Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Menelisik Sisi Hukum Pencabutan Izin Holywings
4 Juli 2022 15:22 WIB
Tulisan dari Muhamad Raziv Barokah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, mengambil langkah progresif dalam menyikapi aksi nyeleneh Holywings yang mempromosikan miras gratis untuk orang-orang bernama Muhammad dan Maria. Keputusan Anies cukup mengakomodir aspirasi masyarakat yang menginginkan keadilan dalam penjatuhan sanksi, sehingga tidak hanya mengorbankan pegawai di tingkat bawah. Iklan kontroversial tersebut langsung diganjar dengan pencabutan izin gerai Holywings di seluruh Jakarta. Sebuah sanksi yang langsung menusuk jantung perusahaan.
ADVERTISEMENT
Meskipun menuai pro dan kontra, langkah progresif ini patut diapresiasi mengingat selama ini mayoritas penanganan kasus yang melibatkan perusahaan hanya mampu menyentuh individu baik karyawan atau pun direksi, sementara korporasinya sendiri bebas dari jerat hukum yang menimbulkan efek jera secara efektif. Hal semacam ini sering terjadi dalam kasus korupsi, pencemaran lingkungan, penipuan, dan berbagai kasus lainnya. Kali ini, Anies Baswedan mampu mengirimkan pesan kepada publik bahwa korporasi dapat ditarik sebagai entitas yang bertanggung jawab dan diberikan sanksi atas segala tindakannya, bukan hanya pekerjanya.
Namun, selain patut diapresiasi, terdapat beberapa catatan atas langkah Anies, khususnya mengenai pergeseran alasan utama pencabutan dari promosi miras berbau suku, ras, dan agama (SARA), menjadi hanya sekedar alasan teknis ketidakterpenuhan aspek administrasi semata. Hal itu mengacu kepada informasi yang disampaikan Riza Patria (Wakil Gubernur DKI Jakarta), bahwa promosi miras kontroversial bukan alasan utama pencabutan izin dan penutupan gerai, melainkan hanya menjadi pintu masuk untuk melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap legalitas Holywings. Alhasil ditemukan beberapa ketidakpatuhan terhadap perizinan, seperti tidak sesuai dengan standar klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) dan sertifikat standar lainnya. Karena alasan tersebut, izin Holywings dicabut. Dengan demikian, artikel ini secara kritis mencoba untuk menelisik sisi hukum pencabutan izin Holywings. Lebih lanjut, artikel ini juga akan menyajikan dua catatan perihal konsekuensi yang ditimbulkan dari pergeseran alasan pencabutan izin tersebut.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi Hukum Administrasi Negara
Pertama, pergeseran alasan penjatuhan sanksi dari promosi miras berbau SARA menjadi hanya sekedar alasan teknis administratif memiliki konsekuensi hukum tersendiri. Jika yang menjadi masalah hanya persoalan teknis administratif seperti kesalahan KBLI dan belum terpenuhinya sertifikat standar, maka perizinan Holywings tidak dapat serta-merta langsung dicabut. Perlu dilakukan teguran-teguran terlebih dahulu sebelum dilakukan penghentian sementara kegiatan dan pencabutan izin. Bahkan jika dalam waktu yang ditentukan Holywings memperbaiki kesalahan KBLI dan memenuhi sertifikasi standar, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menjadi kehilangan hak untuk mencabut perizinan. Hal itu sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 18 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Pariwisata (Pergub No. 18 Tahun 2018). Bab IX peraturan tersebut telah mengatur secara jelas jenjang pemberian sanksi yang hanya dapat dilakukan secara bertahap mulai dari tiga kali teguran, penghentian sementara, dan pencabutan perizinan.
ADVERTISEMENT
Ketentuan di atas membuat Pemprov DKI Jakarta tidak dapat mencabut perizinan Holywings hanya karena alasan teknis administratif. Oleh karenanya, promosi miras berbau SARA harus tetap muncul sebagai alasan utama. Mengapa demikian? Karena Pemprov DKI Jakarta harus menemukan dasar hukum lain sebagai tambahan legalitas pencabutan, yakni menggunakan konsep diskresi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU No. 30 Tahun 2014).
