Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Carut-Marut Ketersediaan Pangan di Negara Agraris
7 Oktober 2024 16:00 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Mufti Fadhlin Aulia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Benarkah Indonesia, salah satu negara kepulauan terbesar di dunia telah gagal menjadi jawara pangan? Negeri yang kononnya kaya akan sumber daya alam justru tersandung di lahan sendiri. Polemik pangan yang tak kunjung usai seolah mengoyak citra Indonesia menuju Lumbung Pangan Dunia 2045. Mengapa negara yang dianugerahi tanah subur dan iklim tropis yang mendukung pertanian sepanjang tahun masih harus berjuang untuk memberi makan rakyatnya?
ADVERTISEMENT
Ketahanan pangan (food security) sebagai isu yang selalu menghiasi diskusi global saat ini. Indonesia dinilai rapuh dalam ketahanan karena produksi domestiknya tidak mampu memenuhi seluruh kebutuhan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2024 menunjukkan bahwa jumlah populasi penduduk di Indonesia sebesar 282.477.584 jiwa. Dengan populasi yang terus bertambah, tentu saja membawa konsekuensi dan tantangan untuk memastikan semua warga negara memiliki akses ke pangan yang cukup dan bernutrisi agar kian meningkat. Mampukah kita menjamin bahwa setiap tubuh akan terisi makanan bergizi? Ataukah kita akan terus menyaksikan drama kelaparan dan penurunan angka kesehatan di negara ini?
Food and Agriculture Organization (FAO) mendefinisikan ketahanan pangan merupakan kondisi semua orang dan setiap saat dapat memiliki akses sosial, fisik, dan ekonomi terhadap terpenuhinya pagan yang aman, cukup, dan bergizi sehingga dapat memenuhi kebutuhan dan preferensi makanan individu demi kehidupan yang sehat dan aktif. Namun, realitas yang terjadi justru berbanding terbalik di tanah air ini. Negeri yang dijuluki sebagai negara agraris, ternyata masih bergumul dengan persoalan ketahanan pangan yang tak kunjung usai. Walaupun kita memiliki potensi besar kerena perairan dan sumber daya alam melimpah, ketahanan pangan di Indonesia masih jauh dari ideal.
ADVERTISEMENT
Salah satu akar masalahnya adalah kebijakan impor yang justru melemahkan terwujudnya kedaulatan pangan (food sovereignty), kemandirian pangan (food resilience), dan keamanan pangan (food safety). Hal tersebut prinsip dasar yang seharusnya menjadi pondasi untuk mencapai ketahanan pangan sejati yang dapat mensejahterakan warga negaranya. Namun, Indonesia justru memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap impor pangan. Impor pangan telah menjadi semacam ritual tahunan yang tidak terhindarkan setiap tahunnya. Seolah-olah menjadi solusi untuk menutupi kekurangan produksi domestik, tetapi alih-alih mengobati gejala tanpa menyembuhkan penyakitnya. Langkah tersebut justru melemahkan sektor pertanian lokal dan memperparah Indonesia pada pasokan dari luar negeri.
Dari nasi di piring hingga bumbu di dapur, negara kita seolah tidak mampu mencukupi kebutuhan dasarnya sendiri. Kebijakan impor memang kerap menjadi "obat penawar" yang instan untuk meredam gejolak harga. Namun, langkah ini ibarat mengobati gejala tanpa menyembuhkan penyakitnya. Berdasarkan data BPS pada Maret 2024, Indonesia mengimpor beras sebanyak 567,22 ribu ton. Angka tersebut bukan hanya menunjukkan volume yang besar, tetapi juga peningkatan. Dibandingkan Februari 2024, impor beras naik 29,29% (month-to-month). Lebih mengejutkan lagi, mengalami lonjakkan 921,51% dibandingkan dengan Maret 2023 (year-on-year). Nilai impor beras tersebut mencapai US$371,60 juta atau setara dengan sekitar Rp6,02 triliun. Angka-angka tersebut bukan sekadar statistik, tetapi cerminan dari ketergantungan Indonesia terhadap pasokan pangan dari luar negeri. Vietnam menjadi pemasok utama beras impor Indonesia dengan volume mencapai 286,26 ribu ton pada Maret 2024. Disusul oleh Thailand (142,65 ribu ton), Myanmar (76,61 ribu ton), Pakistan (61,57 ribu ton), dan India (100 ton). Ketergantungan terhadap negara-negara tersebut bukan hanya menunjukkan kelemahan produksi domestik, tetapi juga menempatkan Indonesia pada posisi yang rentan terhadap fluktuasi harga dan kebijakan ekspor negara-negara pemasok.
