Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kesepian, Pandemi Baru, dan Kegagapan Kita
10 Desember 2022 15:26 WIB
Tulisan dari Ainu Rizqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peringatan, pandemi belum selesai! Tentunya selain Covid-19—yang kian waktu kian memudar—ada satu lagi pandemi yang siap melahap kehidupan kita. Tak hanya di tanah air kita, melainkan di seluruh penjuru bumi. Pandemi itu berjalan terus dalam keheningan sosial cum spiritual, dalam keberisikan wahana digital, terutama dan lebih utama di balik gawai-gawau yang elok.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, seperti apa wujud pandemi itu? Dari mana hulunya? Bagaimana hilirnya? Mari kita melucuti dan menelanjangi tubuh pandemi yang jelas-jelas nyalang mengancam hari depan kita.
Pandemi Baru itu Berwujud Kesepian
Anda sekalian mungkin masih menganggap kesepian adalah hal yang sifatnya sepele. Bahkan saya pernah mendengar celotehan seorang kawan yang mengatakan, “kesepian itu hal biasa, mereka (red: orang-orang yang kesepian) aja yang anti-sosial.”
Sebentar. Kesepian tidak sesederhana itu. Jika kesepian merupakan hal yang remeh-temeh, sepele, dan menunjukkan sifat anti-sosial—yang konotasinya negatif dan sengaja menutup diri—rasanya sangat naif. Jika memang begitu, lantas mengapa di Jepang dan di Inggris telah mendeklarasikan bahwa kesepian adalah suatu masalah kesehatan umum? Bahkan kedua negara tersebut sampai menunjuk menteri khusus untuk menangani kesepian.
ADVERTISEMENT
Inggris sendiri memulainya sejak 2018, sedangkan di Jepang baru memulai pada tahun 2021. Dengan begitu, pernyataan kawan saya tadi secara otomatis terbantahkan. Kesepian menjadi isu global yang seharusnya mulai kita tangani dengan secepatnya dan dilakukan dalam tempo waktu yang sesingkat-singkatnya. Agar apa? Tentu agar tak semakin memekakkan telinga dan tak segera menggurita dengan getir.
Lantas bagaimana dengan di Indonesia?
Pada tahun 2021, Into the Light dan Change.org mengadakan sebuah survei tentang kesehatan mental masyarakat di Indonesia. Hasilnya cukup membuat saya melongo. Survei tersebut mengatakan bahwa 98% partisipan yang terdiri dari 5.211 orang di Indonesia merasakan kesepian.
Perlu kita ketahui bahwa kesepian sangat berpengaruh dengan kesehatan mental seseorang. Kesepian dan kesehatan mental saling berjalin-kelindan. Kesepian dapat mengganggu kesehatan mental dan mental yang kurang sehat dapat menyebabkan kesepian.
ADVERTISEMENT
Adalah Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi., Psikolog. Dalam perhelatan Kuliah Online yang diadakan oleh Center for Public Mental Health (CPMH) bekerjasama dengan Fakultas Psikologi UGM, ia menyampaikan bahwa kesepian dan kesehatan mental yang saling berkaitan. Banyak yang mengaitkan kesepian dengan kualitas tidur yang dianggap kurang baik, depresi, hingga anggapan bahwa semakin tinggi tingkat kesepian yang dirasakan, maka semakin rendah kualitas hidup seseorang. Miris.
Selain itu, pandemi Covid-19 juga semakin memperparah tingkat kesepian manusia di Indonesia. Namun tak cukup sampai di situ. Masih ada lagi hal yang perlu dikulik dari kenyataan di sekitar kita yang ternyata menjadi bahan bakar kesepian. Apakah itu?
Akar Kesepian: Jangan Berhenti pada Covid-19!
Kesepian pada mulanya merupakan keterpisahan seseorang dengan liyan. Mungkin Anda—termasuk saya—awalnya beranggapan bahwa Covid-19 adalah penyulut yang paling brengsek dari fenomena kesepian ini. Tapi tahan dulu tudingan itu. Jangan langsung mengkambing-hitamkan Covid-19.
ADVERTISEMENT
Sebelum mencari sumber api lain yang semakin membuat kesepian menjadi semakin berkobar, kita harus memperkaya isi kepala kita dengan mengetahui dampak kesepian yang bukan main menyeramkannya.
