Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Prospek Pengusutan Pelanggaran Jokowi
1 Desember 2024 18:52 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Mohammad Isa Gautama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
SELAMA dua periode pemerintahannya, banyak kebijakan dan tindakan Joko Widodo menuai kritik publik, terutama dalam kaitannya dengan prinsip transparansi dan demokrasi. Isu yang kerap menjadi sorotan bukan hanya soal keberpihakan dan campur tangan politik, tetapi juga pelanggaran-pelanggaran potensial yang mencakup ranah hukum, ekonomi, dan kebijakan publik.
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang teori hegemoni, Gramsci (1971) menyoroti bagaimana kekuasaan seringkali disamarkan melalui kepemimpinan yang tampak seolah-olah mengabdi pada rakyat, padahal sebenarnya ia mengkonsolidasi kekuasaan demi agenda politik tertentu. Kasus-kasus yang mencuat di era pemerintahan Jokowi tampaknya memperlihatkan kecenderungan hegemoni ini, terutama ketika elemen kontrol terhadap hukum dan media dilibatkan untuk menjaga citra politik tertentu.
Berbagai Pelanggaran
Misalnya, kebijakan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menegakkan Undang-Undang Pemilu yang baru, yang mengizinkan mantan presiden atau wakil presiden mencalonkan anak atau keluarga dekat, sangat kental dinilai sebagai langkah yang mendukung oligarki dan politik dinasti.
Perubahan UU Pemilu ini, yang disahkan di tengah kontroversi dan penolakan publik, menunjukkan dinamika kekuasaan yang tidak hanya mengabaikan suara rakyat tetapi juga seakan mendukung agenda politik tertentu, yang dalam teori politik disebut sebagai bentuk ‘pemanipulasian demokrasi’ (democratic manipulation). Pengaruh keputusan ini memperlihatkan kecenderungan konsolidasi kekuasaan dalam lingkaran politik yang tertutup dan terkooptasi, sehingga suara publik dan prinsip meritokrasi dalam politik menjadi terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, janji politik Jokowi mengenai pengembangan mobil Esemka yang digadang-gadang sebagai mobil nasional dan simbol kemandirian teknologi, pada kenyataannya tidak sesuai dengan ekspektasi publik. Esemka yang awalnya dijanjikan sebagai karya anak bangsa, faktanya sebagian besar komponennya berasal dari produk asing, dan wacana mobil ini pun menghilang seiring waktu.
Kekecewaan masyarakat terhadap proyek ini sejalan dengan teori Disonansi Kognitif (Cognitive Dissonance) dalam psikologi sosial yang menjelaskan bagaimana kontradiksi antara janji dan realisasi menyebabkan ketidakpuasan publik. Hal ini berdampak negatif terhadap persepsi publik terhadap kredibilitas Jokowi, dan memperlihatkan bagaimana kebijakan yang dibangun dengan semangat nasionalisme dapat berakhir sebagai alat politik belaka.
Poin lain yang juga tak kalah mencuat adalah terkait keberadaan kasus-kasus hukum yang dianggap melindungi lingkar kekuasaan. Sebagai contoh konkrit, kasus-kasus terkait korupsi yang melibatkan orang-orang dekat Jokowi atau pejabat di kementerian tertentu seringkali mandek dalam proses hukum atau mendapatkan perhatian minim dari penegak hukum. Teori ‘State Capture’ dalam ekonomi politik menjelaskan bahwa regulasi dan institusi hukum dapat dimanipulasi oleh pihak-pihak yang berkuasa untuk melindungi kepentingan mereka (Winters, 2011).
ADVERTISEMENT
Hal ini mencerminkan bahwa bukannya hukum ditegakkan secara adil dan imparsial, hukum justru kerap melayani mereka yang berada di posisi kekuasaan. Dampak lebih jauh, seperti yang dijelaskan dalam teori ketergantungan (Dos Santos, 1970), negara cenderung tunduk pada kepentingan elite yang mendominasi sumber daya, yang berpotensi menggerogoti kedaulatan kebijakan publik.
