Konten dari Pengguna

Penemuan Kembali Nasionalisme Indonesia Abad 21 era Pseudo Demokrasi 2024

Muhammad Azzam Fawwaz
Mahasiswa S1 Perbandingan Madzhab Fakultas Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya
2 April 2024 9:06 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Azzam Fawwaz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Massa aksi GMNI saling dorong dengan polisi di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Kamis (8/9/2022). Foto: Jonathan Devin/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Massa aksi GMNI saling dorong dengan polisi di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Kamis (8/9/2022). Foto: Jonathan Devin/kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak pencalonan Gibran Rakabuming Raka ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai Wakil Presiden terpilih, tentu hal ini menjadi tantangan bagi kalangan dunia aktivisme mahasiswa, dalam upaya proses kaderisasi untuk menghasilkan pengetahuan, pembentukan karakter, dan keterampilan politik dalam mengawal demokrasi yang berkeadilan, yang diwariskan oleh pejuang reformasi ’98. Namun, kondisi ditahun 2024 berbeda, semuanya serba instan dan dunia aktivisme mahasiswa gagal, karena Gibran tidak melalui proses dialektika ggasan politik, terutama yakni di Organisasi Mahasiswa, terutama ekstra kampus yang dikenal sebagai Ormek.
ADVERTISEMENT
Bahkan, ironinya, mantan aktivis ’98, seperti Budiman Sujatmiko dan Maruar Sirait, menyatakan sikap politiknya mendukung Prabowo – Gibran. Dalam hal ini, penulis tidak mempersoalkan Prabowo, melainkan Gibran (sebagaimana yang disebutkan oleh Majalah Tempo “Anak Haram Konstitusi). Sejauh pengamatan penulis, kualitas atau kematangan dalam berpolitik, Budiman Sujatmiko dan Maruar Sirait lebih berkualitas daripada Gibran Rakabuming Raka. Karena peranan Budiman dan Maruar, pernah dihadapkan dengan rezim Otoritarianisme Orde Baru (era Soeharto) daripada Gibran (jual martabak dan sangat rendah keterlibatannya secara aktif sebagai timses politik saat bapaknya mencalonkan sebagai jabatan politik).
Ya meskipun di Indonesia, dalam proses politik, semuanya sah-sah saja, asal berdasarkan kesepakatan elit politik. Gibran, tanpa proses politik, terkhusus dikalangan politik kelas menengah (mahasiswa) secara tersirat mendapatkan previlege dari Bapaknya yang menjabat seabagai Presden Republik Indonesia ke-7, sehingga dapat memanfaatkan peluang sangat besar menjadi Wakil Presiden. Tak hanya itu, sebelumnya dugaan kuat keinginan Gibran potong kompas (melalui lobby Bapaknya Presiden kepada Ketua Umum Partai Demorkrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, untuk dicalonkan sebagai Walikota Surakarta dari PDI-P, sehingga mendapatkan restu).
ADVERTISEMENT
Meskipun endingnya, pengkhiatan terbesar dalam sejarah, Gibran melakukan manuver poltiknya beserta Bapaknya, ada dugaan kuat menggembosi, bahkan ingin memecah belah partai yang mengantarkan proses perjalanan karier politik Gibran dan Bapaknya (penyalahgunaan kekuasaan). Selain itu, Gibran tidak melalui kaderisasi formal, informal, dan non-formal yang panjang (menjadi cawapres dalam waktu yang sesingkat-singkatnya) apalagi dugaan nepotisme menguat yang melekat pada dirinya sebagai anak Presiden Jokowi. Secara tidak langsung majunya gibran sebagai cawapres bisa dikatakan melanggar etik dengan penyeludupan konstitusi yang mana tersebut berdampak menguntungkan salah satu pihak.
Penulis meminjam pendapat Guru Besar Universirtas Indonesia (UI), Prof. Harkristuti Harkrisnowo. Ia mengungkapkan keresahanya kepada elit politik pada saat ini, ia mengagap bahwa pejabat/ elit politik dimasa sekarang sudah kelewatan batas serta mengingkari sumpah jabatanya sendiri, melihat sekarang indonesia sudah kehilangan nahkoda penjaga demokrasi. Ia juga resah kapada para aparat atau pejabat sipil negara yang selama ini di manfaatkan untuk kemenangan salah satu paslon dalam kontestasi pamilu 2024. (Soloposnews 2024).
ADVERTISEMENT
Tentunya, fenomena ini jangan sampai terulang kembali. Sehingga harus menjadi refleksi bersama. Terutama organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) basis akar rumput (baik yang aktif maupun alumni). Melalui dialektika panjang dan proses perenungan, dapat mengantarkan kader terbaiknya (baik secara struktural maupun kultural) untuk berkontestasi dalam pertarungan politik yang sehat, dan jelas dalam keberpihakannya untuk kepentingan Kaum Marhaen.

