Konten dari Pengguna

Reinterpretasi Pasifisme Jepang

Muh Rasikh Undipa Akbar
Mahasiswa S1 Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL Universitas Gadjah Mada
21 Januari 2024 13:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Rasikh Undipa Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana malam hari di sudut kota Osaka, Jepang. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Suasana malam hari di sudut kota Osaka, Jepang. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Pasifisme merupakan suatu paham yang diartikan sebagai sebuah keyakinan, perlawanan, dan atau penentangan terhadap perang, militerisme, atau kekerasan sehingga para pasifis akan menolak terlibat dalam segala bentuk perang ataupun kekerasan.
ADVERTISEMENT
Secara lebih spesifik dalam konteks negara, pasifisme dipahami sebagai penyangkalan peran signifikan bagi militer dan penggunaan kekuatan sebagai sarana untuk mengejar kepentingan nasional suatu negara.

Sejarah Pasifisme di Jepang

Pasifisme di Jepang lahir sebagai konsekuensi atas kekalahan Jepang pada Perang Dunia (PD) II. Kekalahan Jepang dalam PD II pada Agustus 1945 membuat Jepang terpaksa harus tunduk pada deklarasi Postdam yang dikeluarkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Perdana Menteri Britania Raya, dan Presiden Tiongkok.
Deklarasi ini juga menjadi penanda dimulainya okupasi AS atas Jepang. Okupasi AS atas Jepang ini membawa perubahan yang beraneka ragam dalam tatanan dalam negeri Jepang sebagai sebuah negara.
Perubahan tersebut terjadi pada beberapa hal yang salah satunya dapat dilihat dari Konstitusi Jepang 1946. Konstitusi Jepang menjadi sebuah prakondisi dasar Hak Asasi Manusia (HAM) dihargai dengan di saat yang sama mempertahankan kedaulatan negara.
ADVERTISEMENT
Hadirnya konstitusi ini tidak lepas dari dua tujuan utama pendudukan AS di Jepang, yakni pertama, memastikan bahwa Jepang tidak lagi menjadi ancaman bagi AS ataupun bagi perdamaian dan keamanan dunia, dan, kedua, mewujudkan pemerintahan yang damai dan bertanggung jawab yang akan menghormati hak-hak negara lain. Klausa perdamaian inilah yang menjadi konten pasifisme yang dapat dilihat pada Pembukaan dan Artikel 9 dari Konstitusi Jepang 1946.
Melalui titik inilah, Jepang kemudian memulai proses pelucutan senjata, demiliterisasi, demobilisasi, dan demokratisasi yang diawasi pelaksanaannya oleh Jenderal Douglas MacArthur, Panglima Tertinggi Sekutu saat itu.
Konstitusi yang terbentuk sebagai salah satu konsekuensi kekalahan Jepang di PD II tersebut telah membuat Jepang berubah dari negara yang agresif dan bersifat militeristik menjadi negara yang demokratis dan pasifis. Demokratisasi dan pasifisasi yang terjadi adalah salah satu bentuk upaya AS untuk menghilangkan potensi ancaman dari Jepang.
ADVERTISEMENT
Selain itu, langkah AS tersebut sekaligus dapat disebut sebagai penerapan teori powerplay supaya dapat menjadikan Jepang sebagai sekutu yang kuat dan strategis di kawasan Asia Timur. AS bahkan menyokong pembangunan Jepang pasca PD II dengan cukup intensif.
Beberapa bentuk sokongan tersebut adalah jaminan keamanan, jaminan stabilitas dalam negeri, kesempatan berdagang dengan AS dalam bingkai bantuan pembangunan, dan re-industrialisasi dengan produksi alutsista untuk menyokong AS di Perang Korea.

Pasifisme Jepang Hari Ini

Pasifisme Jepang telah mengalami pergeseran makna hari ini. Pasifisme yang sebelumnya dipahami sebagai kebijakan pertahanan keamanan yang bersifat pasifis bergeser ke arah yang lebih bersifat proaktif.
Pergeseran makna ini dipelopori oleh Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe pada 2006. Disebutkan oleh Abe bahwa yang dimaksud dengan pasifisme proaktif adalah penguatan kemampuan militer Jepang yang nantinya akan dapat membantu memastikan perdamaian dengan membuat Jepang semakin mempertahankan dirinya sekaligus berkontribusi pada stabilitas regional.
ADVERTISEMENT
Kemunculan ide reinterpretasi paham pasifisme ini sedikit banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal seperti perkembangan dinamika kawasan Indo-Pasifik. Fenomena kemajuan kekuatan militer Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang pesat dan proliferasi nuklir Korut yang belum menunjukan tanda-tanda akan berakhir merupakan salah dua pendorong Abe mempelopori reinterpretasi pasifisme Jepang.
Melalui reinterpretasi pasifisme ini, Jepang mulai meningkatkan kekuatan dan keterlibatan militernya di dunia internasional. Pemerintah Jepang melalui publikasi pertahanan resmi mereka mengungkapkan adanya peningkatan pada anggaran militer mereka. Anggara militer Jepang untuk tahun 2021 telah meningkat sebanyak 54,7 miliar yen atau sebanyak 1,1% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 5,1235 triliun yen.
Selain itu, keberhasilan Jepang membentuk koalisi “Security Diamond” dengan sistem quadrilateral antara Jepang, India, Australia, dan AS yang menjadi koalisi dengan pengaruh yang cukup besar di kawasan juga tidak lepas dari reinterpretasi pasifisme ini.
ADVERTISEMENT
Sebagai satu kebijakan yang lahir sebagai respons atas dinamika yang terjadi di kawasan, menarik untuk kemudian memperhatikan bagaimana reinterpretasi pasifisme Jepang ini berpengaruh pada stabilitas kawasan ke depannya.