Konten dari Pengguna

Pengkhianatan dan yang Membagongkan di Baliknya

Moch Aldy MA
Pengarang, Pendiri Gudang Perspektif, Editor-Ilustrator Omong-Omong Media, dan Editor Buku-Translator OM Institute. IG @genrifinaldy X @mochaldyma.
5 September 2024 13:25 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moch Aldy MA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image by Karen .t from Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Image by Karen .t from Pixabay
ADVERTISEMENT
Bahan bakar esai ini adalah pengalaman dikhianati seseorang—yang kalau boleh meminjam kalimat Noel Gallagher dengan sedikit improvisasi—the only God that I will ever need, ever believe, ever worship. Seseorang itu tunangan saya.
ADVERTISEMENT
Jika guru ngaji saya membaca tulisan ini, tentulah ia akan kembali mengingatkan saya agar jangan berharap kepada manusia. Sembari mengutip surah Al Ikhlas Ayat 2-4, Al Insyirah ayat 8, Al Maidah ayat 23, dan Al Ankabut ayat 41.
Di lubuk hati paling dalam, saya paham sebenarnya Yesus atau Julius Caesar, lebih cocok bin pantas menulis tentang tetek bengek pengkhianatan; bahwa pengkhianatan yang saya alami, misal adu mekanik, tidak ada apa-apanya ketimbang mereka berdua—cuma sebesar dzarrah.
Tapi pengkhianatan adalah pengkhianatan. Se-petite apa pun itu. Kata kawan saya, yang IQ-nya lebih tinggi dari gorila, rasa dikhianati seperti luka terbuka yang ditetesi perasan jeruk nipis. Perih dan menyedihkan. Ini logis, mengingat pengkhianatan tidak pernah datang dari musuh dan arah yang jauh, melainkan dari seseorang yang dekat dan dipercaya.
ADVERTISEMENT
Di bagian bumi lain, seseorang mungkin mengukur bagaimana rasa dikhianati dengan Numerical Rating Scale (NRS). Dan ia memberi nilai sebelas dari skala satu sampai sepuluh. Meski saya pikir, rasa sakit pengkhianatan tak terbayang dan tak terperikan. Hanya bisa benar-benar autentik dirasakan bila mengalami secara pribadi.
Saya terbesit kutipan Malcolm X, “Bagi saya, hal yang lebih buruk dari kematian adalah pengkhianatan. Kau tahu, saya bisa membayangkan kematian, tetapi tidak bisa membayangkan pengkhianatan.”
Saya ingin mengamini Malcolm. Faktanya, saya bisa membayangkan lebih dari lima ratus cara saya untuk mati: dari tersambar petir random ketika bermain sepak bola sampai terpeleset di kamar mandi sebagai akibat ubin yang licin. Tapi saya tak bisa membayangkan seorang yang saya begitu percaya dan saya sembah, melakukan kesalahan yang tidak bisa saya terima—dosa yang tidak bisa saya ampuni: berkhianat.
ADVERTISEMENT
Saya menilai tindakan keji itu tak bisa dimaafkan. Kata ‘Pengkhianat’ dan ‘Dimaafkan’ tidak pernah berada dalam satu kalimat yang sama. Di antah berantah, Tuhan mungkin menganggukan kepalanya. Sebab kalaulah forgivable, maka iblis masih berada di samping-Nya. Kesetiaan bukanlah barang yang bisa ditawar. Dan meski saya tidak percaya doa, tetapi saya selalu menghibur diri dengan berdoa: semoga Tuhan sisakan satu inferno bagi seorang pengkhianat dalam bentuk apapun.
Tiada yang iklas dikhianati. Sebab tiada yang keren-membanggakan dari dikhianati. Rasa sakit dari dikhianati pun berbeda dari jenis rasa sakit lain. Tanpa bermaksud mereduksi apalagi menginvalidasi, tapi setelah dikhianati, besar kemungkinan kau tidak akan menulis buku setebal seratus delapan puluh delapan halaman berjudul Man's Search for Meaning, menciptakan istilah Logoterapi, dan menjadi Viktor Frankl. Penderitaan dari dikhianati amat berbeda dengan penderitaan menjadi tahanan di kamp konsentrasi Nazi selama Perang Dunia II.
