Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kisah Paidi dan Penggalan Puisi Sapardi Djoko Damono
20 Juli 2020 9:10 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:16 WIB
Tulisan dari Moh Fajri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Paidi masih kelas 2 Madrasah Aliyah atau setara SMA saat pertama kali bertemu dengan Sri. Pertemuan mereka terjadi tanpa di sengaja saat papasan di kantin sekolah sewaktu jam istirahat tiba.
ADVERTISEMENT
Mata mereka berdua beradu pandang ketika hendak mengambil tumpukan gorengan di meja. Paidi yang biasanya sekali ambil dengan 2 tangan bisa 10 gorengan, kali ini tidak. Ia mengangkat 1 tahu isi dengan tetap melirik ke wajah Sri yang berhadapan dengannya.
“Eh monggo, mbak,” ucap Paidi saat mengetahui Sri akan mengambil gorengan.
Menghargai ucapan Paidi, Sri hanya tersenyum sopan sambil mengangkat 5 tahu isi yang ditaruhnya di dalam plastik hitam. Tidak perlu lama-lama, ia langsung mengulurkan uang Rp 5.000 ke mbak kantin.
Tanpa lirikan mata apalagi senyuman ke Paidi, Sri langsung memilih membawa gorengan itu ke dalam kelas. Paidi masih memperhatikan Sri yang menenteng plastik hitam berisi gorengan. Paidi memang sudah mendengar kabar ada adik kelas bernama Sri.
ADVERTISEMENT
Di tatapan mata pertama kali itu, otak Paidi berpikir bagaimana biar bisa dekat dengan Sri. Sebagai laki-laki yang tidak terkenal di sekolah, tentu sulit bagi Paidi untuk mendekati atau berkenalan dengan Sri. Sadar akan kondisi itu, ia langsung meminta saran kepada Paimin yang menjadi sobat karibnya sejak masih kelas 1 Madrasah Aliyah.
“Kepiye Min, apa aku langsung datengin saja ke kelasnya?” tanya Paidi di samping tempat parkir selepas jam pulang sekolah.
“Jangan. Ojo kesusu,” jawab Paimin.
Paimin lalu menyampaikan petuah ke Paidi. Ternyata, Sri adalah adalah adik kelas Paimin saat Madrasah Tsanawiyah atau setara SMP. Mengetahui hal itu, Paidi sangat antusias ingin mendengarkan nasihat dari Paimin.
Paimin mengungkapkan rumah Sri hanya berbeda RT dengannya. Hampir setiap hari, ia selalu berpapasan dengan Sri baik saat berangkat ke sekolah maupun ketika sudah pulang. Paimin membeberkan Sri dikenal perempuan yang rajin beribadah.
ADVERTISEMENT
“Sebelum azan maghrib, Sri itu sudah jalan ke masjid. Kadang-kadang Sri juga yang disuruh gantikan ngajar anak-anak kalau ustazah lagi ada acara. Kalau soal baca Al Quran yaa jangan ditanya lagi, Di,” ungkap Paimin.
Mendengar penjelasan Paimin, Paidi jadi tidak heran mengapa akhirnya Sri memilih jurusan Keagamaan di sekolah. Ia manggut-manggut saat Paimin melanjutkan pemaparannya.
“Makanya kalau mau deketin Sri harus pakai cara lain. Jangan kamu pura-pura jadi rajin ibadah kalau niatnya buat ngedeketin Sri. Raimu ora pantes, Di,” tambah Paimin
Paidi tidak bisa menolak apa yang disampaikan Paimin. Ia selama ini memang dikenal sebagai siswa ugal-ugalan. “Lah terus aku mesti gimana, Min?” tanya Paidi.
“Sri kan jago soal agama. Kalau mbok kirimin terjemahan hadis ya udah biasa dia, udah hafal. Nah, awakmu kan anak IPS, kan awakmu mestinya bisa toh bikin kata-kata atau puisi-puisi gitulah, mesti seneng Sri kalau dikirimin begituan,” terang Paimin.
