Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Dehidrasi Elektoral
11 Oktober 2023 18:52 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Mohammad Hidayaturrahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Politik Indonesia sedang berada di tengah situasi yang cukup “panas.” Hal ini setidaknya terlihat dari semakin dekatnya Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden yang akan digelar pada 14 Februari 2024. Panasnya suhu politik tanah air juga dipicu oleh polarisasi dukungan terhadap bakal calon presiden, yang setidaknya sekarang telah mengerucut ke tiga nama, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto.
ADVERTISEMENT
Suhu politik juga dipanaskan dengan dinamika yang terjadi di antara partai politik pendukung masing-masing bakal calon presiden, maupun dinamika internal partai pendukung bakal calon. Suhu politik yang semakin memanas tersebut menyebabkan dehidrasi elektoral bakal calon presiden.
Ada dua kondisi dehidrasi elektoral yang dialami tiga bakal calon presiden Republik Indonesia. Disebut dehidrasi, karena di antaranya ketiganya belum ada yang secara kuantitatif mencapai angka 50 persen plus satu. Pertama, secara kuantitatif atau menurut survei perolehan suara bakal calon presiden tinggi, namun secara kualitatif minim antusiasme publik.
Ada dua calon bakal calon presiden yang dalam banyak survei selalu menempati posisi nomor satu dan dua, yaitu Gandar Pranowo dan Prabowo Subianto. Ada survei yang menempatkan Ganjar Pranowo di posisi pertama, dan Prabowo Subianto di posisi kedua. Namun ada juga lembaga survei yang menempatkan Prabowo Subianto di posisi pertama dan Ganjar Pranowo di posisi kedua. Sementara Anies Baswedan hampir selalu berada di nomor tiga. Dari sini jelas Anies Baswedan mengalami dehidrasi elektoral.
ADVERTISEMENT
Kedua, secara kuantitatif, menurut survei rendah tapi secara kualitatif partisipasi publik cukup tinggi. Hal ini dialami oleh bakal calon Presiden Anies Baswedan. Partisipasi publik tersebut terlihat dari kehadiran massa pada saat bakal calon Presiden Anies Baswedan datang ke Makassar, Sulawesi Selatan, Malang, Jawa Timur, dan Bandung, Jawa Barat. Sementara bakal calon Presiden Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto, belum berhasil membuat ledakan dukungan massa pada saat mereka turun ke masyarakat. Dalam konteks ini, bakal calon Presiden Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto mengalami dehidrasi elektoral.
Iklim politik tersebut mirip-mirip dengan cuaca beberapa hari ini yang panasnya tidak biasa, untuk ukuran Indonesia. Beberapa kota di Indonesia suhunya bahkan mencapai angka 39 derajat celsius. Cukup bisa membuat manusia yang beraktivitas di luar rumah mengalami dehidrasi. Secara fisik, dehidrasi merupakan kondisi tubuh yang mengalami kekurangan cairan. Kekurangan cairan disebabkan karena asupan air yang tidak memadai dengan kebutuhan normal, atau metabolisme tubuh yang mengalami masalah tertentu.
ADVERTISEMENT
Selain itu dehidrasi juga disebabkan karena faktor di luar tubuh manusia, seperti panas yang berlebihan. Dehidrasi semakin parah bila dipicu oleh faktor internal dan eksternal secara bersamaan. Kondisi cuaca yang panas berlebihan, kemudian ditambah dengan asupan cairan yang kurang. Dehidrasi membuat fisik lemah dan tidak bergairah, letih dan lesu. Bila dibiarkan tidak diatasi, bukan tidak mungkin dehidrasi menyebabkan penyakit akut yang bahkan pada tahap tertentu dapat menyebabkan kematian.
Dehidrasi elektoral perlu diwaspadai oleh para bakal calon presiden dan partai pendukung. Apakah bakal calon harus memberi materi atau uang kepada calon pemilih? Hal ini yang perlu diwaspadai. Dari survei yang dilakukan oleh Center for Indonesian Reform (CIR) berkaitan dengan politik uang (money politic) pada saat Pemilu. Ada 49 persen pemilih yang bersedia menerima politik uang namun akan memilih calon sesuai dengan hati nurani.
ADVERTISEMENT
Sebanyak 20 persen calon pemilih yang menerima politik uang dan akan memilih calon yang memberi uang. Sebanyak 13 persen pemilih yang menerima politik uang dan akan memilih calon yang memberi uang lebih besar. Adapun 9 persen pemilih yang dengan tegas menyatakan menolak politik uang. Calon pemilih yang betul-betul akan memilih calon karena uang hanya 33 persen, jumlah tersebut lebih sedikit dari pemilih yang akan memilih sesuai dengan hati nurani, atau sama sekali menolak politik uang.
Jangan sampai terjadi, bakal calon presiden atau partai pendukung dan tim pemenangan yang melakukan blunder politik, habis-habisan mengeluarkan materi dan uang dalam jumlah banyak untuk mempengaruhi pemilih, namun tetap saja tidak berhasil menyembuhkan dehidrasi politik, malah membuat dehidrasi baru, dehidrasi finansial. Atau bagaimana dengan upaya untuk main mata dengan oknum penyelenggara?
ADVERTISEMENT
Hal tersebut juga tidak bisa menjamin calon bisa mengatasi dehidrasi elektoral. Bila pun ada oknum yang berani bermain mata, pasti juga akan main tiga kaki, tidak akan bermain tunggal. Sebab bisa jadi oknum yang berani bermain mata, memang sedang mengalami “dehidrasi” sehingga perlu mendapat asupan lebih banyak cairan dengan minum obat dehidrasi, “kaki tiga.”
Dehidrasi bila tidak ditangani secara serius, akan membuat lemas sebelum masuk ke dalam gelanggang pertandingan. Bila atlet seperti petinju mengalami dehidrasi saat berada di dalam gelanggang, akan menjadi sasaran empuk pukulan lawan, dan mudah untuk dikalahkan. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah dengan mendekat ke hidran. Hidran merupakan tempat untuk menyalurkan air dalam jumlah banyak dengan cepat. Hidran sebagai media untuk menarik air dari sumber air ke tempat yang dikehendaki.
ADVERTISEMENT
Bila rakyat adalah sumber elektoral, maka bakal calon presiden harus memiliki hidran yang bisa dengan mudah mengalirkan air, sehingga tidak terjadi dehidrasi elektoral. Para bakal calon presiden semakin dekat dengan rakyat, dengan pemilih, tidak hanya memoles diri di media sosial atau baliho. Pada saat turun ke masyarakat bertemu masyarakat, berdialog dengan masyarakat, terjadi komunikasi dan konsultasi politik yang melibatkan partisipasi publik, mendengarkan aspirasi publik.
Sehingga publik atau pemilih merasa dekat dengan bakal calon presiden, dan mengenal lebih dekat bakal calon presiden yang akan menjadi pemimpin selama lima tahun ke depan. Hal itu yang disebut oleh Jurgen Habermas dengan politik deliberatif, politik yang melibatkan publik dalam setiap proses politik.