Diskusi Akar Rumput & Konsolidasi Nasional

Apakah mungkin, warga Indonesia yang menjadi bagian dari keluarga GMNI dapat mengusung kader terbaiknya menjadi Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden? bagi penulis adalah sangat yakin dan mungkin terjadi, mengusung kader terbaiknya. Meskipun GMNI bukan sebagai organisasi Partai Politik, yang secara resmi mengusung Capres, sebagaimana diatur didalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ’45).
ADVERTISEMENT
Namun secara penggemblengan intelektual, karakter, dan keterampilan, tentu GMNI harus menjadi garda terdepan mencetak kader Marhaenis yang progresif dan revolusioner, transformatif terhadap kebutuhan zaman. Oleh karena itu, harus mempunyai sikap yang jelas dalam keberpihakan terhadap Kaum Marhaen, baik berkontetasi atau kolaborasi. Dengan harapan penulis, jangan sampai GMNI menjadi organisasi ‘mati suri’, atau bahkan dikhawatirkan menjadi fosil yang hanya menjadi bahan romanitka belaka.
Momentum Dies Natalis GMNI yang ke-70, dengan tema “The Resdicovery of Our Nationalism in 21th Century (penemuan kembali Nasionalisme abad ke-21). Kemajuan globalisasi tentu menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia, tanpa disadari rasa Nasionalisme yang menjiwai rakyat Indonesia secara langsung tergerus secara pelan-pelan akibat peran Nasionalisme Barat (Exploitation de I’homme par I’homme/Eksploitasi Manusia atas Manusia lainnya) yang semakin berkeliaran, seperti bangkitnya Neo-Imperialisme (penindasan gaya baru).
ADVERTISEMENT
Olehnya karena itiu, Dies Natalis memberikan gambaran bahwa sebagai kader GMNI, membangkitkan kembali benih Nasionalisme yang diajarkan oleh Bung karno (mengutip Mahatma Ghandi, My Nasionalisme Is Humanity (Memanusiakan manusia) inilah dapat mempersatukan bangsa-bangsa tanpa memandang persoalan ras maupun latarbelakang keagamaan. Dialektikan kader GMNI melalui penguatan diskusi dalam skala kecil (komisariat, baik itu pendidikan ideologi sekaligus edukasi tentang dunia politik, dalam rangka mencari titik temu idealitas politik) menjadi instrumen terpenting dalam penyadaran secara kolektif.
Sebagaimana penulis menganut ajaran Islam, kita dituntut untuk “Ikhlas” dalam menjalankan setiap kebaikan dan kemaslahatan untuk umat. Sebagaimana Allah SWT memberikan anugerah kepada hamba-Nya untuk selalu berfikir, agar menjadi manusia yang merdeka dan bermanfaat. Penyadaran inilah terpenting untuk mecari titik temu melalui penalaran akal sehat demi menyelamatkan demokrasi yang saat ini tidak sehat, ditelanjangi oleh rezim Neo-New Order (Orde Baru Gaya Baru) dinasti Jokowi Family, sebagaimana di tulis oleh Guru Besar Sosiologi Hukum dan Indonesianis University of Melbourne, Tim Lindsley.
ADVERTISEMENT
Olehnya, perlu kesadaran kolektif yang dimiliki oleh individu, dalam hal ini kader GMNI untuk ikut aktif memperkuat gerakan intelektual (ruang-ruang diskusi), memformulasikan ide setiap individu dalam menangkap fenomena yang ada, disertai dengan pemahaman basis ideologi. Lewat dunia kampus, kader dapat memanfaatkan untuk memperkaya khazanah intelektual yang tersedia, melalui perdebatan akademis yang paradigmatik dan argumentatif. Seperti halnya, setiap individu berjiwa kolektif, dapat berkontribusi dalam keorganisasian, untuk menangkap sekaligus merespon isu atau agenda politik dan pemerintahan, baik skala lokal, nasional hingga internasional.
Sehingga ruang diskusi tentu menjadi “jamu” dalam merawat akal sehat. Terutama dalam merespon perkembangan fenomena politik nasional, tentu menjadi kunci agar dapat menyampaikan pendapat (baik itu kritik maupun saran) demi terciptanya iklim demokrasi yang lebih baik. Selain itu juga berpartisipasi dalam mimbar kebebasan berekspresi. Karena, demokrasi memberikan kepada siapapun tanpa terkecuali untuk bersuara sekaligus ikut andil dalam proses penguatan demokrasi. Memberikan ruang gerak siapapun maupun individu yang mempunyai kapasitas, untuk berkontestasi politik sekaligus tidak mengfabaikan etika atau fatsun politik agar terciptanya demokrasi yang berkualitas. Tentu demokrasi 2024 adalah cambuk bagi kita sebagai mahasiswa atau kader GMNI, agar senantiasa lebih peka terhadap isu demokrasi yang telah ditelanjangi oleh rezim dinasti Jokowi (intervensi kekuasaan dan dugaan kuat politisasi bansos menenangkan anaknya, Gibran sebagai Wapres).
ADVERTISEMENT