Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Berbagai Jenis Kewajiban Perpajakan di Dunia Usaha
22 September 2023 21:45 WIB
Tulisan dari M Abdul Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dunia usaha, memang memaksa para pengusahanya untuk berani keluar modal banyak, mendapatkan untung yang tipis, dan harus siap merugi. Di samping itu, harus meluangkan biaya untuk membayar pajak, namun terkadang, karena terlalu nyaman dalam berbisnis, kewajiban untuk membayar pajak terkesan dikesampingkan, dan ujungnya para pengusaha tersebut mengeluhkan biaya pajak yang terlampau tinggi.
ADVERTISEMENT
Sebetulnya, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak, tidak membebankan tarif yang besar kepada para Wajib Pajaknya, justru kebanyakan dari Wajib Pajaknya yang terkadang tidak memahami kalau pemerintah memberikan fasilitas tarif pajak yang murah bagi rakyatnya.
Mari kita bahas.
PP 23 Tahun 2018
Tepat pada tanggal 8 Juni 2018 diterbitkan Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2018 yang merevisi Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2013 yang mengatur tentang pajak penghasilan yang dikenakan kepada para pengusaha UMKM, inti yang paling utama adalah menurunkan tarif pajak penghasilan yang semula 1% menjadi 0,5%. Aturan ini, mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2018.
Tentu, dengan diterbitkannya aturan ini, menjadi kabar bahagia para pengusaha-pengusaha terutama yang bergerak di industri UMKM. Harapannya, tentu dengan diturunkannya tarif pajak bagi para pengusaha UMKM, akan meringankan beban pajak yang harus ditanggung oleh para pengusaha-pengusaha tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun sayangnya, banyak juga pengusaha yang masih belum paham dan mengerti akan adanya fasilitas pajak bersifat final untuk pengusaha UMKM ini (PP 23 Tahun 2018). Entah karena memang kurangnya sosialisasi atau para pengusaha ini sudah enggan atau antipati dulu bila sudah berurusan dengan masalah perpajakan.
Padahal menurut saya, fasilitas ini sangat menguntungkan bagi para pengusaha, sebesar apapun omset per bulannya, selama masih dalam range perolehan omset sebesar 4,8 Miliar dalam setiap tahunnya, pengusaha hanya dibebankan 0,5% di setiap bulannya. Ya, pembaca sekalian tidak salah membaca, hanya dibebakan sebesar 0,5% setiap bulannya. Bagi saya, itu sangat ringan dan lebih dari mampu untuk bisa membayar dan menyetorkan pajak terutangnya kepada negara, dan negara melalui DJP tidak lagi harus mengejar-ngejar Wajib Pajak untuk membayarkan pajak terutangnya.
ADVERTISEMENT
Teknis penyetorannya pun terbilang cukup mudah, hanya cukup mengkumulasi berapa omset yang diterima setiap bulan, lalu dikalikan 0,5%, itulah pajak terutang yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
Namun sayangnya, meskipun tarif pajak ini tergolong relatif ringan dan murah, terdapat pembatasan pemakaian. Berdasarkan pasal 5 ayat 1 huruf a, dijelaskan bahwa batas jangka waktu pengenaan pajak penghasilan yang bersifat final bagi Wajib Pajak yang bersifat Orang Pribadi, hanya dikenakan selama 7 (tujuh) tahun lamanya.
PPh Pasal 17 (Progressif)
Setelah masa berlaku dari penggunaan fasilitas PP 23 Tahun 2018 habis, yaitu sejak 7 (tujuh) tahun pemanfaatan peraturan ini, maka para pengusaha wajib menggunakan tarif progresif atas penerimaan penghasilan yang diterimanya selama satu tahun berjalan.