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi, Paidi manggut-manggut mendengarkan petuah dari Paimin. Paidi mulai mendapatkan pencerahan. Namun, pikiran Paidi mulai bingung saat menyadari kalau ia juga tidak jago bikin kata-kata.
Paidi belum sempat mengutarakan apa yang ada di otaknya tapi Paimin sudah berbicara “Nyoh, ini nomor WhatsAppnya Sri. Entar malem langsung chat saja,” pintanya.
Sambil mengendarai motor ke rumah, Paidi memikirkan kata-kata apa yang harus dikirimkannya ke Sri. Sampai selepas isya' ia belum juga menemukannya. Meski begitu, ia harus mulai berusaha kirim pesan di WhatsApp.
Akhirnya, ia hanya mengucapkan “Selamat malam, aku Paidi kelas 2 IPS” ke Sri. Paidi deg-deg an apakah pesannya akan dibalas Sri atau tidak. Pesan itu sudah centang 2 tapi belum berwarna biru. Artinya, ada kemungkinan pesan Paidi belum dibaca.
ADVERTISEMENT
Paidi menunggu balasan sampai ketiduran. Saat bangun pagi, tak ada juga balasan WhatsApp dari Sri. Malamnya, ia mencoba mengirimkan pesan lagi ke Sri dengan pertanyaan “Kamu lagi ngapain?”.
Sambil menunggu balasan, Paidi ingat pesan Paimin yang menyarankannya mengirimkan kata-kata indah atau puisi. Ia yang kurang mahir merangkai kata lalu memilih berselancar di internet. Diketiknya kumpulan puisi indah romantis bagus tiada tara.
Muncul banyak hasil dari pencarian tersebut. Ia membacanya secara bergantian. Sampai akhirnya mata Paidi tertuju pada puisi berjudul Hanya karya Sapardi Djoko Damono. Lirik puisi itu lalu disalin dan dikirimkannya ke Sri sebelum tidur.
“Hanya suara burung yang kau dengar dan tak pernah kau lihat burung itu tapi tahu burung itu ada di sana hanya desir angin yang kau rasa dan tak pernah kau lihat angin itu tapi percaya angin itu di sekitarmu hanya doaku yang bergetar malam ini dan tak pernah kau lihat siapa aku tapi yakin aku ada dalam dirimu”
ADVERTISEMENT
Keesokan harinya, mata Paidi langsung terbelalak saat pesannya dibalas oleh Sri. “Salam kenal kak,” kata Sri. Paidi senyum gembira dengan balasan itu. Ia langsung membalasnya layaknya orang baru kenalan.
Dari percakapan itu, Paidi juga jadi tahu kalau Sri memang tidak mengaktifkan centang biru di Whatsapp. Paidi semakin semangat berselancar mencari kata-kata di internet.
Pencariannya selalu berhenti ketika menemukan puisi Sapardi Djoko Damono. Saat menemukan penggalan kata yang dirasa tepat, ia segera menyalinnya dan mengirimkannya ke Sri. Suatu ketika ia mengirimkan penggalan puisi Hujan Bulan Juni.
“Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu”
Paidi sengaja mengirimkan penggalan puisi itu tepat di akhir bulan Juni. Ia merasa menemukan puisi itu di saat yang tepat. Namun, lagi-lagi Paidi tidak mencantumkan siapa sebenarnya penulis puisi itu.
ADVERTISEMENT
Sri juga tidak tahu kalau ternyata kata-kata itu adalah karya Sapardi Djoko Damono. Sri yang awalnya tidak akrab dengan dunia sastra, kini mulai menyukai setiap puisi yang dikirimkan Paidi.
Selain mengirimkannya ke Sri, Paidi juga tidak jarang memasang penggalan puisi di status WhatsApp. Ia berharap status tersebut juga dilihat Sri. Seperti saat awal Juli lalu, ia membuat status WhatsApp penggalan puisi berjudul Hatiku Selembar Daun.
“biarkan aku sejenak terbaring di sini ada yang masih ingin kupandang yang selama ini senantiasa luput Sesaat adalah abadi sebelum kau sapu tamanmu setiap pagi,” tulis Paidi.
