Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menambal Kepercayaan Publik terhadap Trust Issue di Bidang Perpajakan
8 Oktober 2024 16:34 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari M Abdul Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berdasarkan keterangan pers yang diungkapkan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pada tanggal 22 Februari 2024, menyatakan bahwa penerimaan pajak di awal tahun 2024 menunjukkan tren positif yang telah mencapai Rp. 149,25 Triliun yang equal dengan capaian atas 7,5% target APBN yang telah ditetapkan.
ADVERTISEMENT
Penerimaan negara tersebut mayoritas diperoleh berdasarkan penerimaan PPh Non Migas sebesar Rp. 83,69 Triliun yang equal sebesar 56,1% dari total penerimaan yang selanjutnya di dominasi oleh PPN sebesar Rp. 57,76 Triliun, PBB sebesar Rp. 810 Miliar dan sisanya diperoleh yang bersumber dari penerimaan negara berasal dari PPh Potong Pungut.
Menarik untuk diamati lebih mendalam.
Mari kita membahas sedikit ke tatanan politik negara, Presiden Joko Widodo hanya tinggal menghitung hari untuk “lengser keprabon” dari takhta kepresidenan yang sudah diembannya dari 10 tahun yang lalu, bila terhitung secara matematis Presiden Joko Widodo mulai menjabat sejak tahun 2014. Perjalanan panjang yang menghasilkan berbagai keputusan yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan bagi rakyat. Namun pada akhirnya, jabatan itu pun harus berakhir pula.
ADVERTISEMENT
Bila menganalisa dari beberapa kejadian dan kebijakan strategis yang dibuatnya menjelang akhir periode, Presiden Joko Widodo cukup membuat kebijakan yang lumayan membebani APBN, bila ditilik dari berbagai proyek strategis negara yang belum tentu mampu secara efisien berbuat banyak untuk penerimaan negara dan cenderung spekulatif, tentunya secara tidak langsung akan memaksa pemerintahan yang akan datang menyusun anggaran berdasarkan proyeksi prioritas sesuai dengan janji kampanye, terutama saya betul-betul penasaran bagaimana “Program Makan Siang Gratis” yang digembor-gemborkan pada masa kampanye berjalan.
Apakah pada realisasinya akan menekan angka stunting atau justru kebalikannya, akan membebani neraca anggaran negara yang justru menimbulkan tindakan fraud di dalamnya. Saya sebagai rakyat hanya bisa berpendapat positif dan husnudzon atas semua kebijakan yang akan diambil.
ADVERTISEMENT
Namun, secara tidak langsung, melihat adanya 2 proyek strategis negara di 2 lintas pemimpin Indonesia yaitu proyeksi pembangunan IKN (Ibu Kota Negara) dan program makan siang gratis, saya berpandangan, bahwa pendanaan atas dua program tersebut membutuhkan penerimaan yang tidak sedikit, bukan tidak mungkin akan menimbulkan defisit terhadap penerimaan negara terutama yang bersumber dari sektor pajak.
Adanya keinginan pemerintah membentuk Badan Penerimaan Negara yang dianggap sebagai otoritas dalam menggenjot penerimaan negara, memiliki konsekuensi terhadap realisasi penerimaan yang akan diterima.
Pemerintah yang akan datang, harus mempertimbangkan adanya beban yang harus ditanggung rakyat dalam bentuk penerimaan pajak. Pajak, menjadi momok bagi masyarakat dalam memenuhi target maupun capaian penerimaan negara. Meskipun, pemenuhan terhadap kepatuhan perpajakan merupakan kewajiban masyarakat, namun sayangnya tidak semua rakyat Indonesia memiliki kemampuan finansial yang mumpuni untuk memenuhi tax ratio yang telah ditetapkan oleh negara. Bahkan, bukan tidak mungkin, di dalam pelaksanaannya terjadi tax avoidance maupun tax evasion untuk menghindari kepatuhan perpajakan yang dirasa akan semakin ketat di masa periode pemerintahan selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai profesional di bidang Perpajakan, saya tahu betul bagaimana Wajib Pajak (WP), begitu kesulitan untuk memenuhi tingginya capaian atau target penerimaan pajak melalui proyeksi gali potensi dengan analisa penerbitan SP2DK (Surat Permintaan Penjelasatan atas Data dan/atau Keterangan).
Mayoritas masyarakat atau dalam hal ini adalah WP, umumnya akan memenuhi kewajiban perpajakan, sebab pemenuhan dan kepatuhan perpajakan merupakan kewajiban yang mesti dipenuhi oleh masyarakat, namun dengan catatan, tidak membebani cash flow Wajib Pajak. Pemerintah, harus mulai peka, bagaimana melakukan pendekatan dan penerimaan negara, namun masih mengutamakan asas keadilan dan keberpihakan terhadap rakyat.
Menurunkan Tarif PPh Badan
Sesuai dengan Undang-Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan melalui Undang-Undang asalnya, tarif PPh Badan masih menjadi momok bagi WP. Saat ini, tarif yang dikenakan terhadap PPh Badan adalah sebesar 22% yang semula adalah sebesar 25%.
