Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Harusnya di Bulan Ramadhan Para Koruptor Juga 'Puasa' Korupsi
6 April 2023 9:49 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Mohammad Hidayaturrahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masyarakat muslim di Indonesia dan di seluruh dunia saat ini sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan 1444 hijriah. Pada saat ini masyarakat Indonesia juga dihebohkan dengan berita mengenai “uang panas” ratusan triliun rupiah yang merupakan bagian dari kejahatan tindak pidana pencucian uang. Besar pula kemungkinan uang tersebut berkaitan dengan kejahatan lain, seperti tindak kejahatan korupsi.
ADVERTISEMENT
Pada bulan Ramadhan kaum muslim tidak hanya berpuasa, pada siang hari, namun biasanya melakukan banyak sekali ritual keagamaan, seperti salat tarawih dan lainnya. Namun di antara ibadah paling utama adalah berpuasa, yaitu tidak makan, tidak minum, dan tidak melakukan perbuatan yang membatalkan ibadah puasa.
Oleh Imam Ghazali, ritual puasa seperti ini dianggap sebagai puasa awam, atau kebanyakan rata-rata kaum muslim, tidak spesial, dan hampir setiap muslim bisa melakukannya. Paling berat adalah puasa khusus, yaitu puasa yang berhasil mencegah pelakunya dari melakukan hal-hal yang dilarang oleh Tuhan, termasuk korupsi.
Namun sepertinya hal tersebut akan menjadi persoalan tersendiri bagi para kaum muslim di Indonesia, terutama para pejabat publiknya, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Terutama bila dilihat dari beberapa kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat yang justru ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada bulan Ramadhan. Dari data yang dirilis oleh media, pejabat yang ditangkap KPK pada bulan Ramadhan di antaranya Irawady Joenoes, Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim Komisi Yudisial.
ADVERTISEMENT
Ada pula Djodi Supratman, pegawai Mahkamah Agung, serta Ade Swara, Bupati Karawang dan istrinya, Nurlatifah. Pejabat lain yang ditangkap KPK pada bulan Ramadhan adalah Agus Feisal Hidayat, Bupati Buton Selatan; Tasdi, Bupati Purbalingga; Samanhudi Anwar, Wali kota Blitar; Syahri Mulyo, Bupati Tulungagung; Rochmadi Saptogiri, pejabat Eselon I Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); Ali Sadli, Auditor BPK; Jarot Budi Prabowo, pejabat eselon III Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal; Moch Basuki, Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur; dan lain-lain.
Deretan data di atas, menjadi peringatan (warning) bagi pejabat publik, untuk tidak hanya melihat ibadah di dalam agama hanya sebatas ritual rutinitas semata, yang dilakukan tanpa ruh dan pemaknaan yang mendalam, atau internalisasi nilai-nilai keagamaan pada kehidupan sosial dan politik.
ADVERTISEMENT
Perlu ada tafsir ulang terhadap perilaku beragama para pejabat publik di Indonesia yang terjerat kasus korupsi. Seluruh instrumen beragama pada dasarnya ditujukan untuk mencegah perbuatan nista seperti korupsi dan penyimpangan kekuasaan sebagaimana juga puasa mengajarkan seperti itu.
Bersamaan dengan ritual puasa, ada pesan moral yang sangat kuat, yang harus termanifestasi dalam diri dan kehidupan para pejabat publik. Hal tersebut pernah dicontohkan oleh para pejabat publik pada masa lalu. Tidak hanya tidak korupsi, namun hidup mereka sangat bersahaja. Banyak sekali pejabat publik di masa lalu yang dikenal religius, dan jauh dari pelaku korup serta bergaya hidup sederhana.
Pada titik ini ibadah puasa sebetulnya harus diinternalisasi dalam penghayatan kehidupan beragama. Sebab ibadah puasa Ramadhan adalah ibadah yang sangat rahasia sifatnya, tidak diketahui oleh orang lain, karena yang menjalankan ibadah puasa bersikap pasif, beda dengan ibadah lain seperti haji yang cukup atraktif.
ADVERTISEMENT
Bila sudah memaknai dan menghayati puasa Ramadhan secara baik, mestinya, tindakan korupsi menjadi hal yang otomatis ditinggalkan, karena korupsi juga bersifat rahasia, tidak diketahui oleh orang lain, hanya pelakunya dan tentu saja Tuhan yang tahu.
Maka perasaan bahwa Tuhan mengawasi tindakan para pejabat publik harus senantiasa dihadirkan, terutama pada saat menjalankan puasa, sehingga kasus korupsi selama bulan puasa menurun, atau tidak ada sama sekali.
Namun yang menjadi persoalan adalah, apakah perasaan tersebut ada dalam jiwanya. Persoalan lain adalah, bila perasaan tersebut ada, bagaimana interaksi para pejabat publik di Indonesia dengan lingkungan sekitarnya?
Jangan-jangan saat sedang berpuasa, interaksi mereka sangat intens dengan orang-orang yang permisif terhadap tindakan korupsi, atau bahkan terbiasa melakukan tindakan korupsi. Sehingga yang muncul bukan perasaan takut untuk korupsi, atau semangat anti korupsi meskipun sedang puasa.
ADVERTISEMENT
Namun sebaliknya, mereka tetap berbicara atau merencanakan atau bahkan melakukan perbuatan korup. Maka, mereka yang tertangkap hanyalah giliran saja, seperti arisan, atau mereka yang kena apesnya saja, sementara yang lain yang perbuatan korupsinya lebih parah justru aman.
Esensinya, fefleksi hidup anti korupsi bagi pejabat publik merupakan hasil dari internalisasi nilai keagamaan yang dipraktikkan sehari-hari. Dalam teori realitas sosial, Peter Berger dan Thomas Luckmann menyebut internalisasi merupakan proses di mana individu menyerap nilai yang diperoleh dari budaya yang dihasilkan dari interaksinya dengan lingkungan.
Sejatinya puasa juga merupakan proses internalisasi nilai-nilai antikorupsi yang paling kuat membentuk dan jiwa para politisi di negeri ini. Dalam korupsi manusia diajarkan untuk berperilaku jujur terhadap diri sendiri, karena yang mengetahui dirinya berpuasa atau tidak hanya dirinya sendiri, orang lain sama sekali tidak mengetahui.
ADVERTISEMENT
Maka, tindakan korupsi mestinya menjadi satu perbuatan yang absen selama bulan Ramadhan, artinya para pelaku tindak kejahatan korupsi selama bulan puasa, berhenti melakukan perbuatan korupsinya.
Diharapkan, sebetulnya tidak sekadar pada saat bulan Ramadhan pelaku tindak kejahatan korupsi tidak melakukan korupsi, namun setelah selesai bulan Ramadhan koruptor juga berhenti korupsi dan bertobat.
Hal tersebut sebagai manifestasi dari keberhasilan penggemblengan diri selama bulan Ramadhan, yang oleh Al Quran disebut sebagai taqwa. Taqwa bermakna menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT.