Konten dari Pengguna

Racun Lidah Abusive Language Menjadi Tutur Kata Keseharian Anak Muda

Mufti Fadhlin Aulia
Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
9 Desember 2024 14:39 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mufti Fadhlin Aulia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumentasi Asli Mufti Fadhlin Aulia
zoom-in-whitePerbesar
Dokumentasi Asli Mufti Fadhlin Aulia
ADVERTISEMENT
Bahasa merupakan jendela pikiran, cerminan kepribadian, dan refleksi kualitasi diri seseorang. Beberapa tahun terakhir, kita dihadapkan pada suatu fenomena yang sangat meresahkan. Fenomena penggunaan bahasa kasar yang semakin masif dan mengakar di kalangan remaja. Tidak hanya sebagai tren atau gaya bicara, tetapi bahasa kasar telah menjadi virus yang menggerogoti komunikasi, moral, dan karakter anak muda Indonesia. Bahkan, seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar dengan mudahnya melontarkan kata-kata kotor. Seolah-olah hal tersebut sudah menadi bahasa keseharian yang paling wajar dan normal, padahal setiap kata yang keluar dari mulut seseorang mencerminkan kualitas pendidikan, lingkungan, dan perkembangan intelektual mereka. Apakah kita sedang mengikis keindahan bahasa Indonesia dengan memaklumi kebiasaan tutur kata yang penuh racun lidah ini?
ADVERTISEMENT
Hal tersebut tidak bisa dianggap remeh karena dampaknya sangat serius, bagi seseorang ataupun masyarakat terhadap masa depan bangsa. Bahasa kasar atau sering disebut abusive language saat ini telah berkembang menjadi budaya popular di kalangan anak muda. Bahasa tersebut bersifat mengejek, mengupat, dan mencemooh dengan kata-kata yang tidak pantas, seperti anjay, anjir, asu, nama hewan, hingga organ vital manusia yang dilontarkan tanpa rasa malu. Fenomena tersebut dapat ditemukan hampir dimana saja, seperti percakapan sehari-hari, kolom komentar di media sosial, hinga konten digital yang dikonsumsi jutaan orang setiap harinya. Menurut Rienneke dan Setianingrum (2018) menyatakan remaja dipandang sebagai kelompok yang rentan terhadap berbagai masalah. Pengucapan bahasa kasar yang mereka anggap sebagai kebebasan berekspresi justru memperkuat normalisasi penggunaan kata-kata yang merendahkan ataupun melukai orang lain. Pada akhirnya, bahasa kasar tersebut merusak makna komunikasi itu sediri yang seharusnya menjadi jembatan penghubung antarmanusia.
Dokumentasi Asli Mufti Fadhlin Aulia
Perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi tumbuh beriringan dengan perbuatan hukum dari penggunaan media sosial sendiri. Konten yang kontroversial yang mengandung pelanggaran, penghinaan, dan perbuatan yang tidak baik akan membawa dampak bagi pembuat konten dan tidak menutup kemukinan jika ditonton oleh viewers dapat mengundang tindakan serupa. Tidak sedikit content creator yang menjadikan bahasa kasar sebagai ciri khas mereka dengan alasan untuk menciptakan kesan humor, ciri khas keunika, ataupun keberanian untuk berbicara tanpa sensor. Sebagian besar pengguna media sosial, yaitu generasi muda. Media sosial sendiri dapat memberi pengaruh pada perkembangan Bahasa Indonesia karena penggunaannya yang tidak terbatas pada usia, ruang, dan waktu. Beragamnya bahasa gaul telah menjadi bukti bahwa adanya pengaruh media sosial terhadap perubahan pada Bahasa Indonesia yang sudah dimodifikasi. Tentu hal tersebut akan merusak status bahasa Indonesia sebagai bahasa formal yang harus dijunjung dalam kehidupan sehari-hari, seperti yang terdapat dalam sumpah pemuda pada bagian ketiga “Kami Putra dan Putri Indonesia menjujung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
ADVERTISEMENT
Masalah tersebut semakin miris dan perlu menjadi fokus perhatian untuk diatasi karena banyak anak muda yang tidak menyadari efek jangka panjang dari kebiasaan berbahasa kasar. Mereka sering kali menggunakan bahasa tersebut tanpa berfikir panjang, baik situasi bercanda ataupun mengungkapkan emosi. Bahasa tersebut dapat memberi pengaruh pada pola pikir, hubungan sosial, ataupun citra diri seseorang. Seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan dimana bahasa kasar dianggap wajar, cenderung kehilangan kepekaan terhadap nilai kesopanan dan rasa empati. Selain itu, mereka mungkin tidak mampu membedakan antara komunikasi yang sehat dan kekerasan verbal sehingga menciptakan lingkaran setan yang terus menurunkan kualitas interaksi sosial.
