Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Toxic Masculinity : Pandangan yang Merusak Kesehatan Mental Laki-Laki
13 Desember 2023 10:13 WIB
Tulisan dari Mochamad Fakhri Fernanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Konsep penilaian masyarakat terhadap peran dari masing-masing gender telah muncul sejak lama dan masih tertanam hingga sekarang. Streotip ini telah membagikan peran dari setiap gender, misalnya perempuan harus berperilaku feminim dan laki-laki harus berperilaku maskulin. Penilaian atau stereotip terhadap lelaki inilah yang disebut sebagai toxic masculinity. Maksud konsep maskulin dalam hal ini ialah tidak boleh berperilaku feminim atau memiliki sikap yang lemah. Hal ini kemudian, dipertebal dengan sistem patriarki yang menunjuk laki-laki sebagai pemegang kekuasaan dan dominasi tertinggi.
ADVERTISEMENT
Toxic masculinity ini telah menjadi bagian dari budaya di Indonesia. Misalnya, penilaian pandangan orang jawa terhadap sosok lelaki dan perempuan. Bahwa sosok lelaki ideal dalam imajinasi orang Jawa adalah yang sakti, tampan, dan banyak istri, seperti Arjuna, tokoh Pandawa dalam pewayangan, yang selalu menang di setiap medan perang, dan selalu memenangkan hati setiap dewi. Lelaki ideal dalam imajinasi orang Jawa adalah memiliki benggol (uang) dan bonggol (kejantanan seksual). Posisi perempuan adalah milik laki-laki, sejajar dengan bondo (harta), griyo (istana), turonggo (kendaraan), kukilo (burung atau binatang piaraan), dan pusoko (senjata, kesaktian) (Hakim et al., 2020).
Seiring berkembangnya zaman, fenomena toxic masculinity ini ternyata masih ada hingga kini. Dengan menyebarnya streotip ini, beban yang harus ditanggung oleh laki-laki menjadi bertambah. Hal ini akan membuat kesehatan mental laki-laki terganggu. Bagaimana tidak, laki-laki dibatasi untuk menunjukkan ekspresinya akibat pandangan-pandangan masyarakat seperti sedih, marah, kecewa dan lain-lainnya. Seakan-akan laki-laki terbelenggu atas suatu hal yang tak kasat mata namun dapat dirasakan secara rohani. Seharusnya laki-laki memiliki kebebasan untuk menunjukkan ekspresinya karena sejatinya laki-laki sama-sama manusia.
ADVERTISEMENT
Stigma-Stigma yang berlaku terhadap seorang lelaki
Budaya toxic masculinity telah melahirkan beberapa stigma atau batasan yang harus dihindari oleh seorang laki-laki. Dengan anggapan untuk menciptakan sosok yang kuat dan gagah serta memiliki maskulinitas yang tinggi dalam seorang diri laki-laki, dilahirkan beberapa stigma terbagi menjadi 3 stigma. Stigma-stigma tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama, laki-laki harus bersikap maskulin dan tidak diperbolehkan menunjukkan sikap yang feminim layaknya seorang perempuan seperti memasak, memakai make up, dan sikap-sikap lainnya yang biasa dilakukan oleh seorang perempuan. Padahal seharusnya laki-laki berhak melakukan kegemarannya tersendiri walaupun dalam bidang yang dikatakan feminim seperti memasak. Layaknya manusia biasa, mereka juga memiliki kebebasan untuk memilih bidang yang mereka sukai dan berekspresi sebagaimana kehendak mereka.
ADVERTISEMENT
Kedua, Laki-laki diharuskan untuk menjadi sukses dan berprestasi. Sebagai calon kepala dari sebuah keluarga, laki-laki perlu untuk menjadi sukses dan berprestasi supaya dapat menghidupi keluarganya. Namun, nyatanya sekarang anggapan bahwa laki-lakilah yang seharusnya berperan sebagai tulang punggung keluarga mulai tergeser dengan keberadaan perempuan berkarir, yang menggantikan peran suami sebagai tulang punggung keluarga.
Ketiga, laki-laki tidak boleh menunjukkan sikap yang lemah seperti menangis. Hal ini diiringi juga dengan keberadaan budaya patriarki yang memberikan penekanan bahwa laki-laki memiliki kewenangan yang paling tinggi daripada perempuan yang berarti harus terlihat kuat. Sebuah langkah keliru yang bahkan bersifat tidak manusiawi, berpandangan bahwa laki-laki harus memiliki sikap yang kuat secara berlebihan dapat berdampak negatif bagi laki-laki. Dalam hal ini laki-laki dianggap layaknya seorang robot yang tidak memiliki perasaan.