ADVERTISEMENT
Maksudnya adalah, jadi atas penghasilan yang diterima tersebut, pengusaha wajib melakukan pembukuan untuk mencatatkan berapa sebenarnya omset yang diperolehnya. Setelah itu, atas penerimaan omset, maka wajib dihitung pajaknya melalui tarif berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 17 dengan tarif progressif. Inti dari tarif penghasilan tersebut, semakin besar penerimaan penghasilan yang diperoleh, maka akan semakin besar pula pajak yang harus dibayarkan.
Berbicara masalah tarif, Menteri Keuangan Sri Mulyani resmi menaikkan tarif pajak progressif, menjadi 35%. Sayangnya pemberitaan media, terlalu dibesar-besarkan sehingga menimbulkan informasi yang bias terhadap Wajib Pajak lainnya. Dari hal tersebut, dapat saya jelaskan sebagai berikut.
Kenaikan tersebut mengacu pada PPh Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang di dunia perpajakan dikenal dengan istilah pasal tarif progressif. Nah kenaikan tersebut menambahkan level tarif tertinggi yang semula maksimal di tarif 30% saat ini menjadi 35%. Karena pemerintah mencanangkan Undang-Undang terintegrasi maka atas revisi tersebut tarif pada Undang-Undang sebelumnya menjadi tidak berlaku dan secara aktif Undang-Undang yang baru yaitu Undang-Undang hpp (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) segera berlaku.
ADVERTISEMENT
Mari saya ilustrasikan.
Pada peraturan yang lama, tarif progessif terbagi atas 4 (empat) level tarif, mengacu dari Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 17, yaitu :
Atas revisi Undang-Undang tersebut, tarif progresif terbagi menjadi 5 (lima) level tarif, mengacu dari Undang-Undang HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan), yaitu :
ADVERTISEMENT
Penggunaan Peraturan
Dari dua poin yang telah saya paparkan diatas, maka para pengusaha tentu sudah mulai paham apa perbedaan dari penggunaan tarif tersebut. Tentu bagi pengusaha pemula, yang omsetnya masih berkisar dibawah atau maksimal di angka 4,8 Miliar per tahun, maka penggunaan tarif pajak penghasilan bersifat final UMKM, berhak digunakan sampai dengan batas waktu maksimal, yaitu sampai dengan 7 (tujuh) tahun ke depan.
Namun bagaimana bila sebelum tujuh tahun tersebut, penghasilannya sudah berada diatas 4,8 Miliar ?
Tentu secara syarat pemenuhan legal standing, aturan pajak penghasilan UMKM tersebut telah gugur, dan pengusaha wajib menggunakan tarif yang lain, yaitu tarif progressif yang dihitung berdasarkan akumulasi penghasilan satu tahun dan dilihat berdasarkan tingkat penerimaan penghasilannya, lalu dikalikan dengan tarif yang sesuai dengan levelnya.
ADVERTISEMENT
Jadi yang perlu saya tegaskan kepada seluruh pengusaha, jangan takut kalau berhadapan dengan pajak. Sekali lagi, pajak tidak akan semena-mena menetapkan tarif yang tinggi tanpa mempertimbangkan dan melihat kondisi Wajib Pajaknya. Semua telah diatur sesuai regulasi yang biasa kita sebut sebagai Undang-Undang. Terlebih lagi, saat ini regulasi perpajakan telah diintegrasikan secara paripurna melalui Undang-Undang HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) yang lebih kompleks dan detail mengatur seluruh aturan terkait dengan perpajakan.
Terakhir, pada dasarnya setiap pengusaha memiliki peluang untuk menjadi role model bagi masyarakat lainnya, dalam hal pemenuhan atas kewajiban perpajakan. Suka atau tidak suka kita membayar pajak, harus disadari bahwa, mayoritas atas seluruh pendanaan dan pembagunan infrastruktur dan fasilitas umum, berasal dari pendanaan sektor pajak. Jadi pajak, memiliki peranan penting terhadap peningkatan pembangunan dan pemerataan fasilitas di Indonesia.
ADVERTISEMENT