Dalam hitungan detik, satu kata kasar yang viral dapat menyebar ke jutaan orang dapat memperkuat persepsi bahwa bahasa semacam itu keren atau relatable. Anak muda yang mengucapkan bahasa tersebut merasa wajar dan dianggap lumrah dalam kehidupan sehari-hari karena mengikuti arus perkembangan zaman. Ketika tidak mengikuti suatu tren tersebut, mereka mungkin akan dianggap oleh kelompok pertemanan sebagai individu yang tidak keren, cupu, dan ketinggalan zaman. Ucapan bahasa yang mengandung unsur penghinaan tidaklah mencerminkan nilai moral yang baik, padahal ada beragam kata yang sopan dalam bahasa Indonesia untuk menunjukkan rasa kagum dan akrab tanpa harus menggunakan bahasa yang dinilai tidak baik oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam menjunjung tinggi bahasa Indonesia, hal tersebut menjadi lebih menyedihkan. Bahasa Indonesia merupakan salah satu simbol identitas bangsa yang memiliki kosakakata dan makna yang luar biasa. Bahasa tidak hanya menghubungkan berbagai suku dan budaya, tetapi juga membawa nilai-nilai luhur seperti sopan santun, penghormatan, dan rasa kebersamaan. Namun, bahasa kasar mulai mendominasi komunikasi sehari-hari, nilai-nilai tersebut perlahan terkikis. Secara linguistik, hal tersebut menunjukkan adanya pergeseran fungsi bahasa dari alat komunikasi menjadi sarana ekspresi emosional yang tidak terkontrol. Alih-alih bahasa Indonesia justru digunakan untuk mempertegas perbedaan, menciptakan konflik, hingga melukai antarindividu. Fenomena tersebut bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi landasan hidup bangsa Indonesia.
Dokumentasi Asli Mufti Fadhlin Aulia
Sebagai bangsa yang memiliki budaya yang kaya dan beragam, kita bertanggung jawab untuk menjaga keindahan bahasa kita. Perubahan kebiasaan ini tentu tidak bisa dilakukan dalam semalam, tetpi upaya yang dilakukan berabagai pihak termasuk diri kita sendiri sebagai langkah awal. Instansi pendidikan memiliki peranan pentik dalam mengajarkan nilai-nilai untuk bertutur kata yangt positif. Mata pelajaran bahasa Indonesiua tidak hanya berfokus pada tata bahasa dan sastra, tetapi juga pada etika berbahasa. Selain itu, orang tua sebagai pendidik pertama bagi anak-anak harus memberikan teladan yang baik dalam berbicara. Media juga harus menyaring tayangan konten dalam penggunaan bahasa kasar dan lebih banyak mendukung mempromosikan edukasi tentang komunikasi yang sopan dan santun. Bahasa bukan hanya alat untuk menyampaikan informasi, tetapi juga refleksi dari siapa kita sebagai individu dan bangsa. kita tidak hanya menjaga hubungan kita dengan orang lain jika memilih kata-kata yang baik, tetapi juga memperkuat identitas dan nilai-nilai budaya kita.
ADVERTISEMENT
Setiap tutur bahasa yang kita ucapkan adalah cerminan hati dan pikiran. Jadikanlah kata-kata sebagai penghubung kebaikan, bukan pemecah persaudaraan.