ADVERTISEMENT
Tentu, kita bisa bersepakat, adalah keren ketika kau bisa selamat dari hadangan Panzerkampfwagen. Tapi dikhianati? Kau tidak akan punya segepok kisah survival-perang yang membuatmu membusungkan dada. Jujur saja, saya belum pernah mendengar seseorang yang begitu bersemangat dan dengan bangga bercerita, “Bro, gue abis diselingkuhin cewe gue!”
Ditusuk dari belakang adalah jenis rasa sakit yang berbeda, bahkan lebih dramatis ketimbang dilindas tank baja yang secara fisik nampak lebih menghancurkanmu. Seorang psikopat fasih betul, tiada yang lebih sadis ketimbang diam-diam menghabisi dari belakang. Dan dikhianati artinya dibohongi, dibohongi artinya mengetahui bahwa kau tidak pantas mendapatkan kebenaran. Apa yang lebih buruk dari itu? Sartre menyoal dalam salah satu esai eksistensialisme-nya.
Konon, alasan mengapa rasa sakit dikhianati itu begitu edan sebab tidak ada pelaut yang siap menahan badai yang pada dasarnya memang tidak diprediksi—yang tiba-tiba datang di cerah siang bolong dan memorak-porandakan semuanya.
ADVERTISEMENT
Pada gilirannya, pikiran saya berlari-lari seperti kuda liar di padang sabana. Apakah segala sesuatu kecenderunganya mengarah pada keos dan plot twist? Kemudian saya teringat perdebatan alot antara Keos vs. Kosmos: selama ratusan tahun, para filsuf-saintis berdebat tentang apakah dunia ini begitu acak tidak tertebak ataukah justru berjalan harmoni dan bisa diukur pakai matematika.
Yang kedua, sependek pengetahuan saya, ditopang otak Newton. Ia dalam Principia Mathematica, bukunya yang punya tiga volume dan sukses membikin saya menenggak tiga butir obat migrain, menulis bahwa hukum gerak dan hukum gravitasi bisa dipakai untuk mengukur gerak benda dan alam secara presisi. Di sisi lain, pengalaman saya justru ingin menyanggah dan berargumen, “Ton, hidup ini, dunia ini, berjalan seperti bakekok.”
ADVERTISEMENT
Sebakekok apa? Sebakekok lagu-lagu System of a Down. Sebakekok cuaca di Gunung Salak ketika saya sedang berupaya mendakinya. Sebakekok kepak kupu-kupu di Brasil mampu memicu tornado di Texas dan memungkinkan seseorang bernama Edward Lorenz mengokohkan Teori Keos. Senada dengan Kosmologi Yunani dan puisi Hesiod dalam Theogony: pada mulanya adalah keos, rahim-ibu segala sesuatu.
Kembali pada pengkhianatan, sesekali arwah begundal Rusia bernama Dostoevsky menguasai kesadaran saya dan seolah-olah ingin mengeluarkan sesuatu yang kokoh dan tajam, seperti kapak dalam bentuk kalimat, dari lidah saya, “Bagian terburuknya, bukan karena kau mengkhianati saya, tetapi saya mengkhianati diri sendiri hanya untuk mengetahui bahwa saya telah dikhianati olehmu.”
Demi meredam kacau batin, saya mengisap tiga gram optimisme secara konstan sepanjang malam, “Tuhan tahu saya prajurit terkuatnya, maka ia terus menerus mengirimi saya kejadian traumatis yang sulit dibahasakan demi pengembangan karakter saya yang tiada habisnya.”
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, saya masih curiga bahwa pada mulanya adalah kata kemudian terbahasakanlah keos yang merongrong sanubari kita.