Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bahasa dan Dominasi Heteroseksualitas dalam Ruang Sosial
8 November 2023 14:41 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Muhammad Adib Al-Fikri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya hidup di tengah masyarakat yang datang dari berbagai ruang dan status. Mereka dan saya sendiri berbeda pula dalam hal usia, jenis kelamin, ras, dan etnisitas. Tetapi ketika kami berada di satu tempat, kami berbicara dengan satu bahasa yang sama. Walau ada beberapa bahasa dan status yang terkadang bertolak dari kepahaman kita.
ADVERTISEMENT
Bahasa menjadi alat komunikasi yang hidup dalam berbagai waktu dan zaman. Sebagaimana istilah yang hidup dalam kehidupan kita, khususnya pada lingkungan kehidupan saya.
Saya dan secara general anak muda pasti akrab dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan, dalam istilah akademik disebut heteroseksual. Bagaimana istilah gender ini bisa menyebar dalam benak kehidupan anak muda, dan bagaimana heteroseksual bisa menjadi penanda bahwa mereka adalah laki-laki yang "normal" dan seharusnya hidup dalam lingkungan masyarakat?
Tulisan ini akan saya ulik bagaimana kita sebagai anak muda bisa berada dalam kehidupan heteroseksual, tentang bahasa dan wacana yang hidup dalam ruang sosial menjadi aspek penguatan yang terus menerus ada dalam kehidupan masyarakat saya.
Sebelumnya saya kenal dengan istilah 'wakuncar' atau dalam kepanjangannya adalah waktu kunjung pacar merupakan istilah umum yang kebanyakan anak muda akan paham makna dan istilah yang sering disebut wakuncar ini. Wakuncar ini merupakan 'orientasi keintiman' terhadap hubungan khusus kepada laki-laki dan perempuan. Wakuncar merupakan istilah yang diromantisasi kehadirannya agar laki-laki dan perempuan memiliki hubungan khusus agar setiap menjelang hari libur diadakan waktu spesial untuk kedua pasangan ini bertemu.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, saya meyakini bahwa adanya wacana dominan yang dijadikan norma. Wacana normativitas yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat ini menjadikan laki-laki dan perempuan adalah pasangan yang seharusnya ada dan terus menerus menjadi seperti yang ada. Meski dalam konteks wakuncar tidak mengarahkan adanya fokus ke arah mana, saya meyakini bahwa wakuncar adalah konteks adanya pertemuan antara laki-laki dan perempuan.
Dyer (1997) mencoba menganalisis lima karakteristik bagaimana mekanisme heteroseksualitas itu bertahan di tengah masyarakat. Pertama, perbedaan dalam pemilihan pusat objek seksual. Artinya, adanya sesuatu yang dierotisasi, sehingga mendekati kepada objektivikasi seksual.
Kedua, mekanisme diluar dari heteroseksual dikonseptualisasi sebagai hal yang berlawanan. Ketiga, dalam proses sejarah mengenai jenis kelamin, ruang kuasa telah memposisikan laki-laki di ranah dominan dan perempuan di ranah subordinat. Keempat, seksualitas hanya berguna untuk menghasilkan keturunan. Terakhir, praktik seksual adalah suatu bentuk penegasan bahwa identitas seorang dianggap normal.
ADVERTISEMENT
Praktik semacam ini telah turun menurun selama ratusan tahun, dan dianggap menjadi bahasan yang lumrah dan normal dalam masyarakat. Anak muda mengkonsumsi apa yang didapatnya di dalam ruang sosial, dan itu dijadikan sebagai representasi akan identitasnya. Wakuncar adalah wacana yang telah mendaun di tengah masyarakat, dia datang lewat mulut ke mulut. Hal ini menegaskan bahwa heteroseksualitas tidak dibentuk melalui ideologi biologis, takdir, melainkan adanya kultur yang kental dan terus menerus memperkuat eksistensi heteroseksul itu sendiri.
Heteroseksualitas merupakan wacana dominan yang terus hidup di tengah kehidupan saya, dan berangsur akan terus menerus menutup keberadaan gender lainnya. Menurut Foucault (2008), wacana gender seharusnya dibicarakan, bukan untuk dikutuk, melainkan untuk dikelola, disisipkan dalam kegunaan, dan diatur demi kebaikan kepahaman masyarakat.
ADVERTISEMENT
Ruang sosial adalah sekumpulan bahasa dan wacana, ia di normativisasi sehingga penguatan akan suatu kultur yang hidup di dalamnya menjadi pajangan yang melekat di tengah ruang sosial tersebut.