Benar saja. Tak berselang lama, Sri membalas status WhatsApp Paidi. “Kamu jago ya bikin kata-kata indah,” balas Sri.
ADVERTISEMENT
Paidi semakin percaya diri. Ia berniat untuk mengungkapkan perasaanya kepada Sri. Namun, kondisi tersebut harus terkendala karena mereka masih belajar dari rumah akibat adanya virus corona. Paidi juga tidak bisa datang ke desa Sri yang berbeda kecamatan karena ada lockdown lokal.
Akhirnya, Paidi memilih menyatakan cintanya melalui WhatsApp. Rencananya pada Sabtu (18/7) malam, ia akan mewujudkan keinginan tersebut. Paidi sudah menyiapkan puisi yang akan dikirimkannya sebagai ungkapan perasaannya.
Lagi-lagi, puisi karya Sapardi Djoko Damono yang dipilih. Kali ini judulnya Aku Ingin. Pilihan Paidi tidak salah sama sekali. Setelah membaca puisi Aku Ingin dan dilanjutkan dengan doa, Paidi langsung mengirimkannya ke Sri.
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada"
ADVERTISEMENT
Paidi dag-dig-dug menantikan balasan dari Sri. Namun, sampai Minggu pagi tak ada balasan dari Sri. Paidi semakin was-was. Ia berniat menelepon Sri tetapi diurungkannya. Paidi masih menunggu balasan.
Sementara itu, Sri sejak semalam sebenarnya berbunga-bunga membaca pesan yang dikirimkan Paidi. Saking senangnya, ia tidak bisa tidur dan berulang kali membaca puisi tersebut. Hanya saja, Sri belum tahu bagaimana menjawabnya.
Seusai memasak dan sarapan pagi, Sri duduk di dapur sambil kembali membaca puisi yang dikirimkan Paidi. Sri berniat membalasnya, namun pandangannya tertuju di WhatsApp grup Karang Taruna di desanya.
Banyak sekali ucapan bela sungkawa di grup tersebut. Sri lalu mencermati pelan-pelan siapa sebenarnya yang meninggal. Sampai akhirnya ia membuka tautan berita di media online yang dikirimkan di grup. Isinya mengenai Sapardi Djoko Damono meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Sampai berita selesai dibaca, Sri belum mengerti siapa Sapardi Djoko Damono. Ia lalu membuka link berita yang ada di kabar duka tersebut. Sri menemukan puisi Hujan Bulan Juni. Ia seperti tidak asing dengan setiap kata yang ada. Sri ingat, akhir bulan Juni lalu Paidi mengirim kata-kata itu.
Semakin penasaran, Sri berselancar di internet. Ia menemukan banyak kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono. Pandangan Sri berhenti lama di puisi yang berjudul Aku Ingin. Ia mencocokkan pesan yang dikirimkan Paidi dengan puisi karya Sapardi Djoko Damono.
Dan, benar saja. Ternyata selama ini Paidi hanya menyalin puisi dan mengirimnya tanpa mencantumkan siapa penulisnya. Ia awalnya mengira semua kata-kata indah yang dikirim di WhatsAppnya adalah karya Paidi. Namun, Sri salah. Paidi tak pernah menuliskan puisi untuknya.
ADVERTISEMENT
Saat itu juga, Sri langsung berniat membalas WhatsApp Paidi. Sri kecewa ke Paidi yang tidak jujur kepadanya. Meski begitu, ia tidak marah. Sri tetap harus berterima kasih ke Paidi. Sebab, Paidi secara tidak langsung sudah mengenalkannya dengan puisi karya Sapardi Djoko Damono.
Sri benar-benar jatuh cinta dengan puisinya Sapardi Djoko Damono, bukan dengan Paidi. Namun, belum sempat bertemu dengan pengarangnya, Sri harus menerima kenyataan Sapardi Djoko Damono sudah pergi.
Setelah menemukan kata-kata yang tepat, Sri langsung mengirimkannya ke Paidi: “Yang Fana adalah Waktu, Puisinya Sapardi Abadi”
“Selamat jalan, Sapardi Djoko Damono”.