Konten dari Pengguna

Partai dan Politisi Organik

Moh Ridwan Litiloly
Fungsionaris PB HMI 2021-2023
6 November 2022 15:52 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moh Ridwan Litiloly tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi partai politik. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi partai politik. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa lembaga survei telah mendiagnosis permasalahan yang menjadi ancaman atas masa depan dan peradaban demokrasi kita. Persoalannya tak lain adalah rendahnya kepercayaan (Trust) masyarakat terhadap institusi-institusi demokrasi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Lembaga survei Indikator Politik Indonesia yang melakukan survei pada 16-24 Juni 2022 terhadap 1.200 responden berusia 17 tahun di seluruh Indonesia menemukan hasil yang cukup mencengangkan. Dari beberapa institusi negara, Tentara Nasional Indonesia (TNI) berada pada posisi teratas yang dipercaya oleh 93,3% responden.
Selanjutnya diikuti Presiden dengan tingkat kepercayaan 84,5%, Polri 76,4%, Kejaksaan Agung 74,5%, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 73,2%. Sementara institusi demokrasi berada pada posisi terendah. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menerima kepercayaan 64,6% responden, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 62,6% sedangkan partai untuk politik hanya 56,6%.
Hilang atau menurunnya kepercayaan masyarakat kepada institusi demokrasi terutama partai politik tentunya bukan Tampa sebab. Tahmina Ferdous Tanny dan Chowdhury Abdullah Al-Hossienie melalui tulisannya Trust in Government: Factors Affecting Public Trust and Distrust menjelaskan faktor yang mempengaruhi kepercayaan publik diakibatkan adanya kinerja tidak sesuai dengan harapan.
ADVERTISEMENT
Artinya, ada ekspektasi masyarakat yang terabaikan dari ketentuan tugas dan tanggungjawab partai politik. Misalnya saja seperti banyaknya kader partai yang terjerat kasus korupsi, partai yang berpihak pada kebijakan yang menyulitkan masyarakat atau diamnya partai politik atas ketidakadilan dan lain sebagainya.
Melenceng dari garis perjuangan, baik dilakukan oleh partai politik secara kelembagaan maupun anggota partainya, membuat politik terframing sebagai sektor yang paling kotor. Politik hanya dianggap sebagai ruang merampas dan mempertahankan kekuasaan. Saling cekal, fitnah, ujaran kebencian dan narasi-narasi destruktif lainya dianggap lumrah dalam politik.
Parahnya lagi, justru semua itu diaminkan oleh kader-kader partai politik. Jika ada yang menentang perlakuan yang melenceng, justru dianggap sebagai politisi yang naif.
Politisi Organik
Di tengah badai yang menerpa masa depan demokrasi bangsa Indonesia saat ini, kita membutuhkan sosok politisi yang murni memprioritaskan kepentingan bangsa dan masyarakat, ketimbang hasrat kekuasaannya. Politisi yang benar-benar organik atas hasil produksi partai politik.
ADVERTISEMENT
Untuk istilah politisi organik, terminologi ini penulis berangkat dari bukunya Antonio Gramci yang berjudul Prison Notebooks. Dalam catatannya, Gramci membagi dua kategori intelektual.
Pertama, Intelektual tradisional. Menurut Gramci, tipe ini adalah intelektual yang menganggap diri mereka otonom dari kelas sosial mereka, dan mencoba untuk menempatkan diri mereka ke dalam sebuah kontinuitas historis di atas dan di luar perubahan sosial-politik.
Sedangkan yang kedua adalah intelektual organik. Bagi Gramsci, kaum intelektual organik mengartikulasikan kesadaran kolektif dari kelas mereka dalam wilayah sosial, politik dan ekonomi. Tugas dari kelompok ini adalah melahirkan aspirasi rakyat dan mewujudkan potensi yang secara interen telah ada dalam kelompok sosialnya.
Gambaran soal intelektual organik menurut penulis sangat beresonansi dengan politisi organik. Tidak semua intelektual berprofesi sebagai seorang politisi, tetapi seorang politisi, harus bisa menjelma sebagai seorang intelektual organik yang dimaksudkan Gramci.
ADVERTISEMENT
Intelektual organik yang berprofesi sebagai politisi inilah yang penulis sebut sebagai politisi organik. Politisi yang kaya akan gagasan dan narasi konstruktif, serta memiliki integritas dan tanggungjawab kerakyatan yang jauh lebih penting dari pada keinginannya berkuasa.
Beban inilah yang seharusnya dipikirkan oleh partai-partai politik sebagai laboratorium pencetak calon-calon pemimpin masa depan bangsa. Partai politik seharusnya tidak sekadar merancang prosesi perebutan atau mempertahankan kekuasaan.
Partai politik harus memiliki konsep dan modeling untuk membangun kesadaran masyarakat dalam memilih politisi ideal, sebagai tanggungjawab pendidikan politiknya. Semua ini tentunya demi menyelamatkan masa depan peradaban demokrasi kita.