ADVERTISEMENT
Data terbaru dari BPS juga mencatat, secara kumulatif awal tahun hingga Agustus 2024 mencapai 3,05 ton atau senilai US$1,91 miliar. Hal tersebut terlihat negara kita masih melakukan impor beras dengan nilai yang besar hingga saat ini. Fenomena impor pangan ini bukan hanya terbatas pada beras. Impor juga dilakukan pada komoditas pangan utama, seperti gula (3,38 juta ton atau US$2 miliar) dan gandum (8,44 juta ton atau senilai US$2,56 miliar). Lalu, sampai kapan kita akan terus bergantung pada negara lain untuk memenuhi kebutuhan dasar kita?
Pemerintah menetapkan target impor pangan untuk tahun 2024 sebesar 12.437.218 ton pada komoditas beras, jagung, gula, bawang putih, dan daging lembu. Ketergantungan impor memiliki dampak pada stabilitas harga di pasar domestik. Ketika Indonesia sangat bergantung pada pasokan pangan dari luar negeri, harga pangan di dalam negeri menjadi sangat rentan terhadap fluktuasi harga di pasar global. Hal ini menciptakan ketidakpastian yang merugikan baik bagi produsen maupun konsumen. Petani lokal sering kali kesulitan bersaing dengan produk impor yang kadang lebih murah, sementara konsumen harus menghadapi harga yang dapat mempengaruhi daya beli mereka.
ADVERTISEMENT
Situasi tersebut semakin diperparah oleh krisis global yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Pandemi COVID-19, misalnya, telah mengguncang rantai pasokan global dan menyebabkan ketidakpastian dalam produksi dan distribusi pangan. Banyak negara membatasi ekspor pangan mereka untuk mengamankan pasokan domestik yang pada gilirannya mempengaruhi ketersediaan dan harga pangan di pasar global.
Selain itu, konflik = perang antara Rusia dan Ukraina juga memiliki dampak terhadap ketahanan pangan negara kita menjadi terganggu. Kedua negara ini merupakan produsen besar gandum. Konflik yang terjadi telah menyebabkan gangguan pasokan dan lonjakan harga pangan di pasar global. Akibatnya, negara-negara importir seperti Indonesia menghadapi tekanan yang lebih besar dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan domestik.
Dalam tahun terakhir, gejolak konflik Timur Tengah kembali mengingatkan kita akan lemahnya ketahanan pangan nasional. Lonjakan harga minyak dunia akibat konflik tersebut telah memicu efek domino pada harga pangan global, termasuk di Indonesia. Dampak dari ketidakstabilan ini sangat terasa di tingkat konsumen. Harga bahan pangan pokok seperti minyak goreng, telur, dan daging sering kali mengalami kenaikan yang signifikan. Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, fluktuasi harga ini dapat berarti perbedaan antara mampu atau tidak mampu menyediakan makanan bergizi bagi keluarga mereka.
ADVERTISEMENT
Pada 4 Oktober 2024, data Badan Pangan Nasional menunjukkan kenaikan harga beras per kilogram. Beras premium Rp40 menjadi Rp15.540/kg dan beras medium Rp20 menjadi Rp13.590/kg. Selain itu, komoditas bawang merah naik 120 menjadi Rp28.340/kg dan bawang putih bonggol mengalami kenaikan Rp50 menjadi 13.590/kg. Fenomena ini bukan hal baru, tetapi tetap mengkhawatirkan mengingat beras adalah makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Lagi-lagi, untuk menanggulangi kenaikan harga dan menjaga ketersediaan tersebut pemerintah melakukan kebijakan impor.
Ketergantungan pada impor juga berdampak buruk pada petani lokal. Produk impor yang sering kali lebih murah membuat petani kesulitan bersaing di pasar domestik. Hasil panen mereka tidak lagi memiliki nilai jual yang cukup tinggi untuk menutupi biaya produksi, apalagi memberikan keuntungan yang layak. Ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga sosial. Ketika petani yang seharusnya menjadi tulang punggung ketahanan pangan tidak dihargai, bagaimana kita bisa berharap sektor pertanian kita berkembang dan menjadi lebih mandiri?
