Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Pilkada 2024 dan Nihilisme Ideologi Parpol
13 September 2024 12:14 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Mohammad Isa Gautama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Fenomena "kotak kosong" dalam kontestasi politik Indonesia semakin marak pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024. Kondisi ini tidak hanya merefleksikan rendahnya kompetisi politik, tetapi secara tidak langsung menegaskan nihilisme ideologi partai politik (parpol). Parpol yang seharusnya mengusung agenda ideologis kini lebih banyak bergerak atas dasar pragmatisme politik, mengabaikan peran mereka sebagai aktor perubahan sosial yang seharusnya menjadi penghubung antara rakyat dan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini memberikan sinyal serius bahwa politik Indonesia berada di persimpangan yang mengkhawatirkan, di mana pertarungan ideologi digantikan oleh kompromi pragmatis tanpa arah, kecuali mengarah kepada pengkultusan pemenangan posisi kekuasaan.
Pilkada Kotak Kosong 2024
Pilkada kotak kosong merujuk pada kontestasi pemilihan kepala daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon, di mana masyarakat hanya memiliki dua pilihan: memilih pasangan calon atau memilih kotak kosong. Fenomena ini bukan sesuatu yang baru, pada Pilkada serentak 2020 fenomena pasangan calon tunggal terjadi di 25 daerah. Sementara berdasarkan rilis KPU terbaru, dalam Pilkada 2024 terdapat 41 daerah memiliki calon tunggal, terdiri dari 1 Provinsi dan 40 Kota/Kabupaten (tempo.co, 8/9/24).
Salah satu penyebab utama Pilkada kotak kosong adalah rendahnya partisipasi parpol dalam menyediakan alternatif calon. Sebagian besar parpol memilih untuk tidak mengusung calon jika merasa peluang menang kecil, sehingga pasangan calon petahana cenderung melenggang tanpa lawan. Akibatnya, masyarakat tidak mendapatkan pilihan yang layak, dan demokrasi elektoral yang sehat terancam. Dalam konteks ini, di samping faktor oportunistik/pragmatisme politik, pilkada kotak kosong menjadi simbol dari nihilnya kompetisi dan mandulnya gagasan ideologis di kalangan parpol.
Nihilisme Ideologi Parpol
ADVERTISEMENT
Bisa dikatakan, maraknya fenomena kotak kosong merepresentasikan krisis ideologi dalam sebagian besar partai politik di Indonesia. Parpol tidak lagi mengusung ideologi sebagai basis perjuangan serta visi dan misinya ke depan dalam memperjuangkan aspirasi konstituen, melainkan hanya berfokus pada kepentingan pragmatis, seperti perolehan kekuasaan dan keuntungan jangka pendek.
Menurut artikel yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum UI (www.law.ui.ac.id, diakses 12/9/24), politik Indonesia saat ini cenderung minus ideologi. Artinya, parpol lebih banyak memanfaatkan taktik politis yang pragmatis daripada berjuang untuk memperkuat nilai-nilai ideologis.
Situasi ini diperburuk oleh fakta bahwa partai politik di Indonesia tidak memiliki basis massa yang solid dalam hal identifikasi partai. Keterikatan rakyat dengan parpol berbasis ideologi sangat lemah. Data menunjukkan bahwa party identification (identifikasi partai) di Indonesia menurun tajam dalam beberapa tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Hal ini semakin mengukuhkan nihilisme ideologi di kalangan parpol yang seharusnya berperan dalam mendidik masyarakat mengenai nilai-nilai demokrasi dan memfasilitasi pemahaman ideologis. Sebaliknya, parpol lebih banyak mengandalkan figur-figur populis (baca: selebritis dan pemengaruh) yang dapat menggerakkan massa secara instan, tanpa dasar ideologis yang kuat.
Dari Ideologi ke Kepentingan Kekuasaan
Pragmatisme politik yang kini mendominasi arena politik Indonesia juga memengaruhi pola aliansi di antara parpol. Pemilu dan Pilkada sering kali diwarnai oleh pembentukan koalisi pragmatis yang tidak berlandaskan kesamaan ideologi, melainkan sekadar untuk meraih kemenangan. Penelitian dari Universitas Katolik Parahyangan menyebut bahwa pragmatisme politik di Indonesia semakin kuat dalam beberapa dekade terakhir (unpar.ac.id, diakses 11/9/24).
Koalisi pragmatis yang tidak memiliki fondasi ideologis kuat sering kali berujung pada ketidakmampuan untuk menyusun program kebijakan yang konsisten dan bermanfaat bagi publik. Fenomena ini dapat dilihat dari beberapa jejak rekam pemerintahan daerah di Indonesia, di mana koalisi yang terbentuk hanya bertahan selama masa kampanye dan tidak mampu mempertahankan kesatuan visi dalam mengelola pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Pragmatisme politik semacam ini juga berdampak negatif terhadap kualitas demokrasi, di mana kontestasi politik lebih banyak diisi oleh permainan strategi kekuasaan ketimbang adu gagasan untuk kepentingan publik.
