi pembebasan menginginkan agar keimanan dan praktik beragama seseorang memiliki dampak sosial bagi kehidupan. Sehingga puasa Ramadan yang berlangsung selama satu bulan penuh benar-benar sebagai ibadah yang berkelanjutan dalam arti berdampak secara sosial.
Asghar Ali mengatakan, puasa bukanlah semata-sema ritual yang menahan rasa lapar dari mulai terbit sampai tenggelam matahari. Lebih dari itu, puasa adalah instrumen dalam melakukan latihan mengendalikan berbagai keinginan yang kerap bercokol pada diri seseorang. Harapannya, hati seseorang menjadi bersih dan suci dari berbagai polusi hati.
Puasa juga memberikan latihan untuk menumbuhkan sensitivitas sosial terhadap orang-orang di sekitar yang masih kesulitan mencari sesuap nasi. Menjadi sensitif adalah bagian dari dasar seseorang beribadah. Dari titik ini, akan muncul signifikansi utama puasa dalam membangun sensitivitas terhadap kesengsaraan dan penderitaan. Setelahnya, mereka akan melakukan berbagai gerakan dengan kemampuannya untuk memberantas segala bentuk penderitaan dan kesengsaraan.
ADVERTISEMENT
Dari pemaknaan puasa tersebut menyingkap satu faedah penting dari ibadah puasa, yakni kepedulian sosial. Ibadah puasa mendidik kita untuk menumbuhkan kepekaan sosial terhadap penderitaan orang lain. Bersama ritual ibadah puasa ini, kita dibawa untuk merasakan kesusahan orang-orang fakir miskin agar kita tidak melupakan orang-orang yang kelaparan.
Karena kepedulian sosial merupakan faedah terpenting ibadah puasa. Maka, hal ini pun layak kita bicarakan sebagai bahan tafakur kita di hari awal-awal puasa Ramadan kita kali ini.