Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ahli Tidak Dapat Dituntut Secara Pidana Atau Perdata
11 November 2022 13:19 WIB
Tulisan dari Dr Muh Ibnu Fajar Rahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini, masih banyak ahli yang telah memberikan keterangan di persidangan mengalami tuntutan hukum, baik itu pidana maupun perdata atas keterangan yang telah diberikannya dalam proses peradilan. Beberapa diantaranya, yakni Prof. Dr. Ir. Basuki Wasis, M. Si., (Dosen pada Institut Pertanian Bogor), Prof. Dr. Bambang Hero Saharjo, M.Agr. (Dosen pada Institut Pertanian Bogor), dan Dr. Eva Achjani Zulva, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia). Masing-masing ahli tersebut telah memberikan keterangan ahli dalam perkara pidana namun digugat perdata oleh terdakwa. Bagaimanakah hukum di Indonesia Memberikan perlindungan hukum terhadap ahli? Mari kita bahas!!!
Salah satu alat bukti yang diatur dalam berbagai jenis alat bukti yang dapat dipergunakan dalam proses pembuktian di persidangan adalah keterangan ahli. Keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti dalam hukum acara pidana, hukum acara perdata, hukum acara tata usaha negara, dan hukum acara mahkamah konstitusi. Dalam hukum acara pidana, keterangan ahli diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf b jo. Pasal 1 angka 28 KUHAP yang menyatakan bahwa "keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan". Dari pengertian keterangan ahli tersebut dapat ditarik beberapa hal, yakni 1) Kualifikasi seseorang dikatakan ahli ialah berdasarkan pengetahuan dan/atau pengalamannya dimana pengetahuan berdasarkan jenjang pendidikan yang diperoleh pada pendidikan formil, sedangkan pengalaman berdasarkan riwayat pekerjaan atau apa yang pernah ahli alami; dan 2) Keahlian khusus bermakna bahwa ahli memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman terhadap suatu hal yang diperkarakan atau disengketakan.
ADVERTISEMENT
Keterangan ahli sebagai bagian dari alat bukti memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pembuktian perkara karena mampu membuat terang suatu peristiwa hukum yang sedang dituntut, baik secara pidana, perdata, tata usaha negara, maupun di Mahkamah Konstitusi. Dalam perkara pidana, keterangan ahli memiliki kedudukan yang sama dengan alat bukti lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP. Keterangan ahli merupakan alat bukti yang berdiri sendiri yang apabila ditambahkan satu alat bukti sah lainnya telah memenuhi bewijs minimum atau minimum pembuktian sehingga dapat meyakinkan hakim bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana.
Disamping itu, memenuhi panggilan sebagai ahli merupakan suatu kewajiban sebagai warga negara yang baik yang apabila tidak dipenuhi dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 KUHP. Dengan berbagai peran penting dan sanksi yang melekat pada ahli tersebut seharusnya berbanding lurus terhadap perlindungan hukum kepada ahli agar tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun perdata atas keterangan yang diberikannya dalam proses peradilan.
Sayangnya, perlindungan hukum tersebut hanya diberikan kepada saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor. Dalam Pasal 10 ayat (1) UU PSK menyatakan “Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik”. Dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU PSK menjelaskan “Yang dimaksud dengan "memberikan kesaksian tidak dengan iktikad baik" antara lain memberikan keterangan palsu, sumpah palsu, dan permufakatan jahat”.
ADVERTISEMENT
Norma Pasal 10 ayat (1) dan penjelasannya UU PSK tersebut merupakan norma yang tidak pasti, tidak adil dan diskriminatif. Pertama, norma yang tidak pasti karena terjadi contradiction in terminis, yakni di satu sisi dalam Pasal 5 ayat (3) UU PSK memberikan perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan keterangan yang akan, sedang, atau telah diberikannya ahli, namun disisi lainnya dalam Pasal 10 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU PSK perlindungan hukum untuk tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata hanya diberikan kepada saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor. Kedua, tidak adil karena Pasal 10 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU PSK hanya memberikan perlindungan hukum kepada saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya namun tidak memberikan perlindungan hukum yang sama kepada ahli yang juga memberikan keterangan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan persidangan. Ketiga, diskriminatif, yakni Pasal 10 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU PSK seolah-olah membedakan perlindungan hukum terhadap saksi, korban, saksi pelaku, dan pelapor dengan ahli padahal dalam beberapa ketentuan, seperti Pasal 5 ayat (3) UU PSK dan Pasal 179 ayat (2) KUHAP pada pokoknya memberikan pengaturan dan perlindungan hukum yang sama antara saksi dan ahli.
Menjadi ahli atau memberikan keterangan ahli merupakan kewajiban hukum yang dilakukan oleh seorang warga negara untuk berpartisipasi dalam proses peradilan guna membantu penegak hukum dan para pencari keadilan dalam menemukan kebenaran materiil. Oleh karena itu, hak untuk tidak dapat dituntut secara hukum baik secara pidana maupun perdata merupakan hak fundamental bagi seorang ahli yang sama dengan profesi lainnya seperti pemberi bantuan hukum maupun advokat.
ADVERTISEMENT
Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang menyebutkan “Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan itikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat”. Begitupun dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 26/PUU-XI/2013 yang menyebutkan “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan”.
Berdasarkan kedua pasal tersebut, baik ahli, advokat maupun pemberi bantuan hukum termasuk saksi merupakan seseorang yang memberikan jasanya untuk kepentingan peradilan. Sehingga tidak adil bagi ahli apabila tidak diberikan perlindungan hukum yang serupa. Hak untuk tidak dituntut secara hukum baik pidana atau perdata merupakan hak fundamental bagi seorang ahli yang telah memberikan keterangan dalam proses peradilan dengan itikad baik dan menjadi penting agar ahli dapat memberikan keterangan dengan bebas dan merdeka. Perlindungan hukum terhadap ahli merupakan bentuk peradilan yang sehat.
ADVERTISEMENT
Dr. Muh. Ibnu Fajar Rahim, S.H., M.H., (Jaksa pada Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri Kejaksaan Agung RI/ Dosen President University)