Konten dari Pengguna

Menuju Diri yang Fitri

Muhamad Bukhari Muslim
Alumni Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bendahara Umum DPD IMM DKI Jakarta 2024-2026 dan Mahasiswa Pasacasarjana Universitas PTIQ Jakarta dan Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKU-MI)
14 April 2023 12:34 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Bukhari Muslim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Unplash
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Unplash
ADVERTISEMENT
Salah satu harapan terbesar kita ketika telah berpuasa adalah dapat kembali ke fitrah. Makanya pada momen lebaran kita mengenal istilah Idul Fitri yang mengandung hari kembali suci. Artinya seluruh latihan atau mujahadah yang telah kita lakukan selama satu bulan lamanya diharapkan dapat kembali menyucikan diri kita, baik lahir dan batin.
ADVERTISEMENT
Allah dalam surah an-Nahl berfirman:
Dalam Tafsir Al-Azhar-nya Hamka dijelaskan bahwa ayat ini menjadi penegas bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad bukanlah agama yang baru. Ia, sebagaimana diajarkan oleh Ibrahim, merupakan agama yang lurus dan jalan menuju Allah. Jadi, karakter agama yang hanif itu adalah senantiasa menyeru kepada kebaikan, kebenaran dan mendekatkan kita kepada ajaran Allah. (Tafsir Al-Azhar, h. 3985)
Sementara itu, Nurcholish Madjid atau yang akrab Cak Nur, mengulas lebih dalam lagi tentang arti hanif tersebut. Ia menjelaskan bahwa dalam diri manusia terdapat dua potensi. Pertama ialah potensi untuk melanggar perintah dan ajaran Allah. Potensi ini hadir disebabkan oleh karakter dan sifat manusia yang cenderung ingin cepat, serba instan atau yang Cak Nur mengistilahkannya sebagai “orang yang suka potong kompas”.
ADVERTISEMENT
Sedangkan potensi yang kedua ialah potensi untuk berbuat baik dan benar. Hal itu karena pada diri manusia terdapat semacam dorongan halus untuk berbuat baik dan mencintai kebaikan yang sumbernya berasal dari hati nurani. Dorongan yang halus itu, jelas Cak Nur, dalam Al-Qur'an disebut sebagai hanif.
Ilustrasi Mengaji di Masjid Foto: Kementerian Pariwisata
Menurut Cak Nur, hanif ialah kecenderungan yang paling dasar dalam diri manusia yang selalu mengajak dan mendorong manusia untuk berbuat benar dan mencintai kebenaran. Kecenderungan ini telah ada bersama manusia ketika ia diciptakan.
Oleh karenanya dalam satu hadis disebutkan, “Setiap anak manusia yang lahir ke dunia dilahirkan dalam keadaan suci.” Artinya kesucian dan kecenderungan itu merupakan hal yang primordial dalam diri manusia.
Namun, harus diakui, manusia sering kali kalah. Ia cenderung memenangkan potensi yang pertama, yakni potensi untuk berbuat jahat. Al-Qur'an memang telah mewanti-wanti dan menjelaskan mengenai hal ini. Bahwa dalam diri manusia ada sisi fujur dan taqwa. Barang siapa yang cenderung pada karakter fujur-nya, maka ia akan celaka dan binasa. Dan barang siapa yang siapa cenderung pada karakter taqwa-nya, maka ia akan selamat.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain manusia memang makhluk yang lemah. Kelemahannya itu membuat dirinya mudah tergelincir pada perbuatan nista. Karena sifat manusia yang lemah ini, ia diminta untuk senantiasa meminta pertolongan dan perlindungan terhadap Allah. Sebab hanya dengan bantuan Allah lah manusia dapat terhindar dari dorongan berbuat buruk.
Hal ini misalnya berbeda dengan pandangan Ali Syariati. Ia melihat manusia sebagai sosok yang memiliki iradah (kehendak) yang kuat. Manusia bagi Syariati adalah makhluk yang dapat bertindak melawan instingnya sendiri.
Manusia merupakan satu-satunya makhluk yang dapat melawan dirinya sendiri, menentang hakikat dan memberontak terhadap kebutuhan fisik dan spiritualnya. Iradah ini, jika dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, akan dapat mengantarkan manusia untuk abadi bersama Allah.
Ilustrasi beribadah di malam lailatul qadar. Foto: Shutter Stock
Cak Nur juga sudah mengingatkan, bahwa karakter dasar manusia adalah cenderung pada kebaikan. Karena itu, secara tidak langsung, melakukan keburukan merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan fitrah. Makanya dalam bahasa Arab, kebaikan disebut sebagai amar ma’ruf atau yang dalam bahasa Inggris disebut dengan well known, yaitu sesuatu yang selaras dan sejalan dengan sifat alami manusia.
ADVERTISEMENT
Hal ini amat berbeda dengan keburukan. Keburukan dalam bahasa Arab disebut sebagai perbuatan yang munkar, yaitu perbuatan yang sesungguhnya dihindari dan tidak direstui oleh hati nurani manusia. Dalam bahasa lain, perbuatan buruk merupakan sesuatu yang tidak sesuai nature atau sifat alami manusia.
Oleh karenanya Nabi Muhammad dalam satu hadisnya menyampaikan, istafti qalbak. Yakni selalu meminta fatwa, petunjuk dan bimbingan kepada hati nurani. Mengapa hati nurani? Sebab ia merupakan satu-satunya unsur dalam diri manusia yang tidak akan pernah berbohong. Hati nurani selalu dibimbing dan menyuarakan suara Allah.
Jadi, untuk dapat menjadi manusia yang sesuai fitrahnya, manusia harus senantiasa menyandarkan dirinya pada hati nurani. Ia mesti ingat bahwa fitrahnya ialah berbuat baik. Melakukan tindakan buruk sama dengan mengkhianati fitrahnya sebagai manusia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, karena ia adalah makhluk yang lemah, maka meminta pertolongan kepada Allah adalah hal yang niscaya. Sebab dengan pertolongan Allah lah, ia akan mendapat kekuatan untuk terhindar dari dorongan melakukan kejahatan dan keburukan.
Manusia harus betul-betul mengingat, bahwa awal kehancuran hidupnya adalah ketika ia justru jatuh pada lembah kehinaan dengan tidak menuruti hati nurani dan mengikuti ajaran Allah. Ini sudah menjadi hukum alam yang abadi dan tertuang dalam berbagai macam kisah atau sejarah manusia.