ADVERTISEMENT
Adanya isu terhadap penurunan PPh Badan menjadi 20%, merupakan ide yang bagus untuk meringankan beban WP terhadap pemenuhan kewajiban Pajak Tahunan Badan Usaha sebesar 20% dari pengenaan PKP (Penghasilan Kena Pajak).
Dengan adanya penurunan tarif tersebut, diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan WP dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, terutama terhadap capaian penerimaan pada PPh Badan di setiap tahunnya. Meskipun secara ratio, tingkat kepatuhan pajak yang memang tinggi namun tidak linear dengan tingkat penerimaan negara atas pajak terutang yang seharusnya disetorkan oleh WP.
Umumnya, WP hanya melaporkan kewajiban SPT Tahunan PPh Badan tanpa melakukan pembayaran, hanya sebatas memenuhi unsur formalitas. Namun dengan adanya penurunan tarif tersebut, muncul harapan dapat meningkatkan ratio pemenuhan penerimaan negara.
ADVERTISEMENT
Memperpanjang Fasilitas Perpajakan Bagi Pelaku UMKM
Fakta yang ada di Indonesia, bahwa UMKM masih menjadi pondasi yang kokoh sebagai penyumbang 61% Pendapatan Domestik Bruto (PDB) di Indonesia, dengan jumlah UMKM di Indonesia yang menyentuh angka lebih dari 65 Juta unit, yang tentunya akan terus bertambah di setiap tahun. Belum lagi, dengan banyaknya usaha rintisan yang berbasis teknologi yang semakin marak menguasai unsur-unsur perekonomian di Indonesia.
Pemerintah yang akan datang, harus lebih peka dalam melakukan pendekatan terhadap para UMKM dengan memberikan perpanjangan fasilitas perpajakan bagi pelaku UMKM. Saat ini tarif yang berlaku untuk pelaku UMKM berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 yang semula Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 adalah sebesar 0,5% dari nilai bruto, dan bahkan di PP Nomor 55 tahun 2022 tidak dikenakan pajak apabila omzet WP tidak mencapai Rp. 500 Juta.
ADVERTISEMENT
Tentu aturan tersebut, membawa angin segar bagi para pelaku UMKM, namun Pemerintah harus dapat memfasilitasi dengan memperpanjang masa manfaat WP diperbolehkan menggunakan aturan tersebut sebagai landasan dan dasar pengenaan pajak atas penghasilan yang mereka terima. Sejauh ini, WP berbentuk Orang Pribadi hanya diperbolehkan menggunakan aturan tersebut selama 7 tahun dan Badan Usaha hanya diperbolehkan selama 3 tahun.
Dengan mempertimbangkan faktor strategi dan meningkatkan capaian penerimaan dan kepatuhan Wajib Pajak, pemerintah dapat memperpanjang masa manfaat tersebut dengan aturan-aturan yang dievaluasi secara mendalam. Sehingga dengan rendahnya tarif tersebut, tentu akan meningkatkan capaian terhadap penerimaan negara.
Pemerintah pula dapat menurunkan batasan omzet yang dikenakan Pajak UMKM dengan harapan meningkatkan penerimaan negara melalui proses ekstensifikasi, dengan harapan masa manfaat diperpanjang namun capaian negara semakin naik sebab terjadi penurunan batas penghasilan minimum yang dapat dikenakan pajak.
ADVERTISEMENT
Mengubah Citra Badan Penerimaan Negara
Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa citra Direktorat Jenderal Pajak di mata masyarakat sempat naik turun bahkan mengalami turbulensi, seperti pada kasus Gayus Tambunan dan yang terbaru adalah Rafael Alun Triasambodo yang sempat membuat geger seluruh Indonesia.
Adanya penurunan kepercayaan publik yang sempat dialami oleh Direktorat Jenderal Pajak menjadi momok tersendiri bagi otoritas pajak dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai pejabat penegak urusan penerimaan negara.
Dengan adanya ide segar dari Presiden Terpilih Prabowo Subianto, hal ini menjadi kesempatan besar untuk mengubah petugas pajak menjadi pejabat yang memiliki integritas dan humanis terhadap Wajib Pajak di Indonesia, tentunya dengan harapan mampu meningkatkan kepercayaan publik yang dampaknya akan selaras dengan penerimaan negara yang dihasilkan.
ADVERTISEMENT
Gebrakan-gebrakan tersebut tentu layak untuk dinanti, terutama dalam mengubah citra petugas pajak yang lebih baik, humanis, dan berintegritas.
Sedikit saran saya untuk pemerintahan yang akan datang, mari menjalankan pemenuhan serta kepatuhan perpajakan, namun tanpa memberatkan kondisi Wajib Pajak, terlebih lagi bagi mereka yang sedang berusaha untuk menjalankan dan mengembangkan bisnis mereka.
Sekian.