Konten dari Pengguna

Nyoblos itu Hak, Tapi Kok Rasanya Cuma Gitu-gitu Aja!

Muhammad Abdul Aziz
Pengamat Politik di Negeri Wanokuni
27 November 2024 9:53 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Abdul Aziz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Arnaud Jaegers on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Arnaud Jaegers on Unsplash
ADVERTISEMENT
Pernah ngga sih, kamu ngerasa jadi warga negara yang baik itu kayak invest di saham gocap? Itu lho saham yang hidup enggan mati tak mau. Ya, hampir sama situasinya dengan warga negara Indonesia yang setiap pemilu selalu nyoblos dengan penuh harap, ngarep ada perubahan, ngarep kehidupannya lebih baik, ngarep pinjolnya langsung lunas, eh ujung-ujungnya malah ngerasa, “Kok ya gini-gini aja, ya?”
ADVERTISEMENT
Setiap Pemilu, semangat kita dibakar kaya gorengan di angkringannya Pak Panut dulu. Ada yang bikin kampanye akbar di alun-alun, ada yang bikin baliho isinya janji-janji manis kayak drama Korea—indah, tapi kok ya susah jadi nyata. Kita yang lihat cuma bisa mikir, “Ini calon serius nggak si? Apalagi pas lihat debat calon kepala daerah akhir-akhir ini, bikin geleng-geleng kepala doang isinya.
Tapi, ya udahlah, namanya juga pesta demokrasi. Kita hadir, nyoblos, foto jari ungu, terus update status dengan caption optimis: “Suara kita menentukan masa depan bangsa.” Tapi setelah nyoblos apa yang berubah selain jari kita yang ungu? Lima tahun berikutnya, calon yang kita pilih malah hilang kayak gebetan habis di-confess-in. Ya kalau hilang aja sih nggak apa-apa, masalahnya, kadang malah nongol di berita korupsi. Kzl.
ADVERTISEMENT
Kalau kita bicara tentang hak memilih atau nyoblos itu tadi, katanya “Suara rakyat adalah suara Tuhan” bahasa kerennya “Vox Populi, Vox Dei.” Tapi, realitanya kok suara rakyat seringkali cuma kayak daun kemangi dilalapan pecel lele, ada tapi lebih sering diabaikan.
Setiap Pemilu, hak memilih digembar-gemborkan kayak media beritain kekalahan emyu. Padahal, kalau dipikir-pikir, kita ini kayak Darwin Nunez di Liverpool. Disuruh masuk lapangan sekali-kali buat ambil keputusan besar, terus sisanya disuruh duduk manis sambil nonton dari bench. Keren, kan?
Hak memilih memang penting, karena itu simbol demokrasi. Tapi kalau setelah nyoblos hidup kita masih begini-begini aja, jadi wajar kalau pertanyaan muncul: “Hak kita itu benar-benar didengar atau cuma biar dibilang partisipasi doang?” Analoginya begini: nyoblos itu kayak pesan menu di warung. Kita pilih paket ayam bakar lengkap, tapi yang datang malah nasi putih sama tempe goreng. Lapor ke yang jual? Yang jual cuma bilang, “Ini udah cukup bagus, kalau mau ayam silahkan ditunggu lima tahun lagi!” Di sinilah kita mulai mikir, sebenarnya yang salah itu sistemnya atau ekspetasi kita yang ketinggian?
Photo by Manny Becerra on Unsplash
Masalah lain saat Pemilu itu pilihannya gitu-gitu aja. Kalau Pemilu itu ajang nyari jodoh, kita pasti udah hopeless duluan. Bayangin kandidatnya itu-itu aja, dan kita cuma dikasih pilihan antara “yang nggak ideal” atau “yang ya begitulah.” Semacam harus milih antara makan tahu gosong atau tempe gosong. Sama-sama ngga enak, tapi ya udah lah, ambil aja salah satu. Selain itu, kamu ngerasa nggak kalau kandidat-kandidat yang muncul itu kayak template? Dari janji-janji mereka, semuanya mirip: “Akan menyejahterakan rakyat,” “Fokus pada pendidikan,” “Meningkatkan ekonomi.” Tapi di akhir-akhir kampanye, semua berubah jadi perang baliho, bagi-bagi kaos, sama bagi-bagi bansos.
ADVERTISEMENT
Dan mari kita jujur, seberapa banyak dari kita yang benar-benar tahu apa yang diperjuangkan kandidat yang kita pilih? Jangan-jangan kita nyoblos cuma karena mukanya mirip artis drama Korea atau kampanyenya kasih nasi kotak lengkap dengan air mineral atau bahkan cuma ikut-ikutan keluarga aja biar ga ribet. Bahkan terkadang ada momen di mana kita nyoblos bukan karena percaya sama si kandidat, tapi karena nggak mau kandidat satunya menang. Terus terang, ini bikin kita mikir. Apa benar sistem demokrasi kita ini memberi pilihan? Atau sebenarnya, kita cuma dipaksa memilih opsi yang nggak benar-benar kita inginkan?
Lucunya lagi, setelah pencoblosan selesai, euforia jari ungu mulai memudar bersamaan dengan memudarnya ingatan kita tentang janji-janji waktu kampanye. Mungkin karena hidup kita udah terlalu sibuk mikirin hal-hal yang lebih mendesak, kayak gimana bayar listrik, cari promo cashback, atau ngelunasin utang ke pinjol. Janji kampanye udah kayak kenangan manis sama mantan, awalnya menggebu-gebu ujung-ujungnya bikin kecewa juga.
ADVERTISEMENT
Pertanyaanya, kenapa kita diem saja? Jawabannya simpel, kita nggak pernah diajari untuk nagih. Kita cuma diajari nyoblos, ngikutin prosedur di TPS, terus disuruh percaya bahwa semua akan baik-baik saja. Padahal, demokrasi itu bukan cuma soal nyoblos lima menit terus selesai. Demokrasi adalah proses panjang di mana rakyat harus terus memantau, mengkritisi, dan kalau perlu turun ke jalan.
Jadi, gimana? Apakah Pemilu cuma formalitas? Atau memang kita yang salah paham sama makna demokrasi? Sebenarnya, masalahnya nggak sepenuhnya di sistemnya, tapi juga di kita yang kadang lupa bahwa demokrasi itu bukan tiket VIP nonton konser, di mana kita cuma duduk manis dan semua urusan beres. Kalau kita mau demokrasi yang beneran “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakya,” ya rakyatnya harus lebih bawel. Mulai cerewet soal kebijakan, tagih janji kampanye, dan kalau perlu kritikel lewat cara yang kreatif. Intinya, jangan hanya jadi penonton, tapi ikut andil dalam permainan.
ADVERTISEMENT
Karena, kalau terus begini, demokrasi kita bakal tetap terasa kayak makan mi instan tanpa bumbu, hambar. Bikin kenyang sementara, tapi nggak benar-benar memuaskan. Kita butuh lebih dari sekadar nyoblos disetiap Pemilu ataupun Pilkada yang sebentar lagi kita lakukan. Kita butuh sistem yang bisa bikin suara kita lebih dari sekadar formalitas. Terakhir, nyoblos itu hak kita. Jangan sampai hak itu cuma jadi hiasan. Kalau kamu mau pesta demokrasi yang beneran, ya jangan lupa kita semua juga harus berkontribusi. Karena kalau cuma diam dan pasrah, jangan menyalahkan kalau pesta ini terus jadi acara makan-makan buat segelintir orang saja.