Konten dari Pengguna

Barangkali Kita pun Sedang Menunggu Angin Lalu

Moch Aldy MA
Pengarang, Founder Gudang Perspektif, Editor Omong-Omong Media, dan Editor Buku-Translator OM Institute. IG @genrifinaldy X @mochaldyma.
6 November 2023 14:29 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moch Aldy MA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image by Pexels from Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Image by Pexels from Pixabay
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kalau ada satu kegiatan yang besar kemungkinan akan kompak dibenci oleh 7,9 miliar manusia, barangkali itu adalah 'menunggu'. Kegiatan menguras sabar ini, saya pikir, adalah salah satu hal yang paling tidak disukai dan bisa dirasakan deritanya secara kolektif—terlepas dari apa pun atau bagaimanapun latar belakang kita. Perihal 'menunggu', rasa-rasanya, setiap dari kita punya pengalaman personal yang cenderung buruk soal itu.
Saya jadi teringat sebuah drama konyol tapi reflektif dan filosofis—Waiting for Godot. Dikarang Samuel Beckett, darmawan pemenang Nobel Sastra asal Irlandia. Kalau tak salah ingat, pada mulanya, ia menulisnya dalam bahasa Prancis—dengan judul, En attendant Godot—sekitar tahun 1948-1949.
Drama ini pertama kali dipentaskan pada tahun 1953 di Théâtre de Babylone, Paris. Kemudian, dua tahun berselang, Beckett menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris, dan versi bahasa Inggrisnya dipentaskan di The Arts Theatre, London.
ADVERTISEMENT
Secara garis besar, menceritakan dua tokoh bernama Vladimir (Didi) dan Estragon (Gogo) yang terlampau gabut-menunggu seseorang bernama Godot—yang secara kocak gemink—tidak pernah datang. Meskipun plotnya secara sekilas terdengar sangatlah tolol, faktanya, drama ini memang sengaja dirancang sedemikian absurdnya.
Tidak mengherankan, karena Waiting for Godot merupakan bagian dari tradisi Teater Absurd (Theatre of the Absurd) yang secara sublim mendenyutkan narasi-narasi eksistensial tentang absurditas, kesia-siaan, irasionalitas, kebingungan, kekonyolan, hingga kefrustrasian manusia di hadapan keheningan kosmik yang tidak masuk akal.
Martin Esslin, darmawan dan kritikus asal Hungaria, adalah yang pertama menciptakan istilah The Theatre of the Absurd dan pada tahun 1961 ia mempertegasnya dengan menulis buku dengan judul yang sama. Dalam teater, 'absurdisme' sering digunakan untuk merujuk pada drama Eropa di luar nalar yang ditulis antara tahun 1950-an dan 1960-an.
ADVERTISEMENT
Gerakan radikal, yang sering disebut “anti-drama” ini, lahir sebagai reaksi terhadap keruntuhan moralitas, agama, politik, budaya, dan sosial setelah hantaman dua kali Perang Dunia pada abad ke-20. Maka dalam konteks ini, bisa dibilang, Samuel Beckett termasuk ke dalam 10 Nabi Absurdisme yang menurut saya wajib diketahui: Albert Camus, Søren Kierkegaard, Fyodor Dostoevsky, Eugène Ionesco, Kōbō Abe, Martin Esslin, Kurt Vonnegut, Franz Kafka, hingga Edward Albee.
Sependek pengamatan saya, Waiting for Godot adalah magnum opus absurditas duniawi yang secara teatrikal dan jujur menyajikan kombinasi antara penantian, ketidaktahuan, dan kebosanan. Tiga hal yang dapat dikatakan, tidak terhindarkan, bagi manusia.
Pada gilirannya, setelah menonton drama tersebut, kepala saya menelurkan pertanyaan: jangan-jangan saya (atau mungkin kita) adalah Didi dan Gogo dalam bentuk lain? Maksud saya, tak ada hal yang benar-benar dengan jelas membedakan antara saya dengan Didi dan Gogo selain bahwa saya adalah manusia dan mereka adalah tokoh fiksi. Faktanya, hidup saya, saya kira tak jauh-jauh dari menanti sesuatu dalam ketidaktahuan dan dalam prosesnya diselimuti kebosanan-kebosanan yang karib. Lantas, apa bedanya?
ADVERTISEMENT
Dan, sebagaimana Beckett, saya melihat 'menunggu' sebagai sesuatu yang menyebalkan. Tapi plus memualkan, memuakkan, menghadeuhkan, menganjingkan, dan membagongkan. Sayangnya, 'menunggu' saya rasa, sekali lagi, memang tak terelakkan.
Dalam konteks apa pun, dalam jenis kehidupan mana pun. Bentuknya bisa bervariasi: ada yang menunggu seseorang, waktu, negara, Tuhan, keajaiban, dan seterusnya. Ada yang datang, ada yang terjadi. Tapi banyaknya tidak, seringnya tidak terjadi.