Diskresi adalah konsep yang memberikan hak kepada pemerintah untuk melakukan tindakan khusus guna menghadapi persoalan konkret di masyarakat. Konsep ini hanya dapat digunakan apabila regulasi yang ada tidak mengatur secara jelas, tidak lengkap, memberikan pilihan, atau menciptakan stagnasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pergub No. 18 tahun 2018 tidak mengatur mekanisme sanksi administratif untuk perusahaan yang melakukan penodaan agama sehingga memancing gejolak nyata di masyarakat. Oleh karenanya, Pemprov DKI Jakarta dapat menentukan sanksi khusus guna menjawab persoalan konkret tersebut, yakni dengan mencabut perizinan Holywings.
ADVERTISEMENT
Penting untuk diingatkan kembali, Anies harus sangat hati-hati dalam merumuskan keputusan pencabutan perizinan Holywings dengan menggunakan alasan hukum yang kokoh. Terlebih, salah satu pemilik saham di Holywings adalah pengacara kondang, Hotman Paris Hutapea, yang memiliki segudang pengalaman berperkara di pengadilan tata usaha negara (PTUN). Sedikit saja kesalahan yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta dapat berujung pada gugurnya pencabutan perizinan. Jangan sampai dikemudian hari headline berita nasional dipenuhi dengan judul Anies Kalah Melawan Holywings.
Konsekuensi Praktis-Sosial
Kedua, pergeseran alasan penjatuhan sanksi dari promosi miras berbau SARA menjadi hanya sekedar alasan teknis administratif juga berdampak buruk jika ditinjau dari perspektif praktis-sosial, khususnya dalam konsep Bisnis dan HAM yang diatur dalam United Nations Guiding Principle on Business and Human Rights (UNGPs). Konsep yang disahkan dalam Resolusi Dewan HAM PBB (UNHRC) Nomor 17/4, tanggal 16 Juni 2011 ini mengamanahkan kepada entitas bisnis di seluruh dunia untuk menempatkan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) dalam setiap kegiatan bisnis. Karena faktanya, perusahaan seringkali tampil sebagai aktor pelanggar HAM. Bahkan, data dari Komisi Nasional HAM menyebutkan perusahaan sebagai aktor pelanggar HAM kedua terbanyak di bawah kepolisian sepanjang tiga tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Perusahaan seringkali mengabaikan prinsip-prinsip HAM demi mendulang keuntungan maksimal dari kegiatan usahanya, termasuk dengan apa yang dilakukan oleh Holywings. Aktor besar industri hiburan ini melakukan kapitalisasi sensitivitas SARA sebagai komoditas bisnis guna mengatrol brand dan angka penjualan, tanpa memikirkan dampak buruk yang menjadi residu di masyarakat. Bahkan dalam tataran tertentu dapat menjadi pemicu disintegrasi dan disharmonisasi bangsa.
Penggunaan SARA sebagai komoditas juga kerapkali dilakukan dalam ranah politik menggunakan prinsip triumphalism, yakni doktrin yang menjadikan sebuah agama, budaya, atau sistem sosial tertentu lebih baik dan harus menang atas semua yang lain. Istilah lain dari fenomena tersebut adalah politik identitas. Apa pun itu, penggunaan sensitivitas SARA sebagai sebuah komoditas untuk mendulang keuntungan harus segera dihentikan. Oleh sebab itu, penting bagi Pemprov DKI Jakarta untuk tetap mendudukkan promosi miras kontroversial sebagai alasan utama pencabutan izin Holywings, bukan justru menyembunyikannya dan menggeser isu utama hanya menjadi sekedar alasan teknis administrasi. Hal ini harus dilakukan guna memberikan pelajaran bagi masyarakat umum dan para pelaku usaha lainnya untuk tidak 'bermain api' dengan isu SARA dan tetap menjadikan penghormatan HAM sebagai salah satu aspek penting dalam berbisnis.
ADVERTISEMENT
Simpulan
Berdasarkan catatan-catatan di atas, Pemprov DKI Jakarta sebaiknya tidak menggeser alasan pencabutan izin Holywings. Materi muatan mengenai promosi miras gratis untuk orang-orang bernama Muhammad dan Maria sehingga memancing keributan publik harus muncul sebagai alasan utama dan tertuang dalam surat keputusan pencabutan izin Holywings yang akan diterbitkan. Selain memperkuat alasan pencabutan karena sesuai dengan UU No. 30 Tahun 2014, hal itu juga sangat penting guna menghentikan kapitalisasi sensitivitas SARA sebagai komoditas bisnis. Pada titik tertentu, hal ini akan mencegah disharmonisasi dan disintegrasi, serta merawat kembali toleransi dan tenggang rasa yang semakin memudar diantara anak bangsa.
Muhamad Raziv Barokah – Senior Lawyer Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm
ADVERTISEMENT