ADVERTISEMENT
Belum lagi, akses dan distribusi pangan juga masih menjadi tantangan yang tak kunjung usai. Indonesia sering kali memanen hasil bumi yang melimpah, tetapi distribusi dan akses terhadap pasar yang tidak merata membuat petani terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Di satu sisi, petani di daerah surplus hasil panen harus menjual hasilnya dengan harga rendah karena oversupply di wilayah mereka. Sementara itu, di daerah yang mengalami defisit pangan, harga komoditas bisa melonjak tinggi sehingga konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Pemerintah memang telah berusaha mengambil langkah untuk mengatasi masalah ini, tetapi tampaknya kebijakan yang ada masih belum mampu menciptakan solusi yang dapat teratasi dengan baik. Infrastruktur logistik yang tidak memadai, biaya transportasi yang tinggi, serta kurangnya fasilitas penyimpanan membuat distribusi pangan tidak efisien. Kesenjangan harga antar daerah terus terjadi, serta petani lokal tetap dirugikan dalam proses ini. Alhasil, fluktuasi harga yang tajam menjadi pemandangan yang nyaris rutin kita saksikan, terutama menjelang hari-hari besar keagamaan atau masa paceklik.
ADVERTISEMENT
Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi krisis ketahanan pangan ini? Jawabannya tidak sesederhana mengurangi impor atau meningkatkan produksi domestik.
Ketahanan pangan perlu melibatkan berbagai sektor, mulai dari pertanian, distribusi, kebijakan, hingga kondisi sosial dan ekonomi. Solusi masalah ini juga melibatkan cara sumber daya manusia kita mengelola sektor pangan dan pertanian di Indonesia. Pemerintah harus lebih serius dalam memperkuat kemandirian pangan melalui kebijakan yang mendukung produksi dalam negeri. Ketergantungan terhadap impor bukan hanya melemahkan sektor pertanian lokal, tetapi juga membuat negara kita rentan terhadap gejolak pasar global. Selanjutnya, perlu ada peningkatan dalam infrastruktur pertanian dan distribusi-akses pangan. Jalan yang memadai, fasilitas penyimpanan yang baik, serta sistem logistik yang efisien akan sangat membantu dalam memastikan pangan dapat didistribusikan secara merata di seluruh wilayah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Modernisasi sektor pertanian menjadi sebuah keharusan. Di era digital ini, teknologi harus lebih terintegrasi dalam proses produksi pertanian, baik melalui mekanisasi lahan, irigasi cerdas, ataupun pemanfaatan data untuk memprediksi cuaca dan hasil panen. Teknologi ini akan memungkinkan petani untuk meningkatkan efisiensi produksi dan mengurangi ketergantungan pada kondisi alam. Sayangnya, sebagian besar petani Indonesia masih terjebak dalam metode konvensional yang tidak produktif.
Upaya meningkatkan ketahanan pangan juga harus melibatkan perubahan pola pikir masyarakat terhadap sumber pangan. Strategi yang dilakukan tidak hanya terfokus pada komoditas beras, tetapi juga pangan non-beras. Komoditas pangan, seperti jagung, singkong, sagu, dan kentang sebenarnya sangat potensial untuk menjadi alternatif. Namun, masyarakat masih banyak yang kurang menyadari hal ini. Untuk itu, kita perlu mengubah pola pikir bahwa beras bukan satu-satunya makanan pokok yang bisa diandalkan. Pemerintah dan berbagai pihak harus lebih aktif melakukan sosialisasi untuk mengedukasi masyarakat di berbagai lapisan usia.
ADVERTISEMENT
Melihat polemik ketersediaan pangan di negara agraris seperti Indonesia, jelas bahwa masalah ini bukanlah sesuatu yang dapat diselesaikan dengan langkah-langkah instan atau solusi jangka pendek. Krisis ini mencerminkan ketidakseimbangan struktural dalam produksi dan distribusi pangan nasional, kebijakan impor yang melemahkan sektor pertanian lokal, serta ketergantungan pada pasokan dari luar negeri yang membuat kita rentan terhadap gejolak global.