Konten dari Pengguna

Sanksi Pidana Adat di Madura: Perspektif Tradisi Carok

MUHAMMAD ANDRIAN
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
24 November 2024 19:38 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari MUHAMMAD ANDRIAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Tradisi Carok di Madura (Sumber: https://www.pexels.com/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Tradisi Carok di Madura (Sumber: https://www.pexels.com/)
ADVERTISEMENT
Tradisi carok di Madura merupakan fenomena sosial yang melibatkan tindakan kekerasan sebagai bentuk penyelesaian konflik, terutama yang berkaitan dengan harga diri. Dalam hal ini, carok tidak hanya dipandang sebagai tindakan kriminal, tetapi juga sebagai bagian dari nilai budaya yang mendalam dalam masyarakat Madura. Artikel ini akan mengganti fokus dari sanksi pidana adat menjadi pemahaman yang lebih luas mengenai tradisi carok dan dampaknya terhadap masyarakat.
ADVERTISEMENT
Carok berfungsi sebagai ritual pemulihan harga diri ketika seseorang merasa terhina atau dilecehkan. Tindakan ini sering kali dipicu oleh masalah yang berkaitan dengan harta, takhta, dan wanita. Masyarakat Madura percaya bahwa carok adalah cara untuk mempertahankan kehormatan individu atau keluarga, meskipun tindakan ini sering kali berakhir pada kekerasan dan bahkan pembunuhan.
Tradisi carok telah ada sejak lama dan mulai dikenal luas pada masa kolonial Belanda. Awalnya, carok dilakukan dengan cara yang lebih terhormat, yakni melalui tantangan duel satu lawan satu (ngonggai). Namun seiring berjalannya waktu, praktik ini mengalami perubahan menjadi lebih brutal dengan adanya tindakan menikam musuh dari belakang (nyelep).
ADVERTISEMENT
Masyarakat luar sering kali melihat carok sebagai simbol kekerasan dan rendahnya moralitas. Stereotip negatif ini muncul karena ketidakpahaman terhadap nilai-nilai budaya Madura yang mendasari tradisi tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa meskipun carok memiliki aspek-aspek budaya yang dianggap positif oleh sebagian orang Madura, banyak pula yang menolak praktik ini karena bertentangan dengan norma agama dan nilai kemanusiaan.
Carok mempunyai dampak signifikan terhadap struktur sosial di Madura. Keluarga korban carok sering kali terjebak dalam siklus balas dendam yang dapat berlangsung antar generasi. Hal ini menciptakan ketegangan sosial dan konflik berkelanjutan dalam masyarakat. Di sisi lain, ada juga upaya dari sebagian masyarakat untuk meninggalkan tradisi ini, menyadari bahwa kekerasan bukanlah solusi untuk menyelesaikan masalah.
ADVERTISEMENT
Sanksi pidana adat merupakan bagian integral dari sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat adat, termasuk di Madura. Salah satu tradisi yang mencolok pada masyarakat Madura adalah carok, sebuah praktik yang melibatkan pertarungan sebagai bentuk penyelesaian konflik, khususnya antara dua pria. Carok tidak hanya berfungsi sebagai ajang pembuktian keberanian, tetapi juga sebagai cara untuk mengembalikan kehormatan yang dianggap ternoda.
Tradisi carok di Madura memiliki akar sejarah yang dalam dan sering kali dianggap sebagai cara untuk mengakhiri kemunduran. Masyarakat Madura meyakini bahwa carok adalah bentuk keadilan yang sesuai dengan nilai-nilai adat mereka. Dalam banyak kasus, carok terjadi akibat tabrakan yang berkaitan dengan kehormatan, seperti masalah keluarga atau persaingan antar individu.
Faktor Sosial dan Budaya Carok muncul sebagai respon terhadap pelanggaran harga diri, dimana individu merasa terpaksa untuk mempertahankan martabatnya. Dalam konteks budaya Madura, harga diri sangat penting, dan pelanggaran terhadapnya dapat memicu tindakan kekerasan sebagai bentuk prestasi atau penghormatan terhadap norma-norma sosial yang ada. Peran Harga Diri Salah satu penyebab utama carok adalah keinginan untuk mempertahankan harga diri. Ketika seseorang merasa terhina atau dipermalukan, mereka mungkin merasa tidak ada pilihan lain selain melakukan carok untuk membuktikan keberanian dan mempertahankan martabat mereka. Penggunaan Senjata Tajam Carok biasanya dilakukan dengan menggunakan senjata tajam, seperti clurit, yang menjadi simbol dari tradisi ini. Tindakan ini tidak hanya dipandang sebagai kekerasan, tetapi juga sebagai bagian dari proses penyelesaian konflik yang dianggap sah dalam konteks adat Madura. Carok dapat dilakukan dengan menantang satu lawan satu atau menikam musuh dari belakang, konon di wilayah Madura tradisi carok itu sampai turun temurun, keluarga menjadi korban carok akan menyimpan baju yan bersangkutan (meninggal) pada tetangganya yang kelak diperlihatkan pada anaknya setelah dewasa bahwa ayahnya mati karena carok atau dibunuh.
ADVERTISEMENT
Carok sering kali terjadi pada hukum formal, tetapi banyak masyarakat Madura masih memilih untuk menyelesaikan konflik melalui cara tradisional ini. Hal ini menunjukkan adanya ketegangan antara hukum negara dan norma-norma adat yang berlaku di masyarakat. Ada upaya dari pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum kepada korban carok serta sanksi bagi pelakunya. Namun, penerapan hukum ini sering kali tidak efektif karena kuatnya pengaruh adat dalam penyelesaian konflik.
Dalam pelaksanaan carok, terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui:
Pemberitahuan : Pihak yang merasa teraniaya biasanya memberi tahu pihak lawan tentang niatnya untuk melakukan carok.
