Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tentang Subjektivitas Anak Muda dan Waktu Luang
26 Juni 2023 20:12 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Muhammad Adib Al-Fikri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam sehari, umumnya saya menggunakan telepon genggam bisa sampai 10 jam. Dan 10 jam ini sudah dipergunakan pada berbagai hal, termasuk waktu yang sering saya kuras untuk bermain game. Bermain game menurut saya adalah menyenangkan, hiburan, dan aktivitas waktu luang. Saya terbiasa bermain game sekitar 4 jam dalam sehari, termasuk cukup lama menurut saya.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks lebih luas, game berperan sebagai objek bagi audiensnya. Mereka memainkan sesuatu yang dapat menghibur dirinya, tanpa perlu mengundang banyak orang harus sama dengan dirinya. Tetapi ada sesuatu yang berubah ketika game semakin meluas perkembangannya.
Anak muda, khususnya menjadi acuan saya dalam penulisan ini. Bagaimana game dapat berpengaruh terhadap kehidupan anak muda? Dan ini bisa mengubah keberadaan audiens yang tidak lagi sebagai subjek, melainkan objek.
Tulisan ini akan mengkaji bagaimana game yang seharusnya game memberikan pengetahuan, representasi, identitas, dan tentu saja hubungan antara game itu sendiri dengan audiens. Mungkin sebelum menuju kepada subjektivitas, saya akan mengembangkan sedikit ringkasan mengenai bagaimana game itu sendiri menjadi sebuah 'budidaya' yang melanggeng pada kehidupan modern saat ini.
Raymond William (1998) menjelaskan tiga cara bagaimana memaknai budaya. Pertama, sebagaimana yang telah dikutip oleh Mathhew Arnold (1998:7) bahwa budaya adalah "yang terbaik dan yang telah dipikirkan, dilakukan, dan dikatakan oleh dunia".
ADVERTISEMENT
Kedua, budaya didefinisikan sebagai bentuk kritik "tubuh karya intelektual dan imajinatif, di mana, dirincikan bahwa pemikiran dan pengalaman manusia direkam secara beragam".
Dan yang ketiga adalah bahwa budaya adalah cara hidup; yang dalam bahasa kontemporernya adalah bahwa budaya terbentuk melalui empat jenis elemen: yaitu, norma, nilai, kepercayaan, dan simbol ekspresif (Peterson, 1979:137).
Inilah akhirnya yang dapat saya katakan bahwa budaya merupakan ikatan makna yang dibentuk oleh individu kepada sosialnya dan juga memahami ide-ide dan praktik sosial (Hall, 1998).
'Budaya Game' melempar identitas seseorang. Yang dapat saya katakan bahwa individu 'terlempar' pada objektivikasi identitas yang berarti juga identitas di sini secara otomatis bukan kepada sesuatu yang hidup lagi, melainkan kepada sesuatu yang digerakkan secara sengaja. Game mewadahi seseorang untuk menemukan pengetahuan baru, tetapi mengubah seseorang itu untuk kehilangan jati diri sebagai subjek.
ADVERTISEMENT
Descartes dan Sartre melihat subjektivitas adalah soal kesadaran diri, sedangkan menurut Fichte subjektivitas adalah penempatan diri. Ini menandakan bahwa manusia selalu berada dalam lingkungan yang stagnan.
Manusia menyadari keberadaannya, tetapi tertutup pada realitas dan kesadarannya. Sehingga game membentuk dirinya sebagai diri pada setiap entitas yang tiba.
Terlepas dari subjektivitas yang ada, anak muda melihat budaya game sebagai kondisi alamiah dan naturalistik dan sebagai sesuatu yang menghibur. Waktu kosong nyatanya menjadi aktivitas yang tidak hanya omong kosong, melainkan aktivitas yang berlangsung sejalan dengan waktu 24 jam itu sendiri.
Manusia membentuk waktu mereka, sejalan dengan keberadaan manusia di dunia. Entertainment activity atau kegiatan hiburan telah mengubah perspektif manusia mengenai apa itu hiburan. Dan hiburan nyatanya adalah perpindahan dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya.
ADVERTISEMENT
Anak muda, terlempar ke dalam berbagai hal. Mereka dalam kajian waktu luang, melihat sebagai bentuk hiburan. Dan ini terus berangsur dalam proses 'menjadi' sejalan dengan proses identitas itu sendiri.