Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pemberitaan Rohingya dan Tercerabutnya Rasa Kemanusiaan Kita
12 Januari 2024 14:07 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Arsyad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bohong besar kalau kamu belum pernah terpapar pemberitaan etnis Rohingya yang mengungsi ke Indonesia. Belakangan ini pemberitaan tentang etnis Rohingya sudah semacam sarapan, makan siang, dan makan malam. Ya, gimana lagi, setiap kali buka media sosial, pemberitaan soal itu pasti muncul.
ADVERTISEMENT
Gelombang kedatangan etnis Rohingya ke Indonesia memang sudah menjadi perhatian publik belakangan ini. Mengutip website Narasi, Rohingya merupakan etnis minoritas muslim yang mendiami Myanmar atau Burma. Mereka umumnya tinggal di daerah Rakhine, salah satu daerah termiskin di Myanmar.
Etnis Rohingya terpaksa meninggalkan tanah yang sudah ditinggalinya karena perlakuan diskriminatif dari Pemerintah Myanmar. Juga akibat dari junta militer yang terjadi di sana. Ironisnya etnis Rohingya diberitakan negatif.
Entah dari media yang ngakunya media jurnalistik, atau media sosial yang menyaru sebagai media warga. Jadi, alih-alih menumbuhkan empati terhadap mereka, pemberitaan yang muncul, justru mengubah pikiran kita menjadi seorang fasis.
Pemberitaan Negatif Etnis Rohingya
Saya sendiri juga awalnya terpapar pemberitaan negatif tentang etnis Rohingya yang tiba-tiba kembali menimbulkan polemik. Informasi pertama yang saya dapatkan adalah penolakan warga Aceh terhadap kedatangan etnis Rohingya. Selain itu, informasi negatif tentang etnis Rohingya yang mengungsi ke Aceh membombardir media sosial layaknya misil yang ditembakkan ke Gaza.
ADVERTISEMENT
Salah satunya menyebut kalau etnis Rohingya yang ditampung di Aceh tak tahu diri. Mereka merajuk. Tidak terima dengan bantuan yang diberikan. Bahkan ada video yang menarasikan seolah-seolah pengungsi Rohingya tidak bersyukur. Dalam video itu, seorang pengungsi mengatakan, ia diberi jatah Rp1,2 juta per bulan. Tapi katanya tidak cukup.
Video itu pun menuai kemarahan dari warganet. Banyak dari mereka kesal dan meluapkan emosinya. Bahkan ada yang membandingkannya dengan masih banyaknya rakyat Indonesia yang miskin. Padahal setelah saya telusuri, itu adalah video lama yang diunggah sekitar enam tahun lalu.
Saya juga menjumpai informasi yang menyamakan etnis Rohingya dengan zionis Israel. Mereka datang untuk menguasai Aceh, tujuannya mendirikan negara sendiri dengan mencaplok wilayah lain di Indonesia. Narasi ini makin menjadi-jadi ketika Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan, bakal menjadikan Pulau Galang penampungan bagi etnis Rohingya.
ADVERTISEMENT
Narasi etnis Rohingya akan menguasai Indonesia juga disebarkan oleh influencer, publik figur, bahkan pelawak tunggal. Saya sempat termakan oleh narasi ini. Tak sedikit teman selingkung saya juga demikian. Namun, setelah dipikir-pikir apa mungkin etnis Rohingya menguasai Indonesia?
Kalaupun punya kekuatan untuk menduduki satu wilayah, kenapa mereka terusir dari Myanmar yang notabene tanah leluhurnya sendiri? Mengapa harus menduduki Indonesia yang notabene negara kuat, negara yang sulit dihancurkan, kecuali oleh pemerintahnya sendiri?
Isu Jelek Dimakan Mahasiswa, Hah?
Lucunya, pemberitaan negatif itu dimakan oleh manusia-manusia yang mengaku agen perubahan. Beberapa hari lalu, ratusan orang yang tergabung dalam BEM Nusantara mendatangi gedung BMA di Banda Aceh. Ruang bagian bawah gedung ini sudah dua pekan menjadi penampungan bagi 137 pengungsi Rohingya.