ADVERTISEMENT
Korelasinya Terhadap Kesehatan Mental Laki-Laki
Budaya toxic masculinity berusaha untuk membatasi cara berperilaku laki-laki. Tentu hal ini menjadi beban tambahan bagi laki-laki terkhusus bagi kalangan remaja. Beban ini juga yang dapat memengaruhi kesehatan mental laki-laki. pembatasan norma maskulinitas yang kaku dapat memberikan efek terhadap laki-laki berupa tekanan psikologis yang lebih besar, serta resiko depresi, dan membuat laki-laki menjadi lebih agresif dalam melakukan tindakan kekerasan (Ramdani et al., 2022).
Sayangnya sebagian masyarakat masih menganut budaya ini dan menjadikannya sebagai bahan penilaian terhadap seorang laki-laki. Padahal budaya ini berdampak negatif bagi kesehatan mental laki-laki. Misalnya ujaran “laki-laki tidak boleh menangis” yang telah populer di tengah masyarakat. Apalagi konsep ini telah ditanamkan kepada anak-anak sejak kecil yang membuat ujaran tersebut semakin dianut oleh mereka. Dengan sikap labelling masyarakat yang menganggap bahwa laki-laki yang menangis itu bukanlah laki-laki yang maskulin dan kuat layaknya seorang laki-laki secara kodratnya, membuat laki-laki menjadi kehilangan tempat untuk menuangkan atau meluapkan emosinya yang dapat berakhir pada penumpukan stress dan sulitnya dalam mengelola emosi. Daripada memberikan ruang maupun bantuan kepada laki-laki yang sedang dalam kondisi down, masyarakat malah memandangnya sebagai laki-laki yang “cengeng” atau laki-laki yang lemah.
ADVERTISEMENT
Sikap labelling inilah yang dapat dikatakan penyebab dari munculnya dampak negatif terhadap kesehatan mental laki-laki. Ketidaksesuaian pandangan masyarakat terhadap realita kehidupan seseorang laki-laki yang berbanding terbalik pada pandangan itu, membuat seorang laki-laki tersebut berubah menyalahi dirinya sendiri akibat pandangan negatif tersebut dan menutup dirinya dari lingkungan sekitar. Laki – laki tersebut akan malu dan mengalami stress, bahkan bisa menunjukkan gejala depresi hingga trauma berkepanjangan.
Kesimpulan Toxic Masculinity Terhadap Kesehatan Mental Lelaki
Toxic masculinity adalah suatu konsep psikologis yang ada di dalam budaya tradisional suatu masyarakat tertentu dimana peran dan karakteristik laki-laki yang telah terkonstruksi dalam masyarakat memberikan dampak yang buruk terhadap laki-laki (Hermawan & Hidayah, 2023). Toxic masculinity seakan-akan telah membudaya di tengah masyarakat dan terus dianut hingga sekarang. Perlu masyarakat sadari bahwasannya budaya ini perlu untuk dijauhi guna mengurangi dampak negatif yang ditimbulkannya. Masyarakat juga perlu belajar memanusiakan laki-laki sebagai manusia biasa dan belajar menghargai kebebasan seorang laki-laki untuk berekspresi sesuai kehendak mereka.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan Toxic Masculinity Terhadap Kesehatan Mental Lelaki
Toxic masculinity adalah suatu konsep psikologis yang ada di dalam budaya tradisional suatu masyarakat tertentu dimana peran dan karakteristik laki-laki yang telah terkonstruksi dalam masyarakat memberikan dampak yang buruk terhadap laki-laki (Hermawan & Hidayah, 2023). Toxic masculinity stelah membudaya di tengah masyarakat dan terus dianut hingga sekarang. Masyarakat perlu menyadari bahwasannya budaya ini perlu untuk dijauhi guna mengurangi dampak negatif yang ditimbulkannya. Masyarakat juga perlu belajar memanusiakan laki-laki sebagai manusia biasa dan belajar menghargai kebebasan seorang laki-laki untuk berekspresi sesuai kehendak mereka.
Referensi
Hakim, M. R., Abidin, Z., Oxcygentri, O., Komunikasi, I., & Karawang, U. S. (2020). Jawa Dalam Pementasan Teater. 14(2).
Hermawan, I., & Hidayah, N. (2023). Dimesia: Jurnal Kajian Sosiologi Toxic masculinity dan tantangan kaum lelaki dalam masyarakat Indonesia modern. Jurnal Kajian Sosiologi, 12(2), 171–182.
ADVERTISEMENT
Ramdani, M. F. F., Putri, A. V. I. C., & Wisesa, P. A. D. (2022). Realitas Toxic Masculinity Di Masyarakat. Universitas Negeri Surabaya, 2022, 230.