Konten dari Pengguna

Kontrak Sosial: Perempuan, Gender, dan Ruang Kuasa

Muhammad Adib Al-Fikri
Penulis dan pemerhati budaya-sosial. Mahasiswa Magister Kajian Budaya Universitas Padjadjaran.
29 Mei 2023 12:16 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Adib Al-Fikri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kelompok masyarakat. Foto: shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kelompok masyarakat. Foto: shutterstock
ADVERTISEMENT
Saya sering terlibat dalam sebuah perjanjian, yang memang hal tersebut sering kita jumpai dalam ruang sosial kita. Saya di sini akan mencoba menceritakan sedikit perihal apa yang sering saya temui.
ADVERTISEMENT
Juga menelisik lebih dalam mengenai apa itu perjanjian yang secara khusus membahas apa itu kontrak sosial. Sebagai sesuatu yang sifatnya "memanusiakan manusia" secara umum dan kolektif, bukan hanya per individu.
Kontrak sosial, dapat dikatakan bentuk konkrit di mana kelompok manusia secara kolektif melakukan kesepakatan yang dilandasi oleh kebutuhan mereka dengan bersama-sama mempertahankan dan melindungi individu atau kelompok—meski menggabungkan diri dengan kelompoknya, dan tetap bebas seperti sebelumnya (Russell, 2021).
Saya beranggapan bahwa ini adalah persoalan fundamental yang dicoba dipecahkan melalui kontrak sosial. Kontrak sosial saya kira telah membentuk masyarakat kita secara umum. Yang pada gilirannya, dia (kontrak sosial) juga memperkuat bagaimana kita bersosialisasi terhadap manusia lainnya.
Tetapi menurut Carole Pateman dalam bukunya berjudul The Sexual Contract (1998) kontrak sosial yang kita idam-idamkan selama ini nyatanya tidaklah sebagai sesuatu yang tetap.
Ilustrasi perempuan. Foto: Shutterstock
Dalam pandangannya, kontrak sosial adalah sebuah cara untuk menyelamatkan seseorang dari kebebasan, padahal cara tersebut adalah bohong. Kontrak sosial menutup dari kebenaran tentang masyarakat yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Menurut saya hal ini mengekang sebenarnya. Dan kontrak sosial adalah hal normatif dalam masyarakat kita dan dianggap salah jika kita keluar dari "janji" ini.
Pateman (1998) mengatakan bahwa teori klasik mengenai kontrak sosial sebenarnya adalah segala sesuatu yang para laki-laki lakukan, dan mereka membentuk lingkungannya—yang hal ini tidak bisa dilakukan oleh perempuan; sesuatu yang alamiah—dan mereka harus hidup seperti itu.
Lebih jauh lagi, menurut John Locke perempuan adalah subjek alami. Mereka dilahirkan dan diperintah untuk melakukan apa yang telah dikatakan (oleh laki-laki).
Saya beranggapan bahwa laki-laki atau pria mengatur semuanya. Mereka menciptakan panggung yang hanya dapat ditonton oleh laki-laki. Sedangkan perempuan harus dibentuk sedemikian rupa agar mereka diciptakan dalam masyarakat yang "aman" dan "damai". Ini menandakan fenomena gender yang seakan perempuan dibuat ada untuk laki-laki (Pateman, 1998).
Ilustrasi kesenjangan gender di dunia pekerjaan. Foto: fizkes/shutterstock
Sebagai penutup, kita masih berada dalam dunia laki-laki. Perempuan sebagai objek dalam relasi kemasyarakatan kita. Dan sepatutnya kita ubah dengan mendesain kembali bagaimana dan apa yang seharusnya kita perbuat demi makna dari "aman" dan "damai" ini dapat direpresentasikan.
ADVERTISEMENT
Kontrak sosial dan perspektif saya mengenai hal ini, sebagai sesuatu yang tidak mendasar pada persetujuan individu, dan sebenarnya berdasar pada eksploitasi penundukan dan ekonomi terhadap semua (Pateman, 1988).
Ini merepresentasikan bahwa semua individu dan kelompok manusia secara umum adalah rancangan dari rencana jangka panjang. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Pateman (1988):