ADVERTISEMENT
Massa datang ke sana bertujuan untuk memindahkan para pengungsi Rohingya ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Aceh. Mereka menuntut agar pengungsi Rohingya diusir dari Aceh. Dari video yang beredar, tindakan yang dilakukan mahasiswa malah cenderung anarkis.
Video itu viral di media sosial. Akun-akun terverifikasi sampai akun alter turut menyebarkan video tersebut. Tak ketinggalan dibumbui narasi yang menyudutkan pengungsi Rohingya. Selain karena informasi etnis Rohingya akan menguasai Indonesia, tindakan massa juga didorong oleh informasi bahwa etnis Rohingya yang datang disusupi praktik sindikat tindak pidana perdagangan manusia.
Informasi-informasi tadi berhasil teramplifikasi. Mahasiswa yang kelewat progresif termakan oleh informasi yang menyesatkan itu. Namun, tindakan yang cenderung represif itu malah disambut baik oleh warganet. Banyak yang mendukung aksi itu.
ADVERTISEMENT
Pemberitaan tentang etnis Rohingya, cepat atau lambat, justru membuat kita tak peduli lagi pada manusia yang lain. Rasa kemanusiaan kita entah pelan atau cepat.
Rasa Kemanusiaan yang Tercerabut
Bagaimana jika kemanusiaan itu tercerabut dalam diri manusia itu sendiri? Bukankah “kemanusiaan” hanya akan berbunyi “kean” tanpa kata “manusia” di dalamnya? Namun, seperti itulah sikap kita belakangan ini terhadap pengungsi Rohingya. Informasi-informasi jelek tentang mereka sukses tertanam dalam benak kita.
Saya jadi teringat bukunya Noam Chomsky, Politik Kuasa Media. Di situ Mbah Chomsky menulis bahwa media sangat berperan besar dalam mempengaruhi perspektif publik. Pria kelahiran Philadelphia itu, dalam Politik Kuasa Media memberikan contoh pada rakyat Amerika.
Saat Perang Dunia I, rakyat Amerika sangat anti terhadap peperangan. Bahkan Woodrow Wilson pada saat Pilpres mengusung anti-Perang. Namun, setelah menang, Wilson justru mengubah persepsi warga Amerika yang dulunya benci perang menjadi terpicu untuk menumpahkan darah.
ADVERTISEMENT
Ia lakukan lewat lembaga Creel Committee. Semacam humas yang dibentuk bersama koleganya. Meski peristiwanya berbeda, apa yang diberitakan media-media tentang pengungsi Rohingya berhasil memupuk kebencian pada pengungsi Rohingya. Padahal sebelumnya kita tahu #SaveRohingya begitu marak.
Menghapus Bibit Kebencian
Era sekarang untuk mempengaruhi pikiran orang lain jauh lebih mudah. Tidak perlu seperti Wilson yang mesti lewat lembaga Creel Committee. Influencer dan publik figur kini yang memegang kendali. Ironisnya, dalam konteks Rohingya, informasi yang beredar, tak terkecuali yang ditiupkan para influencer, justru disusupi narasi kebencian.
Meski telah banyak yang menyebarkan fakta tentang Rohingya. Fakta yang membuat empati kita sebagai manusia tumbuh kembali. Namun, kebencian yang sudah mengakar kuat telah menyita segalanya. Lihatlah di media sosial masih banyak yang menebarkan kebencian pada pengungsi Rohingya.
ADVERTISEMENT
Di tempat saya, sebuah akun Instagram yang menjadi sumber rujukan masyarakat Kota Pekalongan dan sekitarnya mencari info, tak berhenti mengunggah informasi yang bisa memantik lagi kebencian terhadap pengungsi Rohingya. Apa perlu dilakukan?
Selain lebih cerdas menyeleksi informasi, mana yang bisa dibuktikan mana yang tidak, dalam memilah informasi yang berkelindan dengan krisis kemanusiaan etnis Rohingya, kita perlu menempatkan empati dan rasa kemanusiaan kita.