Konten dari Pengguna

Iklan dan Ideologi: Subjektivitas dan Kuasa dalam Iklan Mi Kemasan

Muhammad Adib Al-Fikri
Penulis dan pemerhati budaya-sosial. Mahasiswa Magister Kajian Budaya Universitas Padjadjaran.
7 April 2024 12:05 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Adib Al-Fikri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mi rebus. Foto: Fitri Chairiyah/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mi rebus. Foto: Fitri Chairiyah/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini rasanya Jabodetabek lebih akrab dengan cuaca yang sedikit mendung, bahkan curah hujan selama sebulan terakhir cukup sering dirasa oleh masyarakatnya. Saya lebih sering di rumah, dan sering merasakan kalau akhir-akhir terasa kalau di saat mendung cuaca menjadi dingin, dan ketika panas menjadi lebih panas. Beberapa obrolan terakhir dengan teman-teman dapat saya perhatikan bahwa perdebatan cuaca dingin dan makanan penghangat tubuh menjadi obrolan yang cukup seru. Kendati demikian, apakah memang seharusnya ketika cuaca sejuk akan tepat jika disandingkan dengan makanan atau minuman panas?
ADVERTISEMENT
Hujan membawa perubahan pada tubuh seseorang. Ketika dingin tubuh berupaya untuk menghangatkan diri sesuai dengan suhu tertentu. Begitupun ketika panas, tubuh akan menyelaraskan diri dengan keadaan keadaan tubuh akan tetap hangat. Namun, untuk beberapa orang rasanya seperti kurang nikmat kalau hanya tubuh yang hangat, lidah, dan tenggorokan harusnya membutuhkan hal yang sama. manusia mengembangkan emosi dasar, emosi yang hidup dari kinerja otak terhadap apa yang dirasa tepat untuk cuaca yang tepat. Saya kira usaha ini tidak serta merta datang dari kinerja otak, melainkan dari apa yang diproduksi oleh si individu itu, juga usaha untuk mengonsumsinya.
Tulisan pendek ini akan mencoba menelisik bagaimana iklan justru sangat berpengaruh pada ideologi seseorang, sehingga individu tidak hanya sebatas menangkap apa yang dilihatnya, tetapi sebagai upaya untuk kuasa terhadap kontrol diri dan tentunya pada subjektivitas.
ADVERTISEMENT
Saya mendekatkan diri pada iklan Indomie edisi mi kuahnya. Analisis ini saya lakukan mengingat hasil empiris yang saya lakukan selama dua minggu. Obrolan mereka di saat hujan akrab dengan kopi hitam panas atau Indomie kuah, ini terus digaungkan oleh mereka karena waktu yang tepat. Menurut saya, apa yang diobrolkan saat itu tidak serta merta bagian mengajak individu lain untuk terlibat, melainkan adanya upaya untuk menguasai ruang dan mengubah pikiran seseorang untuk menjadi bagian dari yang mengajak.
Proses ini dilakukan karena ada pengaruh kuasa yang terjadi dalam individu. Dalam buku The Archaeology of Knowledge (1989), Michael Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan justru tidak lagi di dalam kepala lembaga tertinggi, melainkan sudah menjadi dari individu untuk berkehendak akan berkuasa. Hal ini sejalan dengan istilah yang disematkan oleh Friedrich Nietzsche mengenai Will to Power. Foucault melanjutkan, bahwa kekuasaan dibentuk melalui kuasa wacana, yang disebutnya sebagai “Imperialisme Wacana” dan “power-knowledge”. Wacana bekerja melalui tiga cara: they enable, they constrain, the constitute. Lebih lanjut, wacana adalah praktik yang secara sistematis membentuk objek yang dibicarakannya (Foucault, 1989:49).
ADVERTISEMENT
Individu menguasai topik tentang Indomie kuah ketika hujan, dalam arti, individu menguasai bahasa untuk berbicara (they unable), bahasa membatasi upaya individu untuk mengatakan pada batas tertentu (they constrain), dan bahasa tentang Indomie kuah membentuk individu sebagai subjek yang berbicara (they constitute). Karenanya, wacana merupakan realitas yang kompleks yang menuntut kita untuk terlibat dalam berbagai poros level dan metode yang berbeda (Foucault, 1989). Dalam hal ini, seseorang yang melibatkan dirinya dalam pembicaraan Indomie kuah terlibat dalam subjektivitas, karena dia ditempatkan pada subjek, dan dia bertutur dalam bentuk bahasa dan berupaya untuk mempengaruhi yang lainnya melalui bahasa.
Bahasa, dalam hal ini menjadi komunikasi tentang penggambaran Indomie sebagai arena kuasa dan subjektivitas individu. Upaya untuk membentuk wacana adalah upaya untuk membentuk pengetahuan yang terus menerus menjadi alat komodifikasi manusia dalam melihat makna lebih luas dari objek yang dibicarakannya.
ADVERTISEMENT
Saya tidak lupa dengan kehadiran iklan dan televisi, sebagai sarana untuk memunculkan pesan interaktif lebih luas. Pemikir posmodern umumnya melihat bahwa televisi adalah subjek posmodern yang dipahami sebagai pesan budaya yang saling bertentangan (Collins, 1989). Media memproduksi iklan secara visual dan verbal adalah interaksi yang tidak dapat diprediksi (Jenkins, 2006). Saya kira obrolan dan konsumsi Indomie kuah ketika hujan adalah apa yang dibentuk individu melalui cara ia melihat iklan di televisi dan menvisualisasikan praktiknya dalam kehidupan sehari-hari.
Indomie sukses menciptakan konsumennya dalam menciptakan ideologi terhadap konsumsi mi rebus. Iklan edisi Indomie kuah ketika hujan telah sukses terlibat dalam tongkrongan anak muda, dewasa, dan orang tua dalam berupaya untuk menjadi konsumsi mi ketika hujan adalah aturan wajib. Saya melihat iklan Indomie berpengaruh pada unsur bahasa yang dibuat iklan tersebut, visual dan narasi yang dibawanya, hingga menjadi obrolan santai pada individu ketika berada di tengah hujan.
ADVERTISEMENT
Sehingga, kuasa tidak melulu tentang manusia, melainkan pada peran tanda-tanda yang direpresentasikan pada produksi media. Kekuasaan menjadi simulacra, dan kekuasaan menjadi metamorfosa yang dapat dijumpai melalui tanda-tanda (Baudrillard, 1987).
Ini yang saya tekankan pada subjektivitas, yaitu terlemparnya individu di antara peran subjek dan objek. Subjek berarti pembawa pada praktik objek yang dibicarakannya. Tetapi satu sisi kekuasaan tidak melulu melekat pada apa yang jadi pembicaraan.
Sebelum penutup, saya meyakini bahwa Indomie lebih nikmat ketika hujan. Apalagi Indomie rasa Kari Ayam. Tetapi yang jadi pertanyaan saya adalah, apakah kita akan terlibat pada keberadaan subjek atau objek?