Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Urgensi Pengetahuan Legislative Drafting dalam Penerapan Hukum
26 Mei 2024 8:55 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Dr Muh Ibnu Fajar Rahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pengetahuan tentang teknik penyusunan peraturan perundang-undangan (TP3) beririsan dengan metode intepretasi teleologis, yakni mengetahui makna dari suatu norma berdasarkan maksud dan tujuan pembuat undang-undang. Melalui pengetahuan terhadap TP3, masyarakat, khususnya aparat penegak hukum dapat mengetahui sebab-musabab suatu norma diatur maupun maksud dari sistematika dan penyusunan norma maupun bagian-bagiannya, sehingga norma tersebut dapat diimplementasi secara tepat sasaran, yakni sesuai maksud dan tujuan pembuat undang-undang.
ADVERTISEMENT
Secara etimologis, TP3 merupakan suatu metode/cara berdasarkan keahlian khusus untuk menata peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang bersifat mengikat umum sehingga tersusun sistematis dan koheren sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. TP3 diperlukan untuk keseragaman dalam hal bentuk atau format peraturan perundang-undangan baik di peraturan perundang-undangan di tingkat pusat maupun daerah. Melalui TP3 diharapkan peraturan yang dibentuk tidak menimbulkan multiinterpretasi (tegas dan lugas), konsisten (istilah/perumusan/pengaturan), sistematis, prediktif/dapat dilaksanakan, serta mudah dimengerti/dipahami (bahasa).
Pengetahuan TP3 merupakan pengetahuan yang sifatnya komplementer untuk diketahui aparat penegak hukum sehingga tidak keliru dalam menerapkan ketentuan hukum pidana, baik hukum pidana materil maupun hukum pidana formil. Pada kesempatan kali ini, penulis akan mencontohkan manfaat mengetahui TP3 berkenaan dengan penggunaan frasa dalam defenisi dan frasa “antara lain”.
ADVERTISEMENT
Pertama, frasa dalam defenisi. Dalam angka 108 Lampiran II Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa “Penulisan huruf awal tiap kata atau istilah yang sudah didefinisikan atau diberi batasan pengertian dalam ketentuan umum ditulis dengan huruf kapital baik digunakan dalam norma yang diatur, penjelasan maupun dalam lampiran”. Misalnya, ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Dalam Pasal 1 angka 21 UU ITE menyatakan “Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum”. Dalam Pasal 27A UU ITE menyatakan “Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik”.
ADVERTISEMENT
Memperhatikan ketentuan Pasal 1 angka 21 jo. Pasal 27A UU ITE maka terdapat 2 (dua) penggunaan kata yang berbeda, yakni kata “Orang” dengan huruf kapital dan kata “orang” tanpa huruf kapital. Kata “Orang” dengan huruf kapital dalam Pasal 27A UU ITE harus dimaknai sesuai definisi “Orang” dalam Pasal 1 angka 21 UU ITE sedangkan kata “orang” tanpa huruf kapital dalam Pasal 27A UU ITE tidak berhubungan dengan defenisi “Orang” dalam Pasal 1 angka 21 UU ITE.
Kata “orang” tanpa huruf kapital dalam Pasal 27A UU ITE bermakna manusia, baik itu warga negara Indonesia maupun warga negara asing, namun tidak termasuk badan hukum. Sehingga, apabila terdapat badan hukum yang diserang kehormatan atau nama baiknya maka tidak dapat diterapkan ketentuan pidana dalam Pasal 27A UU ITE.
ADVERTISEMENT
Kedua, masih terkait frasa dalam definisi. Dalam mencari definisi ketika hendak menerapkan ketentuan pidana, terkadang kita hadapkan dengan ragamnya definisi untuk 1 (satu) konsep atau kata. Misalnya, kata "x" dapat ditemukan definisi yang berbeda pada beberapa undang-undang. Sehingga terdapat kebingungan, manakah yang tepat untuk digunakan. Untuk memahami tersebut maka perlu mengetahui bahwa dalam setiap peraturan perundang-undangan terdapat Pasal 1 yang pasti mengatur mengenai definisi.
Dalam Pasal 1 tersebut sering menyebutkan "Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan". Ketentuan tersebut dapat dimaknai bahwa berbagai definisi yang diatur dalam Pasal 1 hanya berlaku pada undang-undang itu dan dapat berbeda dengan undang-undang lainnya.
Ketiga, antara lain. Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) seringkali menggunakan frasa “antara lain”. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), frasa “antara lain” tersebut bermakna misalnya atau contohnya. Hal ini berarti bahwa frasa “antara lain” merupakan ketentuan yang fleksibel yang membuka alternatif lain selain apa yang telah dituliskan. Misalnya, dalam Pasal 81 ayat (1) KUHP Nasional menjelaskan bahwa “pidana denda wajib dibayar dalam jangka waktu tertentu yang dimuat dalam putusan pengadilan”.
ADVERTISEMENT
Dalam Penjelasan Pasal 81 ayat (1) KUHP Nasional menjelaskan bahwa “Putusan pengadilan dalam ketentuan ini memuat antara lain: a) waktu pelaksanaan pidana denda; b) cara pelaksanaan pidana denda; c) penyitaan dan lelang; dan d) pidana pengganti denda.” Makna frasa “antara lain” dapat dimaknai bahwa putusan pengadilan tersebut dapat memuat hal lain selain apa yang disebutkan dalam huruf a), b), c) dan d). Sehingga tidak bersifat limitatif. Berbeda halnya apabila menggunakan frasa “meliputi” atau “sebagai berikut”. Oleh karena menggunakan frasa “antara lain” maka penuntut umum dapat menuntut maupun hakim dalam memutus hal lain di luar apa yang dituliskan.
Untuk mengetahui TP3 yang digunakan oleh pembentuk undang-undang dalam merumuskan suatu norma, selain membaca Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dapat diketahui melalui risalah pembentukan undang-undang yang dapat didapatkan melalui panel https://ppid.dpr.go.id/ yang disediakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana postulat primo executienda est verbis vis, ne sermonis vitio obstruatur oratio, sive lex sine argumentis, yang berarti perkataanlah adalah hal yang pertama diperiksa untuk mencegah adanya kesalahan pengertian atau kekeliruan dalam menemukan hukum, maka menerapkan hukum yang sesuai dengan maksud dan tujuan dari pembentuk undang-undang merupakan sarana untuk menghindarkan hukuman bagi orang yang seharusnya tidak dapat dihukum.