Persetujuan : Kedua pihak harus sepakat untuk melanjutkan ke tahap pertarungan.
Pertarungan : Carok dilakukan di tempat yang telah disepakati, biasanya di hadapan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Setelah carok berlangsung, hasil pertarungan akan menentukan sanksi bagi pihak yang kalah. Jika kalah, individu tersebut akan menerima sanksi sosial dan mungkin juga denda dari komunitas adat. Namun, jika ada kematian dalam pertarungan, hal ini dapat memicu konsekuensi hukum yang lebih serius, termasuk tindakan aparat penegak hukum.
Berdasarkan hukum Indonesia, khususnya Pasal 340 KUHP, tindakan carok dapat digolongkan sebagai pembunuhan berencana jika mengakibatkan luka berat atau kematian. Implikasi hukumnya sangat mendalam, karena konflik carok sering kali menimbulkan konsekuensi hukum yang serius bagi para pelakunya, meskipun berakar pada praktik budaya.
Salah satu kasus penting adalah insiden carok massal di Desa Tanah Merah Laok, di mana pertikaian meningkat menjadi kekerasan yang mengakibatkan banyak korban luka dan meninggal. Peristiwa ini menyoroti tantangan yang dihadapi penegak hukum dalam menangani kekerasan yang disahkan secara budaya sambil mematuhi standar hukum. Hakim telah bergulat dengan cara mengadili kasus-kasus yang melibatkan carok. Dalam beberapa kasus, mereka telah mengakui bahwa Carok adalah budaya tetapi masih menjatuhkan hukuman berdasarkan hukum yang berlaku yang mengatur pembunuhan dan penyerangan. Peran peradilan sangat penting dalam menyeimbangkan penghormatan terhadap praktik budaya dengan kebutuhan menegakkan hukum nasional.
ADVERTISEMENT
Tradisi Carok harus sering ditindak lanjutkan supaya tidak ada korban lagi, dengan adanya faktor-faktor seperti perkembangan peradaban dan perubahan pola pikir dan sikap karena pendidikan dan pengalaman, serta pergantian generasi dari waktu ke waktu di pulau Madura. Sikap ini didefinisikan sebagai kesediaan untuk bereaksi (disposition to react) secara positif atau secara negative terhadap objek-objek tertentu (Sarwono, 2000: 27).
Meskipun carok merupakan tradisi yang diakui oleh masyarakat Madura, praktik ini sering kali bertentangan dengan hukum negara. Sanksi pidana adat dapat berkonflik dengan sanksi pidana formal, terutama bila menyangkut kekerasan atau kematian. Pemerintah daerah dan lembaga hukum sering kali berada dalam posisi sulit untuk menyeimbangkan penghormatan terhadap tradisi lokal dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Budaya Madura sesungguhnya sesuai dengan nilai- nilai sosial budaya yang positif hanya saja kemudian nilai-nilai tersebut tertutupi sikap dan perilaku negatif sebagian orang Madura sendiri, sehingga muncul stereotip tentang orang Madura dan lahir citra yang tidak menguntungkan. Kata tradisi dan budaya adalah dua kata yang sering digunakan dalam makna yang sama dalam merujuk pada makna kebiasaan atau adat suatu masyarakat tertentu, terkait dengan dengan hal tersebut, dua kata tersebut memiliki hubungan yang sangat erat, budaya memiliki cakupan yang lebih luas dari pada tradisi, budaya sebagai wujud ideal yang bersifat abstrak yang tidak dapat diraba dalam pikiran manusia yang dapat berupa ide, gagasan, norma, dan keyakinan (Koentjaraningrat, 1989: 22), jadi budaya merupakan hasil karya manusia melalui cipta, rasa, dan karsanya dibentuk dari aneka ragam tradisi, pola pikir, kebiasaan, karya seni dan sebagainya. Mereka juga menyadari bahwa perbuatan tersebut melanggar hukum agama dan negara, oleh karena itu perilaku carok adalah perbuatan dosa besar yang melanggar perintah Allah, namun menurut mereka meskipun demikian carok masih terjadi di wilayah Madura, perbuatan ini tidak mewakili masyarakat Madura tetapi lebih bersifat personal dan lokal,bagaimanapun juga nilai-nilai negatif yang dilakukan oleh beberapa atau sebagian kecil orang Madura ini mampu menutupi nilai-nilai positif yang dilakukan sebagian besar orang Madura (Wiyata, 2006: 18).
ADVERTISEMENT
Carok merupakan fenomena kompleks yang mencerminkan nilai-nilai isosial dan budaya masyarakat Madura. Meskipun ada upaya untuk mengatasi masalah ini melalui pendekatan hukum, akar masalah yang berkaitan dengan harga diri dan norma sosial masih menjadi tantangan besar. Sanksi pidana adat dalam tradisi carok di Madura mencerminkan kompleksitas hubungan antara norma sosial dan hukum formal. Masyarakat masih mempertahankan tradisi ini sebagai bagian dari identitas budaya mereka, meskipun pertahanan hukum terus muncul. Dialog antara pemangku kepentingan adat dan pemerintah diperlukan untuk menemukan solusi yang menghormati nilai-nilai lokal sambil memastikan keamanan dan keadilan bagi semua anggota masyarakat.
Tradisi carok di Madura mencerminkan kompleksitas interaksi antara budaya, identitas, dan hukum. Meskipun dianggap sebagai cara untuk mempertahankan harga diri, praktik ini membawa konsekuensi serius baik secara individu maupun sosial. Penting bagi masyarakat untuk menggali kembali nilai-nilai yang mendasari tradisi ini agar dapat menemukan alternatif penyelesaian konflik yang lebih damai dan konstruktif.
ADVERTISEMENT