Konten dari Pengguna

Bapak, Pamali, dan Demistifikasi

Moch Aldy MA
Pengarang, Pendiri Gudang Perspektif, Editor-Ilustrator Omong-Omong Media, dan Editor Buku-Translator OM Institute. IG @genrifinaldy X @mochaldyma.
2 Oktober 2024 7:48 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moch Aldy MA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar oleh Michal Jarmoluk dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Gambar oleh Michal Jarmoluk dari Pixabay
ADVERTISEMENT
‘Pamali’ adalah kata paling membekas di ingatan masa kecil saya. Sejak kecil, Bapak yang alim agama, membesarkan saya dengan ‘pamali’: paribasa Sunda untuk larangan, sesuatu yang tabu atau restriksi—dan bila dilanggar konon mendatangkan celaka. Sependek pengetahuan saya, bisa dibilang, ‘pamali’ sama dengan al-Aadah (bahasa Arab: adat atau kebiasaan masyarakat); dalam ilmu fikih, istilahnya ‘'urf’.
ADVERTISEMENT
Secara lebih luas, saya menerjemahkan ‘pamali’ sebagai “in the name of Sundanese norms and Islamic morality, please don't do it, Son”. Masalahnya, ‘pamali’ tidak pernah menjadi rem yang cukup pakem bagi pikiran racing dan liar saya. Sepiring wallahu a'lam bishawab nyaris selalu gagal memuaskan rasa lapar saya terhadap jawaban dari pertanyaan random di benak saya. Pertanyaan-pertanyaan yang mungkin di ujung langit ke-7 pun tiada jawabannya.
Saya dan Bapak adalah dua kutub yang bersebrangan. Ibarat karakter Ivan dan Alyosha dalam novel Rusia—The Brothers Karamazov (1880)—karangan Dostoevsky. Ivan merepresentasikan keraguan-intelektual yang memasang skeptisisme di hadapan semua hal. Sebaliknya, Aloysha menyimbolkan keimanan dan ortodoksi seseorang yang mematuhi rambu-rambu agama—leap of faith (lompatan iman Kierkedian) yang buta.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, saya ingin bersepakat dengan Al Ghazali: manusia perlu ragu demi menambah keyakinan. Di sisi lain, Bapak berpendapat kebalikannya: manusia perlu yakin demi mengurangi ragu. Praktis, nyaris tidak ada titik temu antara kami berdua. Saya menduga Bapak batu. Sedang ia menatap saya seolah-olah dirinya adalah Ibu dan saya perwujudan Malin Kundang yang kelak berakhir menjadi batu sebab durhaka; tak mempan dinasihati dengan cara ini-itu.

Logika-Mistika

Lambat laun, kondisi “perang dingin” itu niscaya memicu pencarian panjang untuk lebih memahami isi kepala Bapak. Kemudian saya menemukan benang merah antara landasan berpikir Bapak dan apa yang telah dipetuahkan Tan Malaka dalam Madilog (1943) berpuluh tahun lalu, khususnya mengenai Logika Mistika.
Tan mendedahkan bahwa logika mistika adalah cara berpikir yang mengandalkan kepercayaan pada hal-hal gaib dan mistis untuk menjelaskan kejadian sehari-hari. Segala bentuk pemikiran yang tidak rasional dan tidak berdasarkan fakta, sehingga mesti digantikan dengan pemikiran yang lebih ilmiah dan logis demi kemajuan bangsa—tambahnya.
ADVERTISEMENT
Kalau boleh jujur, saya tidak peduli soal kemajuan bangsa, tapi pamali bisa dianggap sebagai bentuk dari logika mistika. Pamali sangat karib kaitannya dengan hal-hal mistis atau supranatural. Katakanlah, larangan untuk tidak duduk di depan pintu karena dipercaya akan menghalangi rezeki dan jodoh.
Kenyataannya, tentu Anda tidak akan kesulitan rezeki hanya karena duduk di depan pintu. Volume rezeki dipengaruhi mobilitas sosial dan mobilitas sosial dimungkinkan modal sosial. Ini belum termasuk faktor-faktor yang lebih dominan, seperti kemiskinan struktural. Juga tidak ada hubungannya dengan jodoh. Jodoh berhubungan dengan fisik, ekonomi, karier, sirkel pertemanan, fesyen, dan kemampuan untuk mendayagunakan aplikasi semacam Bumble atau Tinder.
Dengan demikian, pamali termasuk ke dalam logika mistika sebab tidak memiliki dasar rasional atau ilmiah, melainkan hanya didasarkan pada kepercayaan tradisional dan mitos.
ADVERTISEMENT