Jam tidur adalah pertaruhan utama yang dihadapi oleh seseorang yang luluh dibakar kesepian. Selain itu, konsentrasi orang yang kesepian juga terus menerus berkemelut. Tercabik-cabik. Selanjutnya juga akan membuat seseorang depresi, dan yang paling terakhir, jika kesepian itu telah paripurna, maka menghabisi hidup adalah opsi yang mau tak mau akan dilakukannya. Sungguh mengerikan.
Lalu apa yang sebenarnya menumbuhkan kesepian sehingga nampak semenyeramkan itu?
Utamanya adalah ketidakberhasilan dalam memaknai seseorang merupakan bagian dari akar yang menumbuhkan kesepian. Dan ini, ini fakta yang mencengangkan sekaligus menempeleng kenyataan kita: lingkungan. Lingkungan rupanya juga bagian akar yang semakin membuat kesepian semakin rimbun dalam diri seseorang.
ADVERTISEMENT
Banyak yang gagap dan gugup dalam menyadari bahwa lingkungan—selain komunikasi dengan sesama manusia dalam lingkup tertentu—memiliki kontribusi besar terdahap kesepian seseorang.
Kerimbunan alam, lingkungan yang hijau, serta kicau burung di pagi hari nyatanya semakin sepi, hening, dan jauh dari jangkauan kita. Sehingga konsekuensi yang ditimbulkan adalah semakin rimbunnya kesepian seseorang, semakin berisiknya kedepresian seseorang yang jauh dari hal-hal tersebut.
Hal ini diperkuat oleh riset yang dipublikasikan oleh Scientific Reports. Riset tersebut mengumpulkan data dari warga kota di seluruh dunia menggunakan sebuah aplikasi bernama Urban Mind. Hasil dari penelitian itu setidaknya dapat membangunkan kita dari tidur ekologi yang sudah seharusnya disudahi dengan rendah hati.
Penelitian itu mengungkapkan bahwa ketika hidup dalam keadaan sesak dan pengap oleh hiruk pikuk gemerlap kota, kesepian dapat meningkat hingga 39%. Akan berbeda halnya jika saat melihat pepohonan; langit yang membiru, jingga keemas-emasan, hingga pesta dengan puspawarna yang menawan; atau dengan mendengar kicauan merdu burung di pagi hari, maka rasa kesepian akan segera turun dengan persentase sebanyak 28%.
ADVERTISEMENT
Dari sini kita baru bisa mengatakan dengan tawadu’ bahwa Covid-19 memang salah satu akar yang menumbuhkan fenomena kesepian “akbar” ini, tapi faktor lingkungan (ekologi) yang tidak terawat—atau memang sengaja dirusak—semakin membuat kesepian itu tumbuh subur dan sangat rimbun dalam menaungi manusia.
Hilir Kesepian
Ketika kita telah mencoba membuat kesepian telanjang—dengan mengetahui akar, hulu, dan mulanya—maka sudah saatnya kita bergegas mendayung hingga hilir, agar pandemi kesepian segera terampuni.
Menjadi seorang yang berkesadaran penuh adalah pintu yang harus dibuka. Terbuka terhadap liyan, terutama terbuka matanya terhadap lingkungan yang hari-hari ini tak baik-baik saja.
Terkadang kita mengalihkan kesepian dengan hal yang membuat kita semakin kesepian, seperti bermain-main ke keramaian yang metropolis, berisik, dan mendatangi suatu tempat yang mana kicau burung telah disumpal oleh suara knalpot kendaraan. Salah besar. Namun kenyataan hari ini memang mengantar kita pada jurang kesepian yang dalam.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya hanyalah upaya-upaya menjaga yang telah ada—seperti ruang hijau, relasi yang baik dengan sesama dan alam—agar tak mampus mati kesepian. Andai saja kemungkinan terburuk itu terjadi (kesepian), mau tak mau kita harus memiliki seni dalam menghadapinya.
Seni menghadapi kesepian utamanya adalah dengan menghadapinya, bukan malah lari terbirit-birit atau sembunyi darinya. Jika menghadapinya saja tak berani, sama saja kita “gali lubang, tutup lubang”. Dalam menghadapi kesepian, banyak hal yang dapat dilakukan, di antaranya yaitu mengambil jeda, menghela napas, merefleksikan apa-apa yang telah dan akan dilakukan.
Jangan lupa! Pelan-pelan sambil memperjuangkan ekologi. Maka dengan begitu kita telah berupaya menghidupi hidup sehidup-hidupnya. Menyalakan kesadaran sesadar-sadarnya. Merawat kenyataan senyata-nyatanya—meski hidup adalah menunda kekalahan, ujar Chairil Anwar, tapi kita bakal menundanya, harus.
ADVERTISEMENT