Lebih jauh, gejala oportunisme partai politik menjelang Pemilu 2024 semakin terlihat jelas, ditandai dengan aliansi pragmatis yang mengabaikan prinsip ideologi dan visi jangka panjang. Banyak partai politik kini berfokus pada perolehan kekuasaan melalui kompromi dan koalisi yang tidak didasari kesamaan nilai, melainkan sekadar strategi jangka pendek untuk meraih suara terbanyak.
Dampak Terhadap Demokrasi
Pilkada kotak kosong tidak hanya mengisyaratkan nihilisme ideologi, tetapi juga merupakan ancaman serius bagi demokrasi. Demokrasi elektoral yang sehat seharusnya menawarkan berbagai pilihan calon, memberikan ruang bagi masyarakat untuk memilih berdasarkan visi, misi, dan ideologi yang mereka anut. Pilkada yang hanya diikuti satu pasangan calon berkonsekuensi kepada banyak ekses negatif, di samping pilihan masyarakat menjadi terbatas, nilai kompetisi politik terkikis dan tentu saja memacetkan regenerasi kepemimpinan politik.
ADVERTISEMENT
Yang lebih mengkhawatirkan, fenomena Pilkada kotak kosong sepanjang Pilkada 20204 diperkirakan banyak pihak semakin menguntungkan posisi petahana, yang sering kali menggunakan kekuasaan mereka untuk mengamankan dukungan dari partai politik dan menghalangi munculnya calon alternatif. Kekhawatiran ini mengemuka berdasarkan data, dari 41 Pilkada kotak kosong, 33 di antaranya diikuti oleh petahana (www.bbc.com, diakses 11/9/24).
Menyimak ini, ekspektasi akan lahirnya proses Pilkada yang sehat dan demokratis akan semakin menipis, manakala kekuasaan petahana menjadi sulit digoyahkan, dan demokrasi elektoral berubah menjadi formalitas belaka. Dalam situasi ini, politik Indonesia sudah dapat dipastikan mengalami kemunduran serius, di mana nilai-nilai demokrasi yang seharusnya menjadi pondasi utama justru tergerus oleh kepentingan kekuasaan sekelompok elite.
Sekali lagi, fenomena mengerasnya Pilkada kotak kosong merefleksikan wajah politik Indonesia yang tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Parpol tetap berada dalam jalur pragmatisme, mencari peluang kemenangan dengan cara yang paling mudah, tanpa memperjuangkan gagasan atau nilai-nilai yang mendalam, bahkan terkesan “menghalalkan” segala cara.
ADVERTISEMENT
Riset Kompas (www.kompas.id, diakses 11/9/24) memperkuat sinyalemen ini, pragmatisme semakin menguat karena rendahnya tingkat keterlibatan ideologis masyarakat terhadap parpol. Hal ini menandakan bahwa politik Indonesia kini lebih condong pada pendekatan transaksional, di mana aliansi politik dibangun atas dasar kepentingan jangka pendek, yaitu perolehan suara dan kekuasaan, bukan ideologi atau gagasan jangka panjang untuk kepentingan bangsa.
Mirisnya, perilaku oportunis-pragmatis parpol menunjukkan degradasi fatsoen politik parpol yang semakin meruncing, di mana partai-partai lebih tertarik merebut dan melanggengkan posisi di zona nyaman alih-alih menawarkan program yang konsisten untuk kemaslahatan umat. Ketidakpedulian terhadap gagasan ini berkonsekuensi mengerasnya krisis kepercayaan publik terhadap partai politik dan merusak integritas demokrasi lokal dan nasional.
Tantangan Reformasi Parpol
Fenomena Pilkada kotak kosong dan nihilisme ideologi parpol mencuatkan alarm bahwa demokrasi Indonesia berada dalam ancaman. Parpol yang seharusnya menjadi pilar utama dalam proses demokratisasi justru semakin menjauh dari perannya sebagai pembawa gagasan ideologis dan perwakilan aspirasi rakyat. Pragmatisme politik yang mendominasi panggung politik Indonesia saat ini berpotensi menggerus kualitas demokrasi.
ADVERTISEMENT
Ke depan, dibutuhkan perubahan signifikan dalam cara parpol berpolitik dan berkontestasi secara demokratis, akomodatif dan aspiratif. Parpol harus kembali ke jalur perjuangan ideologis, menawarkan alternatif yang berbasis pada gagasan yang kuat, bukan sekadar kompromi pragmatis. Partai juga harus berani untuk menginternalisasi komitmen untuk “siap menang, siap kalah”, di samping merevisi sistem rekrutmen serta kaderisasi kader partai agar memiliki stok mumpuni untuk alih kepemimpinan di momen Pilkada atau Pilpres berikutnya.
Tanpa reformasi internal sekaitan filosofi ideologi dan visi-misi partai serta program kaderisasi yang sistematis-demokratis, Pilkada kotak kosong akan terus menjadi simbol dari kemunduran demokrasi Indonesia, di mana pilihan rakyat menyempit dan demokrasi semakin kehilangan maknanya. [*]