Selain itu, tekanan terhadap kebebasan berekspresi juga meningkat selama era Jokowi. Beberapa aktivis dan tokoh oposisi mengalami kriminalisasi atas dasar kritik terhadap pemerintah. UU ITE digunakan untuk membungkam mereka yang vokal terhadap kebijakan pemerintah. Fenomena ini mendukung pendapat bahwa ada upaya sistematis untuk mengontrol narasi publik dan menekan suara-suara yang kritis.
Konsep ‘Soft Authoritarianism’ dalam teori politik modern menjelaskan bagaimana pemerintahan menggunakan alat-alat hukum yang sah secara formal untuk mencapai kontrol otoritarian tanpa terlihat represif. Strategi ini secara sistematis membatasi kebebasan berekspresi dan memperlihatkan bahwa dalam demokrasi pun, tindakan otoritarianisme dapat dilakukan dengan pendekatan legalistik.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, pembangunan infrastruktur yang masif selama masa pemerintahan Jokowi, meskipun banyak menuai pujian, juga dianggap sebagai pedang bermata dua. Pengadaan infrastruktur besar-besaran ini menyebabkan utang negara meningkat tajam, menimbulkan kekhawatiran mengenai keberlanjutan ekonomi dalam jangka panjang. Selain itu, proyek-proyek ini memicu spekulasi bahwa sebagian besar kontrak dan anggaran infrastruktur diarahkan ke perusahaan-perusahaan yang terkait dengan lingkaran elite politik.
Proyek infrastruktur yang diproyeksikan menguntungkan masyarakat, justru memberikan keuntungan lebih besar kepada segelintir perusahaan dan mengesampingkan dampak sosial-ekonomi masyarakat sekitar. Hal ini kembali memperlihatkan ketidakseimbangan antara tujuan pembangunan dan implementasinya, yang menurut teori ketergantungan ekonomi dapat memperlemah kemandirian suatu negara dengan ketergantungan yang semakin besar terhadap utang.
Menakar Prospek
Pada akhirnya, prospek pengusutan pelanggaran-pelanggaran ini terlihat tidak terlalu cerah dalam waktu dekat. Kekuasaan eksekutif yang kuat, dengan dukungan dari lembaga-lembaga legislatif dan peradilan yang berafiliasi dengan pemerintah, membuat reformasi dan pengawasan atas kebijakan dan tindakan pemerintah lebih sulit dilakukan. Kita berharap peran media dan tekanan dari masyarakat sipil dapat terus mendorong transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, termasuk mengusut kasus-kasus pelanggaran pemerintahan sebelumnya. Namun, tanpa dukungan hukum yang tegas dan independen, upaya pengusutan berbagai kasus ini akan selalu menemui hambatan.
ADVERTISEMENT
Hambatan terbesar dalam mengusut kasus-kasus pelanggaran kebijakan Jokowi adalah kuatnya kontrol politik terhadap lembaga penegak hukum dan pengawas. Meskipun ada mekanisme demokrasi yang tersedia, kekuatan eksekutif yang begitu dominan di bawah pemerintahan baru, yang notabene masih terlalu kentara nuansa jejak pengaruh Jokowi, sangat berpotensi menyebabkan semakin menyempitnya jalan untuk mengusut pelanggaran-pelanggaran Jokowi. Selain itu, kedekatan para oligarki dengan kekuasaan memperkuat pengaruh mereka dalam menentukan arah kebijakan strategis. Konstelasi ini diperkuat dengan semakin melemahnya kontrol di parlemen (disebabkan nyaris ketiadaan oposisi) dan derasnya dukungan media arus utama terhadap pemerintah.
Meskipun demikian, teori perlawanan Antonio Gramsci tentang hegemoni dan oposisi kultural menyatakan bahwa kelompok masyarakat yang memiliki kesadaran kritis tetap dapat memicu perubahan, terutama melalui perlawanan kolektif dan konsolidasi media independen (Gramsci, 1971). Tekanan publik yang berkelanjutan dapat menjadi salah satu cara untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah Jokowi atas berbagai pelanggaran yang telah dilakukkannya
. Resepnya, masyarakat harus senantiasa ‘siuman’ agar kekuasaan tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi segelintir elite politik.[*]
ADVERTISEMENT