Demistifikasi

Kemudian saya tersadar bahwa yang saya lakukan adalah Demistifikasi: suatu proses menyingkap tabir kemistikan dengan menggunakan tangan bernama rasionalitas. Secara etimologi, istilah ‘Demistifikasi’ berasal dari kata “mystify’ yang berarti membingungkan atau mengaburkan dengan misteri. Prefiks “de-” menandakan penghilangan atau pembalikan keadaan ini.
Demistifikasi, sebagai proses menghilangkan elemen mistis atau mitos dari suatu konsep juga fenomena, tidak terjadi dalam satu tahun tertentu. Proses ini berlangsung secara bertahap dan terjadi di berbagai bidang seperti sains, agama, dan budaya.
Sebagai contoh, dalam konteks Islamisasi pengetahuan, Kuntowijoyo memperkenalkan konsep demistifikasi pada pertengahan tahun 1970-an. Nama demistifikator lain adalah Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Ia memainkan peran penting dalam proses demistifikasi melalui konsep Islamisasi ilmu pengetahuan. Menurutnya, ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai agama dan harus memiliki landasan yang sesuai dengan ajaran Islam.
ADVERTISEMENT
Namun, proses demistifikasi dalam sains dan budaya telah dimulai sejak era Pencerahan di Eropa, ketika banyak pemikiran rasional dan ilmiah mulai menggantikan kepercayaan mistis dan tradisional. Akarnya dapat ditelusuri kembali ke era Pencerahan, yang menekankan akal dan ilmu pengetahuan di atas takhayul dan dogma.
Selama Abad Pencerahan, para pemikir berusaha untuk menantang kepercayaan dan takhayul yang sudah mapan dengan mempromosikan penalaran ilmiah dan pemikiran rasional. Periode ini menandai dimulainya demistifikasi sebagai pendekatan sistematis untuk memahami dunia. Mendorong masyarakat untuk beralih dari kepercayaan yang berbasis takhayul dan menuju pemahaman yang lebih rasional tentang dunia.
Misalnya, Gunung Tangkuban Parahu, bahwa ia terbentuk melalui serangkaian proses geologis yang kompleks: berasal dari Kaldera Sunda, terbentuk akibat letusan besar sekitar 105.000 tahun yang lalu, dan terciptalah kaldera besar yang menjadi cikal bakal Gunung Tangkuban Parahu. Bukan karena Sangkuriang ngamuk lalu menendang perahu karena gagal menyelesaikan tugas yang diberi Dayang Sumbi. Alias sudah oedipus complex, anger issue pula.
ADVERTISEMENT

Penutup

Suatu pagi, saya terbangun dengan keringat membasahi sekujur tubuh saya. Saya bermimpi dirukiah bapak saya. Dalam mimpi itu, mulutnya komat-kamit baca mantra berupaya mengeluarkan arwah-filsuf-saintis: Nietzsche, Epicurus, dan Hawking yang bersemayam dalam diri saya. Selang beberapa menit, tubuh saya ujug-ujug terpental seperti dalam novel realisme magis. Bapak saya menghampiri, mencoba memeluk, tetapi terhalang semacam kubah tak kasat mata. Seiring berjalannya waktu, saya menyadari sesuatu: kubah itu bolehjadi Ateisme.
Pertanyaannya kemudian, apakah saya menyesal mempelajari pemikiran arwah-arwah itu?
Saya hampir tidak mempunyai penyesalan apapun dalam hidup. Kalaupun diingat-ingat, paling banter cuma dua. Yang pertama, tentu saja seusai memakan nugget rebus, mual tak karuan, dan hampir memuntahkan usus dua belas jari dari dalam perut saya. Dan yang kedua, adalah ketika mendebat Bapak pakai dalil-dalil Filsafat Barat dan membuatnya tidak mau berkomunikasi dengan saya selama kira-kira dua minggu; setelahnya, saya cuma bisa bercermin dan menemukan Lusifer yang dengan pongah telah mendebat bapaknya sendiri.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, saya hanya menyesal telah mendebat bukan menyesal telah belajar.
Pada gilirannya, saya mulai memahami mengapa sewaktu saya bocah ‘pamali’ melesat keluar dari mulut Bapak setidaknya tiga kali dalam sehari. Sebab, adalah wajar dan rasional bagi seorang ayah (Bapak saya) untuk melontarkan kata tersebut ketika dihadapkan dengan bocah ADHD yang sering bertanya hal aneh-aneh (saya).
Terakhir, otak kecil saya mafhum bahwa sekalipun Budiono Siregar yang mengarang folklor Malin Kundang dan mengutuk Malin menjadi kapal laut, maka bukan itu inti dari folklor tersebut. Yang mesti digarisbawahi bukan tentang “apa yang rasional-ilmiah di balik kisah perubahan seorang anak menjadi kapal laut”, tetapi “aduh! yang bener aja brou melawan orang tua—apa nggak takut?”.
ADVERTISEMENT