Di stasiun Shibuya, Hachikō sampai mati menunggu Ueno yang tak pernah kembali. Pengamen bersuara fals dengan gitar butut yang saya temui dua hari lalu di Plaza Lido, masih menunggu seseorang punya sedikit empati untuk memberinya uang recehan.
ADVERTISEMENT
Seseorang yang mengalami kekerasan seksual di kerasnya ibu kota telah mati menenggak obat-obatan setelah menyerah menunggu keadilan yang tak pernah datang. Satu keluarga di pegunungan Papua yang miskin secara struktural mati kelaparan setelah menunggu uluran tangan negara yang tak pernah bisa menjangkau mereka. Dan, seorang bocah polos di Gaza masih menunggu Tuhan memayungi tubuh mungil mereka dari bom fosfor putih yang dalam sekejap bisa membuatnya tak lagi mampu melihat dunia.
Maka, sedih rasanya untuk mengatakan: barangkali, semua pernah merasakan betapa menyebalkannya atau melelahkannya 'menunggu'. Apalagi 'menunggu' seseorang yang tidak datang, atau sesuatu yang tidak terjadi.
Tiga tahun lalu, saya pernah menunggu seseorang selama enam jam—yang pada akhirnya, seperti Godot, ia tidak datang. Tapi nampaknya, seumur hidup, yang saya lakukan hanya menunggu, menunggu, dan menunggu.
ADVERTISEMENT
Hari ini, misalnya, saya bahkan menunggu sesuatu sebanyak tujuh kali. Pertama-tama, di pagi hari, saya menunggu tukang bubur (yang tidak datang). Lalu saya menunggu warung untuk buka karena semalam rokok saya habis.
Lalu saya menunggu air yang dimasak dengan kayu bakar untuk menjarang kopi vietnam drip saya. Siangnya, saya menunggu kurir paket. Lalu saya menunggu transferan masuk (yang telah dijanjikan semenjak tiga bulan lalu) ke rekening saya.
Sorenya, saya menunggu kawan yang berjanji sore ini akan bertandang ke rumah saya (tapi ia tidak datang). Dan malamnya, saya menunggu panggilan (yang juga tidak datang) dari teman saya karena ia telah berjanji akan menelepon saya pada pukul sembilan malam hari.
ADVERTISEMENT
Dalam skala hari, tak terhitung berapa kali saya 'menunggu'. Rentetan penantian yang sia-sia ini, pada titik tertentu, berakumulasi menjadi kemuakan yang sulit dibahasakan. Membikin saya mencapai puncak frustrasi yang menguras kewarasan. Kefrustrasian ini, bertambah parah ketika saya menyadari bahwa pada saat yang sama waktu saya (yang berharga) jadi terbuang percuma seperti abu rokok di atas asbak.
Dan tidak ada yang lebih saya sesali dari waktu yang terbuang sia-sia. Itulah mengapa saya membenci seseorang yang menyia-nyiakan waktu saya. Terlebih hingga detik ini belum ada ilmuwan yang dengan segenap daya kognitifnya mampu menciptakan mesin waktu, khususnya untuk kembali ke masa lalu demi merebut kembali waktu-waktu yang dihabiskan pada kegiatan tak berguna—menunggu Godot-Godot lain di dunia nyata.
ADVERTISEMENT
Sesulit apa pun, uang bisa dicari. Entah dengan cara mengamen di lampu merah atau mengambil peluit demi menjadi Peter Parkir di sebuah mini market terdekat. Tapi tidak dengan waktu. Orang-orang hanya menjual jam tangan, aksesori fesyen sekaligus penanda waktu. Dari Rolex sampai Alexandre Christie. Namun, tidak ada seorang pun yang menjual waktu. Saya menilai waktu bukanlah uang, tak bisa disetarakan, ia berkali-kali lipat lebih berharga dari kertas yang mengandung mitos kolektif itu.
Kembali pada Waiting for Godot, di akhir drama, Didi dan Gogo mendiskusikan bunuh diri. Keduanya sepakat jika sampai esok hari Godot tidak datang, maka mereka lebih baik membunuh diri mereka sendiri ketimbang menunggu lebih lama lagi. Namun, hingga drama selesai, tetap saja mereka tidak punya apa-apa untuk menggantung diri dan tidak ada tempat untuk melakukannya. Secara interpretatif, Didi dan Gogo menggambarkan ketidakberdayaan dan kesia-siaan perjuangan manusia di dunia yang tidak masuk akal.
ADVERTISEMENT
Saya jadi merenungkan ulang, apakah plot drama ini masih terdengar sangatlah tolol ataukah justru familiar dengan kehidupan kita sebagai manusia?
Entahlah, yang jelas, saya ingin menutup tulisan ini dengan kutipan dari salah satu film favorit saya.