Konten dari Pengguna

Perihal yang Barangkali Lebih Kontroversial dari Childfree

Moch Aldy MA
Pengarang, Pendiri Gudang Perspektif, Editor-Ilustrator Omong-Omong Media, dan Editor Buku-Translator OM Institute. IG @genrifinaldy X @mochaldyma.
9 Maret 2023 17:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moch Aldy MA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pasangan childfree. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pasangan childfree. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Childfree menjadi kata yang nyaring terdengar di telinga baru-baru ini. Tapi apa itu Childfree? Singkatnya, merupakan istilah teknis—digunakan untuk mereka yang secara sadar memilih untuk tidak memiliki anak. Ini tentu berbeda dengan “Childless”. Perbedaannya, yang pertama adalah pilihan, sedangkan yang kedua adalah kompromi.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, Childless merupakan suatu istilah untuk menjelaskan semacam kompromi atas ketidakmampuan untuk memiliki anak berdasarkan faktor di luar kehendak—sebut saja, biologis. Mereka tak mampu melahirkan anak, karena faktor kemandulan, misalnya. Kira-kira seperti itu, definisi antara Childfree dan Childless yang tertuang dalam buku Childfree & Happy (2021) karangan Victoria Tunggono.
Akan tetapi, baik Childfree ataupun Childless, keduanya secara konsekuentif sama-sama menuai berbagai kontroversi di negara yang menganut konsepsi bahwa banyak anak sama dengan banyak rezeki. Tak mengherankan, budaya kita, secara umum, menganggap anak adalah hadiah dan kelahiran sebagai anugerah yang konotasinya, tentu saja, baik serta positif.
Jika kedua istilah teknis dalam bahasa Inggris itu saja telah menghasilkan debat kusir di sana dan di sisi, bagaimana dengan Antinatalisme?
ADVERTISEMENT

Antinatalisme

Pertama-tama, apa itu? Apakah suatu paham yang menolak untuk merayakan Hari Raya Natal setiap tanggal 25 Desember? Bukan. Ini bukan -isme yang anti terhadap yaumul milad Nabi Isa (atau Tuhan Yesus dalam tradisi Kristen). Secara singkat dan sederhana, Antinatalisme adalah posisi filosofis yang memandang kelahiran dan prokreasi makhluk hidup (termasuk non-manusia, seperti hewan) sebagai sesuatu yang secara moral problematik, tercela, dan keliru. Oleh karenanya, antinatalis (sebutan untuk penganut paham Antinatalisme) berpendapat bahwa manusia harus bersegera menghentikan siklus kelahiran.
Secara kesejarahan, kata “Antinatalisme” pertama kali digunakan dalam artian yang provokatif ini pada sekitar tahun 2006, ketika seorang aktivis-filsuf asal Belgia, Théophile de Giraud, menerbitkan buku berjudul L'art de guillotiner les procréateurs: Manifeste anti-nataliste—dan dosen-filsuf asal Afrika Selatan, David Benatar, menelurkan buku Better Never to Have Been: The Harm of Coming into Existence. Kedua karya kontroversial itu, pendek kata, secara tegas menolak wacana untuk memproduksi anak.
ADVERTISEMENT
Saya hanya akan sedikit membahas Antinatalisme-nya Benatar saja. Tapi, yang lebih penting dari itu adalah mengapa? Mengapa? Dan, mengapa mempunyai anak merupakan ide yang buruk? Benatar memiliki argumen untuk itu, yang dia sebut sebagai asymmetry argument: gampangnya begini, berkembang biak itu keliru karena asimetri antara kesenangan dan rasa sakit tak sepadan.
Dengan kata lain, ketiadaan rasa sakit adalah baik bahkan jika tak ada yang mengalami kebaikan itu, sedangkan ketiadaan kesenangan tidaklah buruk kecuali jika seseorang tak pernah dilahirkan. Setiap manusia yang lahir pasti akan mengalami rasa sakit, lebih baik mereka tak ada karena tak ada yang dirugikan oleh ketiadaan mereka.
Yang lebih suram dari asymmetry argument ini adalah fakta bahwa ia tak berangkat dari sesuatu berbau “keadaan” atau skenario overpopulasi yang katastropik seperti dalam Teori Malthusian.
ADVERTISEMENT
Upaya-upaya preventif dalam Teori Malthusian, pada gilirannya, mengingatkan penulis pada diskursus antara Pro-Life dan Pro-Choice yang sempat ramai di Amerika Serikat sana—antara yang menolak tindakan aborsi, dan yang membenarkannya. Terlepas dari pertimbangan moral-etika serta pergelutan keduanya, masing-masing dari mereka memiliki alasan logis dan “posisi ideologis” yang kuat. Bagaimana dengan Benatar? Sayangnya, dia bukan keduanya. Salah satu filsuf paling pesimis sepanjang sejarah filsafat ini, mungkin adalah seseorang yang akan berdiri paling depan untuk mendukung kepunahan umat manusia.
Pada akhirnya, untuk lebih memahami Antinatalisme, kita mungkin mesti memposisikan diri sebagai Mandra dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan (1994) yang di suatu episode paling lucu mengatakan: “Segini banyaknya orang, kagak ada yang nyenengin gua... Nyakitin semua! Nyakitin semua!”. Barangkali benar bahwa hidup ini lebih bajingan dari yang kita kira.
ADVERTISEMENT